Hampa Jiwa dalam Psikologi Berparadigma Sekuler

Oleh Galuh Andina,

mahasiswi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

 

Psikologi merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Segala aktivitas kejiwaan diteliti kemudian disimpulkan menjadi berbagai macam teori untuk memahami hakikat jiwa itu sendiri. Pandangan Barat terhadap jiwa memiliki banyak perspektif, baik saling menguatkan atau saling melemahkan.

Beberapa tokoh yang terkenal dalam dunia psikologi Barat memandang individu manusia sebagai pusat dari pergerakan jiwa itu sendiri. Fokus yang terlihat adalah mengedepankan otak sebagai pusat orbit pengalaman kejiwaan manusia.

Tidak semua yang berasal dari pandangan Barat itu salah, tetapi ketika pandangan Barat tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia yang dipaparkan oleh Islam maka tentu perlu dipertanyakan. Barat dan Islam memiliki cara pandang hidup yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan worldview. Worldview yang berbeda ini akan secara otomatis melahirkan perbedaan hasil dari teori masing-masing.

Beberapa tokoh dalam dunia Islam seperti al-Mauwdudi mendefinisikan worldview atau Islami Nazariyat sebagai sebuah pandangan hidup dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.

Bagi Naquib al-Attas, worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).

Sedangkan jika kita merujuk pada definisi Barat, worldview adalah a particular philosophy of life or conception of the world. Barat mendefinisikan worldview hanya sebatas masalah dunia, fisik dan realitas. Cakupan yang jauh lebih abstrak dan tidak terjangkau akal seringkali dimasukkan ke dalam ranah rasa yang bisa diraba sehingga terjadi ketidakpahaman secara universal. Keterbatasan worldview  ini memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan manusia sebagai fokus subjek yang dibahas dimensi kejiwaannya.

Psikologi yang dibangun atas paradigma sekuler menafikan aspek-aspek metafisik dan spiritual transendental. Sedangkan jiwa merupakan hal yang abstrak, tidak dapat dilihat oleh mata namun hidup dalam raga. Beberapa hal yang menjadi fokus dalam pandangan psikologi sekuler adalah trauma masa lalu, pengalaman masa kecil, insting (hidup/eros/seks dan mati), dsb.

Jiwa menurut Freud berpusat pada pengalaman-pengalaman hidup, nilai-nilai yang diinternalisasi, insting hidup dan mati (insting hidup adalah insting untuk mempertahankan diri dan bertahan hidup, segala perilaku yang mengarah pada tujuan mempertahankan diri akan berlatang belakang pemuasan seksual. Sedangkan insting mati adalah yang bersifat agresif sebagai jalan untuk pemuasan diri/mengurangi ketegangan. Insting ini bersifat merusak dan mengarah kepada orang lain untuk menghindari pengerusakan diri/suicide).

Freud yang berparadigma sekuler bahkan dianggap gagal ketika ia tidak berhasil menemukan sumber fisik dari insting mati.  Jiwa dalam paradigma seperti ini sangat jauh dan terbatas dari aktivitas jiwa yang sebenarnya bergerak dinamis menyelam dalam pengalaman metafisik.

Mari kita lihat definisi jiwa menurut Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin. Jiwa (Nafs) memiliki dua makna. Makna yang pertama makna yang mencakup kekuatan amarah, syahwat dan seluruh sifat tercela (yaitu yang sering disebut nafsu). Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “A’da ‘aduwwika nafsuka allati baina janbaika”(Musuhmu yang paling nyata adalah nafsumu yang terdapat dalam kedua rongga dada tubuhmu) (HR al-Baihaqi). Makna kedua adalah bisikan rabbaniah. Bisikan ini yang dapat mengenal Allah SWT dan memahami apa yang tidak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan. Adanya anNafs inilah yang menjadi ciri khas manusia dan dapat membedakannya dengan binatang.

Melalui perbedaan defisini jiwa di atas akan muncul perbedaan sikap terhadap fenomena jiwa dalam hidup manusia dan juga solusi atas permasalahan jiwa yang terus berkembang. Ketika manusia mengalami “sakit” pada jiwanya, maka paradigma sekuler (Freud) akan “menyalahkan” pengalaman masa lalu sehingga menilik dan menilai bahwa masa lalu yang menyebabkan perilaku dengan berfokus kepada aktivitas manusia yang stagnan, artinya manusia dengan manusia lain atau manusia dengan dirinya sendiri. Solusi yang ditawarkan Freud pun seputar membawa pasien keluar dari bawah-sadar ke alam sadarnya, dan dapat berkembang menyelesaikan masa lalunya dengan kembali ke masa lalu tersebut. Sedangkan jiwa yang sakit dalam Islam adalah ketika jiwa tersebut jauh dari fitrahnya mengenal Allah SWT, maka solusi yang diberikan oleh Islam adalah dengan mengenal dan mendekat kepada Rabb dari jiwa itu sendiri, yaitu Allah SWT.

Perbedaan cara pandang (worldview) ini juga akan mengarahkan manusia ke dalam dua pilihan. Ketika kita sebagai individu memandang jiwa hanya sebatas interaksi antara manusia dengan manusia atau bergerak di dalam diri manusia itu sendiri maka kita tidak akan menemukan ujung kebahagiaan yang hakiki. Mengapa? Karena manusia tidak kekal, manusia akan mati, seperti pendapat Freud bahwa ujung dari kehidupan ini adalah kematian. Namun, ketika kita memandang bahwa jiwa adalah sesuatu yang dinamis dalam mengenal Rabbnya, maka tujuan akhir kita adalah kehidupan, karena Rabb kita, Allah SWT adalah Yang Maha Kekal. Kita hidup untuk hidup, kita hidup di dunia untuk bekal hidup di akhirat. Motivasi hidup inilah yang akan menggerakkan manusia untuk berperilaku sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengenal dan dekat dengan Rabb-nya.

Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya -Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh Quwahuma- berkata, “Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan akalnya dibanding mengikuti hawa nafsunya”. Kenudian Ibnu Qayyim al-Jauziyah menekankan kebahagiaan jiwa sebagai ungkapan kesehatan jiwa. Baginya, wahyu adalah sumber kehidupan roh, sedangkan roh merupakan sumber kehidupan jasmani. Karenanya, barang siapa yang kehilangan roh, maka ia akan kehilangan kehidupan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dapat kita simpulkan, barangsiapa yang “membuang” wahyu, maka ia “kehilangan” rohnya.

Oleh karena itu penting bagi seorang muslim untuk memiliki dan menginternalisasi cara pandang Islam (Islamic worldview) agar jelas makna dan tujuan hidup ini, dari siapa dan untuk siapa kita hidup. Allah SWT berfirman, “Wa maa kholaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduun” (Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku) (QS Adz-Dzariyat:56).

Wallahu a’lam. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *