Selamatkan Aqidah di Perayaan Tahun Baru Masehi

Oleh : M. Anwar Djaelani

inpasonline.com – Banyak aktivitas di tengah-tengah masyarakat yang tergolong sebagai virus yang membahayakan aqidah umat Islam. Aktivitas bertahunbaruan (Masehi) termasuk yang harus kita waspadai. Mengapa?

Potret Kelabu

Tiap tahun, sangat banyak umat Islam yang terlibat dalam aktivitas bertahun-baruan Masehi. Padahal, di balik perayaan tahun baru Masehi ada resiko rusaknya aqidah karena acara itu tergolong dalam rangkaian kegiatan hari raya orang-orang kafir yang tidak boleh diikuti oleh seorang Muslim.

       Memang sangat memprihatinkan saat menyaksikan performa banyak umat Islam di setiap perayaan tahun baru Masehi. Kecuali soal ancaman rusaknya aqidah, mereka yang bertahun-baruan Masehi juga melakukan beragam aktivitas yang tergolong sia-sia dan itu tak beda dengan perilaku orang-orang yang tak beriman. Lihatlah berbagai kegiatan yang kerap terjadi di perayaan tahun baru Masehi itu: Begadang semalam suntuk, berkonvoi dengan motor/mobil, bernyanyi-nyanyi, makan-makan, meniup terompet, membakar kembang api, dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.

       Harus kita akui, pengaruh media itu dahsyat. Misal, dari tahun ke tahun, lewat berbagai pemberitaan, pikiran kita seperti dicekoki bahwa perayaan tahun baru Masehi itu harus beraroma pesta. Kita ‘dipaksa’ untuk menyaksikan kemegahan dan keramaian perayaan tahun baru –misalnya- di Sydney, Moskwa, Berlin, Paris, London, New York, dan lain-lainnya.

       Maka, dalam hal perayaan tahun baru Masehi, warga negeri ini seolah-olah tak ingin kalah dengan kota-kota besar di dunia.  Lihatlah di berbagai perayaan tahun baru. Aktivitas berhura-hura adalah pemandangan yang paling mudah kita temui di berbagai tempat. Misal, banyak warga yang berkonvoi dengan kendaraan bermotor berkeliling kota dan lalu menuju ke berbagai pusat keramaian. Sebagian yang lain menikmati aneka hiburan di tempat rekreasi, hotel, dan lain-lainnya.

       Ketika jam menunjuk pukul 00.00 pertanda tahun telah berganti, mereka beramai-ramai meniup terompet, membakar petasan, dan menyulut kembang api. Mereka luapkan rasa girang.

       Di Jakarta, warga biasanya memenuhi Monas, Bundaran Hotel Indonesia, dan Taman Impian Ancol. Di Jogjakarta, perempatan Tugu sering menjadi saksi keramaian. Di Semarang, kerap banyak yang berkerumun di Tugu Muda. Di Medan, kawasan Lapangan Merdeka sering menjadi jujugan. Sementara, di Surabaya, banyak tempat yang bisa dijadikan pilihan.

Sekadar membuka cerita di hari ‘kemarin’, pada 31/12/2010 situs www.tempointeraktif.com menurunkan judul “Jelang Tahun Baru, Remaja Jombang Borong Kondom”. Masih terkait dengan berita tersebut, situs www.mediaindonesia.com 3/1/2011 menurunkan judul “Kondom Laris Manis untuk ‘Pesta’ Tahun Baru“. Dikabarkan, bahwa meningkatnya konsumsi kondom di akhir tahun ini sudah lazim terjadi di kota itu. Yang menarik, berdasar pengakuan sebuah sumber, lebih dari 75% pembeli terlihat masih remaja. Jika dibandingkan hari biasa, jumlah pembelian naik lebih dari 300%.

Sementara itu, di www.jpnn.com 3/1/2011 kita bisa baca bahwa pergantian tahun di Kota Banda Aceh pun disambut meriah oleh ribuan warga kota. Ada pesta kembang api dan dentuman mercon hampir di semua sudut kota. Pesta kembang api -menurut banyak kalangan- termasuk yang paling meriah di sepanjang dua puluh tahun terakhir ini. “Mereka (penduduk Banda Aceh) juga bagian dari penduduk dunia yang ingin merayakan pergantian tahun,” kata seorang warga.

Jika ditanya untuk apa semua pesta itu? Maka, rata-rata mereka akan menjawab: “Untuk menyongsong hari esok dengan optimisme, guna meraih kehidupan yang lebih baik”.

Membuat harapan tentu boleh-boleh saja. Tapi, bagi Muslim yang baik, momentum dan format perayaan tahun baru Masehi bukanlah pilihan yang benar. Pertama, dari segi momentum. Perayaan tahun baru Masehi tergolong rangkaian kegiatan hari raya orang-orang tak beriman yang tidak boleh diperingati oleh seorang Muslim. Dalam perayaan Hari Besar, sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa kaum Muslim hanya boleh merayakan Hari Besar-nya sendiri dan tidak meniru-niru atau mengambil hari yang sama dengan kaum musyrik (Yahudi dan Nasrani).

