Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-“Sambut Pelantikan Jokowi, Rakyat Miskin Siapkan Pesta Rakyat” (www.republika.co.id 19/10/2014). “Pesta Rakyat: Atraksi Liong dan Barongsai Sambut Jokowi-JK” (www.bisnis.com 20/10/2014). “Pawai Tujuh Tumpeng hingga Konser Musik Sambut Jokowi Presiden” (www.okezone.com 20/10/2014). Demikian, sekadar tiga berita pesta sambut pemimpin baru Indonesia. Perlukah pesta itu?
Tiga Teladan
Pada berita “Sambut Pelantikan Jokowi, Rakyat Miskin Siapkan Pesta Rakyat”, dikabarkan bahwa Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (Jerami) menyiapkan pesta rakyat di sejumlah kota untuk menyambut pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden baru. Pesta rakyat ini telah dimulai sejak Ahad 19/10/2014 hingga Senin 20/10/2014 ketika presiden baru dilantik.
Sementara, pada berita “Pesta Rakyat: Atraksi Liong dan Barongsai Sambut Jokowi-JK”, dikabarkan bahwa kemeriahan Pesta Rakyat menyambut Presiden dan Wakil Presiden Baru terus semarak di Jalan Sudirman dan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Selain menampilkan berbagai sorakan dan musik tradisional, perkumpulan Mahavirya asal Tangerang turut melakukan atraksai dua barongsai dan liong.
Di antara pesta itu, hadirkah Jokowi? Di bawah judul “Rakyat Berpesta”, Republika edisi 21/10/2014 menulis bahwa pada 20/10/2014, “Keriuhan pesta berlanjut selepas maghrib di Monas.… Jokowi naik panggung (musik) sekitar pukul 18.30 WIB, kemudian menyapa massa yang membeludak dengan berlari mengelilingi panggung”.
Atas berbagai kemeriahan pesta itu, patut kita merenung. Dalam Islam, di saatmenerima amanah jabatan sebagai pemimpin,sikap seperti apa yang bisa kita teladani?
Hal paling mendasar yang harus direnungkan adalah soal tanggung-jawab dunia-akhirat dari jabatan itu.Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya (HR Bukhari dan Muslim).
Terkait ini, maka imam/presiden/raja itu adalah jabatan yang sangat tinggi dan –oleh karena itu- tanggung-jawabnya juga sangat besar. Maka, mengingat tentang itu, banyaklah catatan dari orang-orang yang merasa berat (dan bahkan takut) jika diamanahi untuk memegang jabatan semacam khalifah atau presiden.
Lihatlah Abubakar Ash-Shiddiq Ra! Dalam pidato pertamanya saat diresmikan menjadi khalifah, dia tak menyatakan rasa syukur dan apalagi terlihat gembira. Berikut ini petikannya pidatonya:
“Saudara-saudara, saya telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena saya yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika saya berbuat baik bantulah saya dan jika saya berbuat salah luruskanlah”.
Kemudian, “Patuhlah kalian kepada saya selama saya mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika saya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhi saya. Kini, marilah kita menunaikan shalat, semoga Allah melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita.”
Tampak, tak ada kemeriahan bernama pesta pada saat Abubakar Ra resmi diangkat sebagai khalifah. Malah, setelah meminta umat untuk terus mengritisinya –dalam spirit amar ma’ruf nahi munkar- Abubakar Ra justru mengajak mereka untuk shalat.
Lalu, lihatlah bagaimana suksesi dari Abubakar Ra ke Umar bin Khaththab Ra! Abubakar Ra berpesan ke Umar Ra: “Sepeninggal saya nanti, saya mengangkat Anda sebagai pengganti.”Umar Ra-pun menukas: “Saya sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu.” Tapi, atas desakan Abubakar Ra yang disertai dengan argumentasi tak terbantahkan, Umar Ra akhirnya berkenan menerima.
Lihatlah ketika Umar Ra dilantik menjadi khalifah. Saat itu dia justru menangis. Orang-orang-pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Saya ini keras, banyak orang yang takut pada saya. Kalau saya nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan,” tanya Umar Ra. Lalu, seorang Arab Badui dengan pedang terhunus berkata, “Saya-lah yang akan mengingatkan Anda dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” seru Umar Ra.
Lebih jauh, mari ikuti petikan pidato pertamanya sebagai khalifah:
“Saya hanyalah salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak permintaan Abubakar Ra, saya enggan memikul amanah ini…. Wahai umat Muhammad, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan.”
Coba cermati kalimat ini: “Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan.” Artinya, Umar Ra sangat takut dengan beban berat berupa pertanggungjawaban sebagai seorang pemimpin di hadapan Allah di Hari Perhitungan (kiamat) nanti. Dengan demikian, jika pidatonya seperti itu, pasti tak ada kemeriahan bernama pesta pada saat Umar Ra resmi diangkat sebagai pemimpin.
Kini, perhatian kita alihkan ke sosok Umar bin Abdul Aziz Ra. Pada salah satu episode suksesi di Bani Umayyah, nama Umar bin Abdul Aziz Ra digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru. Apa kata Umar bin Abdul Aziz Ra? “Jangan sebut-sebut nama saya”.
Di saat umat Islam tetap bersepakat untuk rela dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz Ra, yang bersangkutan malah menangis terisak-isak. Tak cukup hanya itu, Umar bin Abdul Aziz Ra-pun mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Lantas, di saat menandai awal kepemimpinannya, inilah potongan pidatonya: “Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaan saya, baik secara rahasia ataupun terang-terangan. Alangkah besar ujian Allah kepada saya.”
Terlihat, kala itu, yang ada hanya tangis sebagai tanda beratnya amanah yang harus dipikul Umar bin Abdul Aziz Ra. Amanah itu bermakna sebagai ujian yang harus dipertanggung-jawabkan. Maka, jelas tak ada pesta di ketika itu.
Sebuah Renungan
Tiga kisah teladan di atas -yang dirangkum dari sejumlah sumber- itu mengajarkan: Seorang pemimpin memiliki tanggung-jawab yang sangat besar. Maka, mulailah amanah kepemimpinan itu dengan kesadaran yang tinggi bahwa kelak semuanya akan dipertanggung-jawabkan di Hari Perhitungan. Maka, sungguh tak patut memulai aktivitas kepemimpinan dengan pesta yang meriah. []