Catatan Tak Elok
Di Surabaya, memasuki “sepuluh hari yang terakhir” Desember 2011, di banyak tempat –terutama di perempatan jalan- banyak pengasong yang menjual trompet. Kita tahu, trompet telah menjadi salah satu ‘asesori’ wajib di saat pesta sambut Tahun Baru Masehi.
Untuk menarik minat calon pembeli, tak jarang para pengasong itu meniup trompetnya keras-keras. Tentu saja, terutama bagi yang mengerti bahwa “bertrompet-ria” saat sambut Tahun Baru adalah pekerjaan yang sama sekali tak berdasar, maka bunyi trompet yang memekakkan telinga itu sangat mengganggu, untuk tak menyebut menjengkelkan.
Kelak, ketika malam Tahun Baru itu tiba, terutama di detik-detik pergantian tahun –dari 2011 ke 2012- aneka bebunyian ‘dinyalakan’ bersama-sama. Mercon atau petasan berdentam-dentam di mana-mana dan itu sungguh mengganggu banyak orang yang sedang tidur.
Kita prihatin, karena sebagian umat Islam hanyut dalam perayaan yang bukan tak mungkin mereka tak tahu untuk apa semua hura-hura itu dilakukan. Memang, dalam konteks ini, kita merasakan bahwa pengaruh pemberitaan media massa itu dahsyat. Misal, dari tahun ke tahun, lewat berbagai pemberitaan, pikiran kita seperti dicekoki bahwa perayaan Tahun Baru Masehi itu harus beraroma pesta. Kita di-‘paksa’ untuk menyaksikan kemegahan dan keramaian perayaan Tahun Baru di Sydney, Moskwa, Berlin, Paris, London, New York, dan lain-lainnya.
Kita kerap disuguhi berita-berita ‘hebat’. Misal, dikabarkan bahwa si Australia, di saat pergantian tahun 2010-2011 diperkirakan 1,5 juta orang menonton pesta kembang api di pelabuhan Sydney. Di Amerika, ditaksir 1 juta orang memenuhi jalanan di Times Square, New York, untuk menyaksikan bola lampu raksasa.
Sekarang bandingkan dengan di sekitar kita di saat pergantian tahun 2010-2011. Aktivitas berhura-hura adalah pemandangan yang paling mudah kita temui di berbagai tempat. Misal, banyak warga yang berkonvoi dengan kendaraan bermotor berkeliling kota, lalu menuju ke berbagai pusat keramaian. Sebagian yang lain menikmati aneka hiburan di tempat rekreasi, hotel, atau cafe sambil makan-minum.
Ketika jam menunjuk pukul 00.00 pertanda tahun2010 berganti 2011, mereka beramai-ramai meniup trompet, membakar petasan, dan menyulut kembang api. Mereka luapkan rasa girang. Di Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Medan, dan Surabaya sangat meriah. Malam itu, jalan-jalan protokol padat. Dengan klakson dan trompet, mereka berkonvoi ‘mengukur’ jalan. Jika hujan datang, mereka-pun tak peduli. “Ini momen sekali setahun, sayang kalau dilewatkan,” kata sebagian dari mereka.
Di Aceh-pun –seperti yang diberitakan www.jpnn.com 3/1/2011- pergantian tahun 2010-2011 juga meriah. Di Kota Banda Aceh ada pesta kembang api dan dentuman mercon di hampir semua sudut kota. Pesta kembang api -menurut banyak kalangan- paling meriah di sepanjang dua puluh tahun terakhir ini.
Masih ada kisah lain! Di situs www.tempointeraktif.com 31/12/2010 ada judul “Jelang Tahun Baru, Remaja Jombang Borong Kondom”. Terkait itu, www.mediaindonesia.com 3/1/2011 menurunkan berita “Kondom Laris Manis untuk ‘Pesta’ Tahun Baru “. Pertanyaannya, bagi remaja-remaja itu, untuk apa kondom-kondom itu?
Tinggalkan! Jauhi!
Jika ditanya, untuk apa semua pesta itu? Maka, rata-rata mereka akan menjawab: “Untuk menyongsong hari esok dengan optimisme, guna meraih kehidupan yang lebih baik”.
Sebagai sebuah harapan, tentu saja hal itu boleh-boleh saja. Tapi, bagi Muslim yang baik, momentum dan format perayaan Tahun Baru Masehi bukanlah pilihan yang benar.
Pertama, dari segi momentum. Perayaan Tahun Baru Masehi tergolong rangkaian kegiatan Hari Raya orang-orang tak beriman yang tidak boleh diperingati oleh seorang Muslim. Dalam perayaan Hari Besar, sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa kaum Muslim hanya boleh merayakan Hari Besar-nya sendiri dan tidak meniru-niru atau mengambil hari yang sama dengan kaum Musyrik (Yahudi dan Nasrani).
Kedua, dari segi format. Dikabarkan, bahwa di sejumlah tempat, para pemuka lima agama menggelar doa bersama. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan Fatwa Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama, yang –antara lain- menyatakan bahwa “Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam”.
Ketiga, masih dari segi format, perayaan Tahun Baru lekat dengan hura-hura, sebuah perbuatan sia-sia yang dilarang Islam. “Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya” (HR Tirmidzi).
Oleh karena itu, janganlah menjadi orang yang merugi lantaran suka mengerjakan hal-hal yang sia-sia. “Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS Al-Kahfi [18]: 103-104).
Jauhi neraka jahannam, antara lain dengan meninggalkan hal-hal yang tak berfaedah, yang sia-sia! Perhatikanlah, bahwa di antara ciri-ciri orang yang akan terjauhkan dari neraka adalah: “Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS Al-Furqaan [25]: 72).
Sebaliknya, jadilah calon penduduk surga lantaran berperilaku selalu menjauhi perbuatan dosa dan menjaga diri dari sesuatu yang tak bermanfaat. “Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa” (QS Ath-Thuur [52]: 23).
Jadi, tinggalkanlah semua perbuatan dosa dan yang tergolong sia-sia! Untuk apa? Agar tak nestapa dunia-akhirat! []