Potret Buram
Harus kita akui, pengaruh media itu dahsyat. Misal, dari tahun ke tahun, lewat berbagai pemberitaan, pikiran kita seperti dicekoki bahwa perayaan tahun baru Masehi itu harus beraroma pesta. Kita di-‘paksa’ untuk menyaksikan kemegahan dan keramaian perayaan tahun baru di Sydney, Moskwa, Berlin, Paris, London, New York, dan lain-lainnya. Di Australia, misalnya, saat perayaan tahun baru 2011 diperkirakan 1,5 juta orang menonton pesta kembang api di pelabuhan Sydney. Di Amerika, ditaksir 1 juta orang memenuhi jalanan di Times Square, New York, untuk menyaksikan bola lampu raksasa.
Maka, dalam hal perayaan tahun baru, warga negeri ini seolah-olah tak ingin kalah dengan kota-kota besar di dunia. Lihatlah perayaan tahun baru 2011. Aktivitas berhura-hura adalah pemandangan yang paling mudah kita temui di berbagai tempat. Misal, banyak warga yang berkonvoi dengan kendaraan bermotor berkeliling kota, lalu menuju ke berbagai pusat keramaian. Sebagian yang lain menikmati aneka hiburan di tempat rekreasi, hotel, atau cafe sambil makan-minum.
Ketika jam menunjuk pukul 00.00 pertanda tahun2010 berganti 2011, mereka beramai-ramai meniup terompet, membakar petasan, dan menyulut kembang api. Mereka luapkan rasa girang.
Di Jakarta, warga memenuhi Monas, Bundaran Hotel Indonesia, dan Taman Impian Ancol. Di Ancol, misalnya, berkumpul sekitar 286.000 pengunjung. Di Jogjakarta, perempatan Tugu menjadi saksi keramaian. Di Semarang banyak yang berkerumun di Tugu Muda. Dan, di Medan, kawasan Lapangan Merdeka ramai sekali.
Di Surabaya, hujan kecil yang terus mengguyur di sepanjang malam tahun baru tak mengganggu kemeriahan pesta. Malam itu, jalan-jalan protokol padat. Dengan klakson dan terompet, mereka berkonvoi ‘mengukur’ jalan. “Kami nggak peduli hujan atau tidak, ini momen sekali setahun. Jadi, sayang kalau dilewatkan,” kata seorang bapak yang mengajak tiga anaknya berkeliling kota (Jawa Pos 2/1/2011).
Di Surabaya, hura-hura itu diwarnai insiden dan pelanggaran tertib berlalu lintas. Tercatat, dua tewas serta puluhan luka berat dan ringan. Mereka yang luka, antara lain karena kecelakaan, petasan, atau pengeroyokan.
Masih di Surabaya, sedikitnya 186 pengendara yang ugal-ugalan ditilang. Mereka ditindak aparat yang berwenang, antara lain karena kendaraannya memakai knalpot blong yang suaranya memekakkan telinga.
Di situs www.tempointeraktif.com 31/12/2010 ada judul “Jelang Tahun Baru, Remaja Jombang Borong Kondom”. Terkait itu, www.mediaindonesia.com 3/1/2011 menurunkan berita “Kondom Laris Manis untuk ‘Pesta’ Tahun Baru “. Dikabarkan, bahwa meningkatnya konsumsi kondom di akhir tahun ini sudah lazim terjadi di kota ini. Yang menarik, berdasar pengakuan sebuah sumber, lebih dari 75% pembeli terlihat masih remaja. Jika dibandingkan hari biasa, jumlah pembelian naik lebih dari 300%.
Sementara itu, di www.jpnn.com 3/1/2011, kita bisa baca bahwa pergantian tahun di Kota Banda Aceh pun disambut meriah oleh ribuan warga kota. Ada pesta kembang api dan dentuman mercon hampir di semua sudut kota. Pesta kembang api -menurut banyak kalangan- paling meriah sepanjang dua puluh tahun terakhir ini. “Mereka (penduduk Banda Aceh) juga bagian dari penduduk dunia yang ingin merayakan pergantian tahun,” kata seorang warga.
Hapus Nestapa!
Jika ditanya, untuk apa semua pesta itu? Maka, rata-rata mereka akan menjawab: “Untuk menyongsong hari esok dengan optimisme, guna meraih kehidupan yang lebih baik”.
Sebagai sebuah harapan, tentu saja hal itu boleh-boleh saja. Tapi, bagi Muslim yang baik, momentum dan format perayaan tahun baru Masehi bukanlah pilihan yang benar.
Pertama, dari segi momentum. Perayaan tahun baru Masehi tergolong rangkaian kegiatan hari raya orang-orang tak beriman yang tidak boleh diperingati oleh seorang Muslim. Dalam perayaan Hari Besar, sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa kaum Muslim hanya boleh merayakan Hari Besar-nya sendiri dan tidak meniru-niru atau mengambil hari yang sama dengan kaum Musyrik (Yahudi dan Nasrani).
Kedua, dari segi format. Dikabarkan, bahwa di sejumlah tempat, para pemuka lima agama menggelar doa bersama. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Fatwa Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama, yang –antara lain- menyatakan bahwa “Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam”.
Ketiga, masih dari segi format, perayaan tahun baru lekat dengan hura-hura, sebuah perbuatan sia-sia yang dilarang Islam. Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya (HR Tirmidzi).
Oleh karena itu, janganlah menjadi orang yang merugi lantaran suka mengerjakan hal-hal yang sia-sia. Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (QS Al-Kahfi [18]: 103-104).
Jauhi neraka jahannam, antara lain dengan meninggalkan hal-hal yang tak berfaedah, yang sia-sia! Perhatikanlah, bahwa di antara ciri-ciri orang yang akan terjauhkan dari neraka adalah: Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (QS Al-Furqaan [25]: 72).
Sebaliknya, jadilah calon penduduk surga lantaran berperilaku selalu menjauhi perbuatan dosa dan menjaga diri dari sesuatu yang tak bermanfaat. Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa (QS Ath-Thuur [52]: 23).
Jadi, tinggalkanlah semua perbuatan dosa dan yang tergolong sia-sia! Untuk apa? Agar tak nestapa dunia-akhirat! []