Siapa Cemburu
Perasaan seperti yang dimaksud pada kalimat pertama pada paragraf di atas bisa disebut sebagai ghirah. Perasaan tersebut sangat normal ada pada setiap kaum yang beriman.
Tentang ghirah, (almarhum) HAMKA menulis buku: “Ghirah dan Tantangan terhadap Islam”. Lalu, di bawah judul “Ghirah Sang Buya”, Akmal Sjafril menulis catatan atas buku itu di www.akmal.multiply.com 8/4/2010. Berikut ini petikannya.
Sejumlah suku bangsa Indonesia dikenal memiliki semangat tinggi dalam menebus kehormatan. Misal, mudah bagi orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatan mereka disinggung. Atau, lihatlah orang Madura! Jika suatu saat harus masuk penjara karena membela kehormatan, maka setelah bebas dia akan disambut hangat oleh keluarganya.
Ada contoh menarik di zaman Rasulullah SAW. Suatu saat, seorang Muslimah membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa’. Sementara si tukang sepuh bekerja, si muslimah duduk menunggu.
Tak berselang lama, datang sejumlah orang Yahudi lainnya dan meminta perempuan itu membuka penutup mukanya. Si Muslimah tentu saja menolak. Lalu, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaian si Muslimah. Akibatnya, aurat si Muslimah tadi terbuka seketika dia berdiri. Spontan si Muslimah menjerit, sementara orang-orang Yahudi tertawa-tawa kesenangan.
Kejadian tak patut itu didengar seorang pemuda Muslim. Lalu, dengan sigap dia membunuh si tukang sepuh. Tapi, pemuda itupun kemudian dibunuh pula oleh orang-orang Yahudi lainnya.
Atas kejadian itu, Rasulullah SAW langsung memerintahkan untuk mengepung Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari Madinah.
Peristiwa di atas dahsyat. Kaum beriman memeragakan ghirahnya! Padahal -bagi kebanyakan orang-, awal dari peristiwa itu termasuk sesuatu yang sepele yaitu tak lebih dari sekadar ‘insiden kecil’ saja. Tapi, itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh HAMKA sebagai “kecemburuan”.
Ghirah adalah sebentuk kecemburuan yang ‘dibakar’ oleh ‘api’ pembelaan kepada agamanya, Islam. Ghirah itu merupakan bagian dari ajaran Islam. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ tergerak karena adanya ikatan aqidah yang kuat. Menghina seorang Muslimah sama saja dengan merendahkan semua umat Islam.
Ghirah adalah buah dari iman. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina. Dalam banyak contoh, keselamatan diri seorang Muslim akan ‘dinomorsekiankan’ dan dia akan lebih mendahulukan kepentingan/kehormatan agamanya.
Kini, ke Mana?
Pada 10/07/2012 sejumlah media –termasuk www.kompas.com- mengabarkan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan: “Semenjak ada MK, kebebasan individu ateis dan komunis bebas menjalankan apa yang dianutnya di Indonesia. Tapi mereka tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain, terutama orang yang menganut agama tertentu. Kebebasan harus dianggap sama.”
Pernyataan Mahfud MD yang memerbolehkan seorang ateis dan komunis hidup di Indonesia didasarkan pada pertanyaan eksplisit Kanselir Jerman Angela Merkel saat keduanya bertemu di Jakarta, yang menyinggung kebebasan beragama dan proses demokratisasi di Indonesia.
Pernyataan Mahfud MD di atas membuat terhenyak banyak orang. Sebab, terutama dalam konteks Indonesia, publik tak akan pernah lupa berbagai pengkhianatan dan bahkan kekejaman dari kaum komunis terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Dulu, kaum komunis menghimpun diri dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Apa yang dikerjakannya? Tak jarang mereka melecehkan Islam, termasuk dengan aksi pembakaran-pembakaran Al-Qur’an.
Pada 1948 PKI membantai umat Islam di Madiun. Mereka melakukan pembunuhan massal, merampas harta benda, mengintimidasi dan menculik ulama yang dianggap menghalangi kepentingannya, serta melakukan percobaan kudeta.
Pada 1965 –untuk kali kedua- PKI melakukan makar yaitu ingin mengubah dasar negara menjadi komunisme. Di antara aksinya waktu itu, mereka menculik, menyiksa dan membunuh sejumlah jenderal.
Jika Mahfudz MD berbicara bahwa ateis dan komunis bebas menjalankan apa yang dianutnya di Indonesia, maka pantas jika kita bersedih. Rupanya, ghirah telah tercerabut di banyak pribadi muslim.
Terkait ini, renungkanlah: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al-Mumtahanah [60]: 9).
Mari kita buka Tafsir Al-Azhar. Kita ikuti saat HAMKA menjelaskan makna QS Al-Mumtahanah [60]: 9 itu. Kata HAMKA, dilarang keras oleh Allah berteman, berkawan karib, mengharapkan pertolongan dari orang yang telah nyata-nyata memusuhi, memerangi dan hendak menghapuskan Islam, hendak mengusir kita.
HAMKA lalu menekankan ayat ini: “Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata –urai HAMKA- dia zalim sebab dia telah merusak strategi perlawanan Islam terhadap musuh. Orang yang seperti itu –simpul HAMKA- tidak teguh imannya, tidak ada gairahnya dalam mempertahankan agama.
Memang, secara umum, terasakan bahwa dewasa ini ghirah mulai tercerabut dari (setidaknya sebagian) kita. Misalnya, kini banyak orang tua yang tak peduli dengan siapa anak-anaknya bergaul dan bahkan dengan siapa menjalin ‘hubungan dekat’. Atau, contoh yang lebih umum. Misalnya, rata-rata kita diam saat ajaran munkar seperti sekularisme, pluralisme dan liberalisme gencar dikampanyekan di hadapan kita.
Ghirah dan Gairah
Sungguh, janganlah sekali-kali terpesona dengan ‘sihir’ kaum liberal bahwa “Tuhan tak perlu dibela”. Sikap kita yang benar adalah: Agar ghirah tak musnah, kita harus bergairah dalam menegakkan agama. Jadilah penolong agama Allah! []