Kedua, dari segi format. Dikabarkan, bahwa di sejumlah tempat para pemuka lima agama menggelar doa bersama. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Fatwa Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama, yang menyatakan bahwaDoa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam”.

Ketiga, masih dari segi format, perayaan tahun baru Masehi lekat dengan hura-hura, sebuah perbuatan sia-sia yang dilarang Islam. Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya” (HR Tirmidzi).

 

Ancaman Itu

Mari lebih kita dalami lagi. Tentang perayaan tahun baru Masehi, berikut ini petikan dari www.eramuslim.com edisi 29/12/2009: “Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga dunia”.

“Seperti kita ketahui, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka, yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang Dewa Lemanja, Dewa Laut yang terkenal dalam legenda Negara Brazil.”

“Menurut sejarah, bulan Januari (terkait) dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi”.

Sekali lagi, dalam soal perayaan Hari Besar, sejak awal Rasulullah SAW telah memberikan garis yang tegas agar kaum Muslim hanya merayakan Hari Besar-nya sendiri dan tidak meniru-niru atau mengambil hari yang sama dengan kaum musyrik (Yahudi dan Nasrani).

Di kitab Iqtidha’u ash-Shiraati al-Mustaqim Mukhaalifatu Ashhaabi al-Jahiim, Ibnu Taimiyah mengutip Umar bin Khaththab RA –Sahabat Nabi Muhammad SAW- yang berkata: ”Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik saat peringatan hari besar mereka. Sesungguhnya kemurkaan Allah sedang turun atas mereka”. Bahkan, lebih tegas lagi, Umar bin Khaththab RA mengingatkan: ”Jauhilah musuh-musuh Allah saat (peringatan) hari besar agama mereka (Husaini, 2005: 11).

Turut di dalam perayaan tahun baru Masehi adalah bentuk partisipasi di dalam agenda kekufuran. Ikut merayakan hari raya mereka sama saja dengan mempertontonkan dukungan dan loyalitas kita terhadap kekufuran.

Bagi seorang Muslim yang ikut merayakan tahun baru Masehi bisa berakibat kepada, pertama, tercemarinya aqidah seperti yang telah sedikit dipaparkan di atas.

Kedua, bersikap tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sebuah perilaku yang dilarang oleh Rasulullah SAW (sesuai HR Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani).

Ketiga, berperilaku yang lekat dengan hal-hal yang bersifat hura-hura, sebuah perbuatan sia-sia karena tidak mendatangkan kemanfaatan. Tentu saja, hura-hura itu –kecuali dekat dengan maksiat- kerap membutuhkan biaya yang tak sedikit. Oleh karena aktivitas perayaan tahun baru Masehi tak ada manfaatnya bagi seorang Muslim, maka pasti semua biaya yang dikeluarkannya untuk acara itu termasuk pemborosan. Uang yang dikeluarkan untuk merayakannya (seperti untuk: makan-makan, tiket masuk arena hiburan, bahan bakar minyak motor / mobil, menyulut kembang api, dan sebagainya) adalah bentuk pembelanjaan yang sia-sia di sisi Allah.

Sekadar contoh dalam hal pemborosan terkait hura-hura di sekitar perayaan tahun baru Masehi, silakan klik www.jakartapress.com. Di salah satu beritanya, kita bisa baca judul: “2010 Kembang Api TMII Habiskan Rp 2 Miliar”. Inti berita, bahwa di acara pergantian tahun 2009-2010, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bakal meluncurkan pesta kembang api sebanyak 2010 tembakan. Total kembang api seberat 750 kg beserta kegiatan penunjangnya ini menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar.

Luar biasa! Uang Rp 2 miliar habis untuk berhura-hura dan dihanguskan lewat aksi bakar kembang api hanya dalam waktu sekitar dua puluh lima menit. Sungguh mubadzir! Padahal, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS Al-Israa’ [17]: 27).

 

Jauhi, jauhi!

Mari tinggalkan sesuatu yang Allah tak ridha. Jangan bantu mereka yang tak tunduk kepada agama Allah. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS Al-Maidah [5]: 2).

Jauhi segala aktivitas yang tak bermanfaat, yang sia-sia. “Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya” (HR Tirmidzi).

Jauhi neraka jahannam, antara lain dengan meninggalkan hal-hal yang tak berfaedah, yang sia-sia! Perhatikanlah, bahwa di antara ciri-ciri orang yang akan terjauhkan dari neraka adalah: “Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS Al-Furqaan [25]: 72).

Semoga Allah memudahkan semua usaha kita dalam menyelamatkan aqidah dari berbagai virus di sekitar kita. Untuk itu, tinggalkanlah semua perbuatan dosa dan yang tergolong sia-sia agar tak nestapa dunia-akhirat! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *