Mujahadah Membentuk Jiwa Beradab

Di kalangan ahli tasawwuf, jihad nafsu itu menjadi cara untuk membentuk jiwa bertakwa dan beradab, yaitu jiwa yang ingatannya tidak pernah lepas dari Allah Swt dalam setiap aktifitasnya. Akhak terpuji kata Imam al-Ghazali diperoleh dengan mujahadah dan riyadlah.

Seseorang yang ingin beretika tawadlu misalnya, maka ia harus melatih jiwanya secara terus-menerus untuk bersikap seperti sikapnya para ulama yang tawadlu. Jiwa harus dipaksa untuk meneladaninya (Ihya Ulumuddin Jilid 3, hal.63). Menurut Imam al-Ghazali, setiap sifat itu cerminan dari hati yang memancarkan bekasnya pada aktifitas anggota badan (jawarih). Jika cermin hati kotor, maka sifat dan anggota badannya ikut menjadi buruk. Setiap gerakan anggota badan berjalan atas ‘perintah’ hati. Maka, tidak mungkin memperbaiki pribadi tanpa proses bersih-bersih hati.

Seperti dikisahkan oleh Imam al-Ghazali, bahwa ada seorang ulama yang membiasakan untuk bersikap bijaksana, menghilangkan kebiasaan marah dalam dirinya. Ia memaksa jiwanya untuk setiap saat bersikap sabar. Paksaan itu ia lakukan dengan keras, sampai ia benar-benar sabar dan bijak. Caranya dengan meniru setiap kebiasaan orang-orang yang sabar.

Karena itu, jiwa seseorang –kata Imam al-Ghazali– harus mengetahui kekurangan dirinya, agar ia tidak angkuh. Imam al-Ghazali memberi tips, agar jiwa tidak angkuh, nafsu terkendali dan menyadari kekurangan dirinya. Di antara caranya adalah; berkawan dengan seorang guru ‘alim yang mengenal ‘aib-‘aib jiwa, meminta teman terpercaya untuk menasihati, memanfaatkan orang-orang yang tidak menyukai kita sebab biasanya orang-orang seperti itu membuka kelemahan kita, bergaul dengan orang-orang banyak sehingga ia bisa mengambil ibrah dari ‘aib orang-orang yang ia temui untuk menjadi pelajaran baginya. Inilah beberapa cara Imam al-Ghazali untuk menaklukkan syahwat.

Islam menyeru umatnya untuk mengendalikan syahwat sesuai dengan syariat Allah Swt. Syahwat tidak dilampiaskan semau sendiri, tapi syahwat juga tidak dilarang untuk memenuhi syahwat dunia dengan kadar tertentu dan sesuai dengan yang diperintah Allah Swt. Syahwat mata, telinga, perut, seksual dan lain-lain boleh dipenuhi dengan batas dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 74). Pemenuhan dengan batas tertentu ini merupakan kemurahan dan rahmah Allah Swt terhadap hamba-Nya. Sedangkan larangan untuk melampiaskan secara bebas dalam rangka agar manusia tidak seperti hewan yang tanp aturan.

Di antara salah satu cara terbaik yang ditempuh ulama salaf untuk mujahadah ini adalah dengan mengingat mati. Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitabnya Tanbih al-Mughtarin menyebut bahwa mengingat-ingat mati pada setiap langkah perbuatannya adalah salah satu karakter para salafuna shalih. Ketika setiap perbuatannya disertai mengingat mati, mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan tujuan ridla Allah.

Imam ad-Daqqaq berkata, “Barangsiapa memperbanyak mengingat mati, dia dikaruniai tiga perkara: Menyegerakan taubat, hati yang qana’ah, dan semangat beribadah.” (Imam al-Qurtubi, al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umuri al-Akhirah). Mengingat mati memang secara cepat akan menggetarkan jiwa untuk takut kepada Allah. Diceritakan bahwa, ketika Sufyan al-Tsauri sedang bertadabbur mengingat-ingat mati, maka tidak seorangpun bisa membujuk dia. Jika ditanya tentang perkara dunia, ia menjawab: “Saya tidak tahu”. Begitulah sikap Sufyan al-Tsauri ketika dirasa hatinya kurang mendekat kepada Allah. Ia langsung bermuhasabah mengingat akhirat dan membayangkan pedihnya sakaratul maut.

Maka, waktu terasa sangat berharga. Dari dua belas bulan, Allah menyediakan waktu yang sangat kondusif untuk mujahadah dan riyadlah. Waktu di sini adalah saatnya untuk ‘menghisab’ diri. Umar bin Khattab r.a pernah berkata: ”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”

Orang merugi adalah orang yang tidak memanfaatkan aktifitasnya untuk kehidupan abadi, yaitu hidup setelah mati. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan: “Jika Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan”. Kebatilan disebabkan nafsu yang tidak terkendali dan menguasai seluruh gerak badan. Dalam Islam, kesenangan dengan pelampiasan nafsu tak terkendali itu sesungguhnya kesenangan semu dan sementara.

Kebahagiaan yang hakiki didapat oleh jiwa yang beradab.  Dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa kebahagiaan (sa’adah) tidaklah merujuk kepada sifat kesenangan badani dan materi, bukan pula kepuasan syahwat. Bukan pula keadaan akal dan pikiran yang berasa nikmat oleh pencapaian duniawi. Namun, kebahagiaan itu merujuk kepada hakikat wujud mutlak (yaitu Allah Swt) dan hakikat kehidupan abadi (yaitu akhirat). Sesorang yang benar-benar yakin dalam hatinya terhadap kebenaran Allah Swt, dan ringan menjalankan perintah Allah Swt menurut Syed al-Attas dipastikan hati, jiwa, pikiran dan raganya dalam kondisi sejahtera (Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam, hal. xxxv). Maka, lihatlah, tidak pernah dijumpai orang stres yang disebabkan karena banyak beribadah. Atau, tidak ada cerita bahwa orang menjadi gila karena patuh syari’at.

Kesejahteraan bukan seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx bahwa kebahagiaan yang sebenarnya itu bersifat materi. Justru orang-orang seperti tersebut semuanya bekerja karena disebabkan untuk memenuhi syahwat secara membabi-buta. Mereka tertipu oleh kesejahteraan materi.

Orang berpuasa yang benar-benar ikhlas, dijamin Allah Swt mendapatkan sa’adah –kesenangan jiwa- baik di dunia maupun di akhirat. []

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *