Perkawinan Beda Agama dan Upaya Judicial Riview UU No.1 th. 1974

Written by | Opini

Ainul Yaqin, MSi.*

aaa-beda agamaInpasonline.com-Sebagaimana diberitakan di beberapa media, sejumlah nama antara lain Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Luthfi Sahputra, dan Anbar Jayadi, nama-nama ini adalah alumni dan sebagian masih mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mereka mengajukan judicial review atau uji materi atas pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) ini menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ketentuan bahwa keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama dianggap bertentangan dengan konstitusi karena membatasi ruang untuk mempraktikkan perkawinan beda agama yang oleh mereka dinyatakan sebagai hak asasi.

Kasus perkawinan beda agama sendiri telah lama terjadi di Indonesia. Sekitar tahun 1980 banyak media massa memberitakan kasus perkawinan beda agama, terutama antara pemeluk agama Islam dan Kristen. Majelis Ulama Indonesia ketika itu memberikan respon dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan haramnya perkawinan beda agama. Fatwa ini diputuskan dalam MUNAS (Musyawarah Nasional) MUI II tanggal 1 Juni 1980, yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka sebagai ketua umum dan Drs. H. Kafrawi sebagai sekretaris umum.

Beberapa tahun kemudian, tanggal 30 September 1986, MUI mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan agar orang Islam tidak menikah dengan orang yang berlainan agama dalam kondisi apapun. Surat terbuka tersebut merupakan jawaban dari sebuah surat yang dikirim Nasimul Falah, yang menanyakan status perkawinan antara bintang film Lidya Kandow yang beragama Kristen dengan Djamal Mirdad yang beragama Islam. Juga merupakan jawaban dari beberapa artikel di media massa, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat.

Selanjutnya MUI kembali mengeluarkan fatwa tentang larangan perkawinan beda agama dengan surat keputusan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang diputusakan dalam Musyawarah Nasional MUI VII tanggal 28 Juli 2005. Fatwa ini dikeluarkan untuk mempertegas fatwa sebelumnya dan merupakan jawaban atas opini yang secara gencar digulirkan oleh para aktivis liberal. Fatwa MUI ini juga merupakan upaya untuk membentengi umat Islam yang secara sistimatis mengalami penggerogotan aqidah dan syari’ah. Ada dua point penting dalam fatwa MUI tahun 2005 ini, pertama bahwa perkawinan beda agama tidak hanya haram, tetapi juga tidak sah. Konsekuensinya tentu sangat berat, orang yang menjalaninya akan dinilai zina ketika melakukan hubungan suami istri. Kedua, bahwa perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram. Memang, dalam hal perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. MUI memfatwakan perkawinan tersebut juga haram hukumnya karena faktanya mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya,. Keputusan ke dua ini lebih bernuansa pada upaya pencegahan (syadd al-dzari’ah).

Polemik seputar perkawinan beda agama tidak bisa dilepaskan dari modus gerakan kristenisasi yang berselingkuh dengan gerakan sekularisme dan liberalisme. Hal ini dapat dicermati dari dinamika politik menjelang kelahiran UU Perkawinan itu sendiri yaitu UU No. 1 tahun 1974. Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU Perkawinan. Sebagian dari isi drarft RUU perkawinan ini sebelum diserahkan pemerintah kepada DPR telah diketahui masyarakat melalui media massa. Ada sejumlah pasal-pasal bermasalah dalam RUU ini, yang kemudian diketahui bahwa darft RUU perkawinan ini dibuat oleh orang-orang di sekitar Ali Murtopo yang kebanyakan dari kalangan Kristen sekular. Berdasarkan penelitian majalah Tempo, sedikitnya terdapat sembilan pasal bermasalah yang berlawanan secara prinsipil dengan ajaran Islam. Diantara pasal bermasalah tersebut adalah pasal 11 ayat 2 yang menyatakan: “Perbedaan dikarenakan kebangsan, kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan dan keturunan, bukan merupakan halangan untuk perkawinan”. Pasal ini jelas memberikan legitimasi praktik perkawinan beda agama.

Menyikapi pasal-pasal bermasalah tersebut, para pemimpin Islam dari berbagai unsur secara serempak memberikan respon keras terhadap RUU terserbut. KH Yusuf Hasyim tokoh NU yang juga anggota DPR RI fraksi PPP dengan lantang mengatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Beliau juga menegaskan bahwa dengan RUU ini, minoritas dilindingi tetapi mayoritas tidak. Senada dengan itu, KH Badruddin Rusli anggota fraksi Karya Pembangunan juga berkomentar keras bahwa alasan umat Islam menolak RUU ini sangat jelas, adapun sekiranya saudara-saudara dari agama lain menerimanya, mungkin karena mendapat banyak untung dari RUU ini.

Sorotan tajam terhadap RUU Perkawinan tersebut juga datang dari Buya Hamka. Beliau menyatakan: “Dalam saat-saat golongan lain melihat kulit luar bahwa kaum muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, di saat itulah ditonjolkan suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, azas, dan prinsipnya iyalah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas dalam negara, meninggalkan syari’at agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantikannya dengan suatu peraturan dan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali.”

Dengan tegas pula Buya Hamka mengancam: “…demi kesadaran beragama, undang-undang ini tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Bahkan para ulama akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin berdasarkan undang-undang tersebut”.

