Oleh: M Anwar Djaelani
Inpasonline.com-“Jokowi Hidupkan Lagi Pasal Penghinaan Presiden” (www.riaupos.co 05/08/2015). “Kalla Dukung Jokowi Hidupkan Lagi Pasal Penghinaan Presiden” (www.tempo.co 03/08/2015). “Hidupkan Pasal Penghinaan, Jokowi Tak Tahan Banting” (www.okezone.com 07/08/2015). PB PMII: Presiden Jangan Anti-kritik (www.okezone.com 12/08/2015).
Secarik Catatan
Rangkaian judul berita di atas menunjukkan bahwa salah satu masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah soal kemungkinan dihidupkannya lagi pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Kemungkinan itu muncul karena pasal yang mengatur hal tersebut masuk dalam draft Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diserahkan Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Banyak yang menyebut dimasukkannya pasal itu sebagai langkah mundur. Sebab, Mahkamah Konsitusi telah membatalkan aturan tentang itu pada 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat. Terlebih lagi, pasal yang dimaksud dinilai lentur karena makna menghina sangat tergantung kepada “Si Penafsir”.
Cermatilah! Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP itu, yang berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Sementara, ruang lingkup Penghinaan Presiden ada di RUU KUHP pasal 264: “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV” (www.detik.com 02/08/2015).
Masalahnya, ‘kualitas’ menghina itu batasannya seperti apa? Tentang lenturnya ‘kualitas’ menghina ini, di masa lalu kita banyak memiliki catatan suram bahwa betapa mudahnya seseorang ‘diadili’ dengan pasal penghinaan itu. Di titik ini, bisa dipastikan akan muncul kontroversi. Sebab, bagi publik, sering apa yang dimaksud sebagai ‘penghinaan’ itu ternyata tak lebih dari sekadar kritik biasa saja dari seseorang kepada orang lain atau dari seorang rakyat terhadap pemimpinnya.
Jika rumusan sebuah pasal bersifat seperti karet yang lentur, maka pasti akan muncul kontroversi dan ketidakpuasan. Bisa saja terjadi: kritik kata rakyat, tapi penghinaan kata pemimpin.
Sadarilah, masyarakat kita terus bergerak maju. Mereka paham, jika ada pemimpin yang ingkar janji harus ditagih. Mereka mengerti, jika prestasi pemimpin tak maksimal harus diingatkan. Mereka sadar, jika ada pemimpin yang ‘bengkok’ harus diluruskan. Dan, mereka juga pasti tahu perbedaan antara kritik dan menghina.
Dengan demikian, sebenarnya, seperti apa seharusnya kita menempatkan kritik? Di masyarakat yang beradab, kritik itu sesuatu yang niscaya. “Untuk menghindari kritik, jangan berkata apapun, jangan berbuat apapun, dan jangan menjadi siapapun.” Demikian, pesan sebuah ‘Mutiara Kata’ yang telah lama kita kenal. Artinya, dalam keseharian kita, kritik itu sesuatu yang niscaya. Tak seorangpun yang bisa menghindarinya. Sebab, kritik -sebagaimana obat-, sekalipun pahit harus tetap kita konsumsi agar sehat.
Sementara, dalam Islam, ada ajaran mulia agar antar-manusia bisa saling memberi nasihat dalam hal kebenaran dan kesabaran. “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS Al-‘Ashr [103]: 2-3). Nasihat, dalam takaran tertentu, bisa bernama kritik.
Dengan demikian, tampak bahwa kritik (atau nasihat) itu sangat kita perlukan. Dalam kalimat lain, akan sangat rugi jika kita anti-kritik. Hal ini sangat perlu diutarakan, sebab di tengah masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik -ketika pemimpin dipilih lebih karena kharismanya- maka kritik masih sering dianggap sebagai ancaman terhadap pribadi atau kelompok yang dikritik.
Apa boleh buat, pemahaman akan pentingnya kritik (atau nasihat) kerap hanya berhenti di level teori saja. Di tingkat praksis, sebagian dari kita, terlihat tak mudah untuk menerimanya sekalipun kritik itu sangat argumentatif (misalnya, substansi kritik itu berasal dari hasil sebuah penelitian yang sahih).
Sungguh, sebagian dari kita, terbilang gagal dalam mengelola kritik yang tertuju kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, sangat banyak pemimpin atau pejabat negara yang sesaat setelah dilantik, dengan wajah manis meminta publik (termasuk pers) untuk tak ragu-ragu mengritiknya. Tetapi, ketika kritik itu benar-benar datang kepadanya, bukan ucapan terima kasih yang didapat si penyampai kritik. Malah, bisa sebaliknya yaitu mulai dari sekadar mendapat ekspresi rasa tidak suka dan bahkan sampai ke berbagai bentuk ancaman.
Dalam konteks ini, kita -terutama para pemimpin-, layak untuk mengambil hikmah dari kata-kata Sobary ini. “Mengkritikpun tanda cinta. Kritik sering pedas, blak-blakan, menuding. Pihak yang dituding merasa pedih. Tapi, mana lebih mulia pada akhirnya: Dijerumuskan oleh loyalitas semu atau dicintai dengan kritik?”
Posisi kritik sebagaimana ‘dirumuskan’ Sobary, nilai pentingnya akan lebih terasa jika diarahkan kepada sosok pemimpin (dalam arti yang luas). Sebab, di tengah kultur bangsa kita yang sebagian masih memiliki cara pandang tradisional, maka figur pemimpin masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikultus-individukan, satu hal yang bertabrakan dengan spirit ‘manusia modern’. Sebenarnya, kita harus berterima-kasih kepada pihak yang mengritik karena kritik itu bisa menuntun kita menuju ‘jalan yang lurus’.
Tanda Cinta
Akhirnya, siapapun Anda, tak relakah Anda menerima cinta tulus dari pihak lain (seperti dari sesama warga negara, termasuk dari LSM, pers, dan lain-lain), yang cinta mereka sering dibahasakan lewat sekuntum kritik? Atau, masihkah Anda akan merenungkan dan kemudian memilih satu dari dua ‘opsi’ ini: “Mana lebih mulia pada akhirnya, dijerumuskan oleh loyalitas semu atau dicintai lewat sebutir ‘pil pahit’ bernama kritik?” []