Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Hijrah tidak hanya sebuah kejadian dilakukan Rasulullah Saw yang peristiwanya telah berakhir dan hanya ‘membekas’ dalam buku-buku. Akan tetapi hijrah adalah peristiwa sejarah, sekaligus sebuah konsep yang sarat makna. Artinya, hijrah harus tetap berlangsung dilakukan kaum muslimin. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadis, “Hijrah belum berakhir sehingga berakhirnya taubat, dan taubat tidak akan berakhir sehingga matahari terbit dari sebelah barat.” (HR Ahmad).
Sebagai sebuah konsep, hijrah maksudnya perpindahan perbuatan dari keburukan menuju kebaikan. Dari kekufuran menuju alam keimanan. Dari kekalahan menuju kemenangan.
Ketika Rasulullah Saw bersama para Sahabatnya berpindah ke Madinah, dakwah Islam berkembang pesat. Pengetahuan para Sahabat juga bertambah seiring turunnya wahyu tentang hukum-hukum syariah di Madinah. Intinya, hijrah merupakan perubahan menuju yang lebih baik.
Lihatlah perjalanan dakwah Rasulullah Saw ketika di Makkah dan di Madinah. Di Makkah, Rasulullah Saw belum berada pada posisi yang nyaman dan aman. Penghuninya masih banyak yang musyrik dan dakwah tidak berkembang karena dihalang-halangi. Ketika beliau pindah (hijrah) ke Madinah, Rasulullah Saw berhasil menaklukkan kota Madinah. Di sinilah nuansa keimanan sangat kuat, alam keilmuan berkembang dan Islam tersebar pesat semenjak itu.
Dalam konteks pengetahuan, hijrah dimaksudkan tidak sekedar bertambah ilmunya, namun ilmu yang bertambah itu ilmu yang benar, sesuai dan menjadikan takut (khasyyah) kepada Allah Swt. Ilmu yang salah, tidak tepat dan lainnya, harus ‘dihijrahkan’. Sebab, kesalahan ilmu bisa mencelakai dirinya. Seperti diterangkan dalam hadis: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh” (HR. Ibnu Hibban).
Sebelum menuju hijrah ilmu, pertama lakukan langkah introspeksi (muhasabah). Lihatlah, apakah ilmu-ilmu yang telah kita ambil sudah benar? Sudah tepat menempatkan skala prioritas ilmu. Informasi yang banyak belum tentu menjadi ilmu nafi’ (manfaat).
Dalam Islam, kita mengenal dua hierarki ilmu; ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu Muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman. Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya, seperti ilmu kedokteran, ilmu matematika, ilmu pertanian dan lain-lain (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin jilid 1).
Kita akui, mayoritas kaum Muslimin saat ini belum mampu menempatkan posisi fardhu ain dan fardhu kifayah dengan benar. Ilmu-ilmu fardhu kifayah umumnya menjadi prioritas utama. Sedangkan kelompok ilmu-ilmu fardhu ‘ain diremehkan bahkan diabaikan.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, kekacauan ilmu terjadi ketika seorang pelajar mendapat pengajaran yang tidak tepat mengenai konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kesalahan itu terletak pada strategi pembelajaran. Yakni cara mengajarkan ilmu fardhu kifayah yang melepaskan secara total dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain.
Matematika, biologi, kimia, kedokteran, pertanian dan lain-lain dipelajari dengan serius sampai setingkat strata tiga. Pencapaian ini merupakan kebaikan bagi kaum Muslimin. Namun, akan tidak bernilai positif bagi pembelajarnya jika ilmu-ilmu dasar agama tidak dipelajari.
Di antaranya mungkin kecerdasannya disibukkan dengan menekuni hukum-hukum matematika. Meneliti hukum-hukum kimia, dan lain-lain namun masih belum memahami hukum shalat, zakat dan puasa.
Dapat juga ditemui, para orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun. Tapi lupa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam.
Jika kita masih dalam keadaan seperti tersebut di atas, maka sudah saatnya kita menghijrahkan ilmu kita, dari fardhu kifayah kepada fardhu ‘ain. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain sudah semestinya mendapatkan perhatian serius. Kedua macam ilmu itu semestinya berjalan sinergis. Fardhu ‘ain sebagai falsafah dasar dari ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu kifayah ditopang oleh ilmu fardhu ‘ain. Problema akhlak dan pemikiran umumnya disebabkan keliru menempatkan posisi ilmu fardhu ‘ain itu.
Kaum Muslimin yang telah menekuni bidang-bidang ilmu fardhu kifayah sudah saatnya menambah ‘porsi’ ngaji ilmu-ilmu dasar-dasar agama, syariah, fikih dan ilmu-ilmu wajib lainnya. Kecerdasan harus dimanfaatkan dengan baik, untuk ilmu-ilmu yang terbaik pula. Sangat baik, jika umat memiliki ilmuan sains yang faham agama, religius, beriman dan beradab. Jika ilmuan kita masih berada pada posisi kurang tepat dalam konsep keilmuan, maka mereka wajib menghijrahkan ilmu. Jadi, hijrah pemikiran sebetulnya merupakan hijrah ilmu pengetahuan.