Tidak cukup dengan memberi tanggapan keras di media massa yang bahkan sudah menjadi perang pernyataan, organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi dan menguasai gedung DPR di Senayan untuk mendesak supaya pasal-pasal bermasalah tersdebut diubah. Organisasi Pergerakan Mahasisiwa Islam Indonesia (PMII) yang saat ini beberapa aktivisnya ikut-ikutan arus liberalisme, waktu itu termasuk organisasi yang sangat keras menentang RUU Perkawinan yang bermasalah ini.

Di antara pernyataan yang paling keras menanggapi RUU Perkawinan tersebut adalah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama. Beliau berpendapat bahwa ada “kristenisasi dalam selubung”. Prof. Rasyidi juga mengemukakan bahwa pasal dalam RUU perkawinan ini merupakan satu paket dalam gerakan kristenisasi yang dijalankan oleh missionaris di Indonesia yang antar lain adalah adanya pembangunan gereja-gereja di tengah-tengah perkampungan umat Islam, di ladang persawahan dan di lokasi strategis di kota-kota besar melebihi kenyataan jumlah orang-orang Kristen di tempat-tempat itu. Gereja membagi-bagikan beras, pakaian, dan uang serta bea siswa sekolah kepada orang-orang Islam yang miskin; gadis-gadis Kristen, pemuda-pemuda Kristen merayu pemuda dan gadis muslim agar masuk Kristen.

Berbagai upaya lobby kepada pemerintah untuk memperbaiki draft RUU juga dilakukan, antara dimotori oleh KH. Bisri Sansuri dan KH. Masykur dari Nahdlatul Ulama. Pemerintah dengan memperhatikan respon penolakan yang begitu besar dari umat Islam akhirnya mau melakukan perubahan terhadap RUU perkawinan tersebut. UU Perkawinan pun disahkan dengan berbagi perubahan-perubahan yang mendasar. Pendeknya, UU Perkawinan yakni UU No.1 tahun 1974 yang sekarang ada adalah hasil perjuangan keras dan melelahkan bagi umat Islam. Sebaliknya, ketika Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disahkan, golongan Kristen sangat kecewa. Mereka mengeluarkan memorandum yang mengemukakan pandangan dasar mereka, memorandum tersebut berjudul, “Negara perlu memberikan ruang untuk kawin sah menurut hukum negara”. Prof. Rasyidi menanggapi memorandum tersebut, menyatakan, “Memorandum ini hanya mengemukakan problem yang dibuat-buat dengan argumentasi yang tidak bernilai yang intinya adalah, “janganlah mengatur perkawinan umat Islam, karena pemerintah tidak ada hubungannya dengan agama, seseoarang harus boleh kawin menurut suatu hukum di luar agama”.

Kini UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diputusakan dengan perjuangan keras dari umat Islam agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam terang-terang diusik. Yang mengusik adalah para aktivis sekular liberal berselingkuh dengan missionaris yang sudah sejak lama menyimpan rasa kecewa terhadap keberadaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini. Kaum liberal sendiri dalam berbagai kesempatan secara giat mengopinikan bahwa perkawinan beda agama tidak ada masalah dari perspektif ajaran agama (Islam). Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL dalam artikelnya di koran Kompas (Senin, 18/11/2002) mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, Al-Quran tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Maka, menurut Ulil segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.

Senada dengan Ulil, Abdul Moqsith Ghazali dalam sebuah paparan diskusi di Universitas Wahid Hasyim Semarang, Sabtu, 18 Desember 2004 mengatakan: “tidak ada dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Bagi saya, tidak ada dalil itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan di antara mereka. Itu yang dimaksud dengan kaidah, ‘adam al-dalil huwa al-dalil. Kalau sudah tidak ada dalil al-Qur`an yang melarang, maka berarti sudah tidak ada dalil, sehingga pernikahan perempuan Musimah dengan laki-laki non-Muslim mesti diperbolehkan”.

Dr. Zainun Kamal pengajar pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan alumnus Universitas Al-Azhar yang juga aktivis JIL dalam sebuah wawancara dengan Kajian Utan Kayu (KUK) yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 20 Juni 2002 mengatakan: “Yang diistilahkan Al-Qur’an dalam surat al-Ma’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab. Mereka percaya bahwa itu adalah kitab suci dan yang diutus kepada mereka adalah seorang nabi; maka menikahi mereka itu dibolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gauthama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Mereka itu dianggap sebagai orang yang diberi kitab dan boleh dikawini. Mereka kadang mengatakan, ini kitab dari Nabi Ibrahim, kok! Atau kitab dari Nabi Luth. Yahudi boleh karena jelas diutus padanya Musa. Umat Nasrani mempunyai nabi Isa”.

Ada sebuah paradoks di sini yang dilakukan oleh para aktivis liberal yang patut dipertanyakan, jika kaum liberal mengatakan bahwa pernikahan beda agama sah dan tidak ada masalah, lalu kenapa mereka risau dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, sampai-sampai ada upaya judicial riview. Ini artinya bahwa yang diperjuangkan mereka adalah sekularisme dan liberalisme, bukan reinterpretasi dan revitalisasi ajaran Islam seperti klaim yang mereka dengungkan. Tentu ujung-ujungnya adalah meruntuhkan sendi dasar ajaran Islam itu sendiri.

* Penulis adalah Sekretaris MUI Provinsi Jawa Timur

Last modified: 23/10/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *