Salah satu produk dari sekularisasi pemikiran adalah pemisahan antara ilmu dan agama. Ilmu pengetahuan tidak dikaitkan dengan agama. Agama tidak mendapatkan tempat dalam proses pengetahuan. Akibatnya adalah, agama tidak menjadi parameter untuk mengukur benar dan salahnya suatu pengetahuan. Inilah salah satu wujud liberalisasi pemikiran.
Liberalisasi pemikiran dan agama cenderung menggiring kepada penistaan dan desakralisasi agama. Sebab, sekularisasi membenci ajaran agama. Seseorang yang membenci agama hatinya terkotori oleh hawa nafsu dan jauh dari Allah. Bentuk-bentuk penghujatan itu bervariasi, mulai menghujat al-Qur’an hingga melegalkan perkawinan sejenis. Jika diamati, penistaan-penistaan terhadap ajaran Islam lebih terkesan emosional, mengumbar nafsu kebencian daripada kesan akademik dan intelek.
Banyak di antara hujatan aktivis liberal yang telah terekam media. Lutfhi asy-Syaukani pernah mengatakan bahwa al-Qur’an telah mengalami copy-editing yang dilakukan sahabat. Wujud al-Qur’an bukan murni kalamullah. Muhammad Guntur Romly menilai Islam adalah ajaran oplosan. Hukum Allah pernah dinafikan oleh Ulil Abshar Abdallah. Katanya, hukum Tuhan itu tidak ada. Ada pula Saidiman yang menista keagungan Allah sambil mengatakan, “Memuja matahari itu jauh lebih penting dari memuja selainnya. Dia selalu memberi kita pagi yang indah ini”. Nong Darol Mahmada dan Siti Musdah Mulia menentang hukum haramnya homoseks dan lesbian (Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal).
Jadi, Liberalisasi dan sekularisasi sesungguhnya tidak menididik intelektual kaum Muslim, tapi membuka kran pemikiran amoral. Problemnya kembali kepada hati dan pikiran yang tidak bersih dari konsep-konsep pemikiran asing. Karena mereka berdiri menentang hukum Allah. Kadangkala umat Islam tidak tersadar mendukung kampanye sekularisasi. Oleh sebab itu, hati dan pemikiran yang sekular harus diobati dengan membersihkan dari hawa nafsu, untuk lebih dekat kepada Allah.
Bulan suci Ramadlan merupakan momentum tepat untuk membersihkan virus-virus pemikiran. Ramadlan merupakan ‘madrasah’ untuk membersihkan hati manusia dan membakar (ramadl) kotoran dosa dan nafsu. Ia juga disebut bulan ilmu. Di bulan suci ini Allah subhanahu wa ta’ala untuk pertama kali menyeru manusia untuk membaca (iqra’) melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Pembersihan hati diproses melalui aktifitas keilmuan. Bulan ini layaknya madrasah yang dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasana bulan suci dengan semarah ibadah dan mengaji sangat mendukung untuk melakukan proses islamisasi pemikiran. Masyarakat muslim biasanya lebih taat beribadah pada bulan ini. Kemaksiatan juga relatif berkurang.
Oleh karena itu, aktifitas ini melibatkan pemikiran sekaligus hati. Karena dalam Islam, ilmu harus dikaitkan dengan iman. Proses pembersihan ini dapat disebut ‘Islamisasi’. Islamisasi adalah pembebasan jiwa dan pikiran manusia dari unsur kebudayaan dan ajaran yang berlawanan dengan Islam. Jiwa yang Islami menurut Syed Naquib al-Attas adalah jiwa yang akal dan bahasanya tidak terkungkung oleh mitos, animisme dan tradisi kebudayaan sekular. Setelah dilakukan pembersihan terhadap unsur asing itu, maka jiwa dan pikiran dimasuki unsur-unsur Islam. Mengembalikan hati untuk kembali beriman, membersihkan pemikiran untuk patuh kepada syariat Allah. Di bulan Ramadlan, umat Islam dilatih melawan hafwa nafsu. Terutama nafsu yang menentang hukum Allah.
Islamisasi pemikiran berarti memperbaiki iman. Ilmu yang dimiliki seorang Muslim harus berdimensi iman. Mindset pemikiran harus ditimbang dengan keyakinan asas dalam Islam, seperti faham tentang Allah, konsep manusia, konsep hidup, konsep jiwa dan faham-faham kunci lainnya. Karena berdimensi iman, maka epistemologi Islam selalu bertaut dengan teologi secara dinamis.
Problem-problem pemikiran seperti maraknya ideologi pluralisme, feminisme, relativisme, sekularisme, dan lain-lain merupakan problem keyakinan. Keyakinan dan hati yang rusak tidak mampu mengontrol pemikiran dan perilakunya untuk menentang hukum Allah.
Oleh sebab itu, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dapat disebut juga proses tazkiyatu al-fikr (pembersihan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Dengan demikian, langkah mengislamkan pemikiran yang pertama-tama perlu dilakukan adalah dengan mengikuti petunjuk riyadlah al-nafs (melatih jiwa melawan hawa nafsu) seperti yang dijelaskan oleh imam al-Ghazali dalam kita Ihya’ Ulumuddin. Keyakinan-keyakinan materialistik dalam hati harus dibersihkan. Sebab, hati dan pikiran itu mengontrol dan membentuk perilaku. Beradab atau bi-adabnya perilaku dipengaruhi oleh bersih dan kotornya jiwa.
Maka setiap Muslim harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membersihkan pemikiran. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan: “Jika Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan”. Jika waktu tidak disibukkan dengan kebenaran, seorang Muslim akan jadi merugi, tidak mendapatkan apa-apa di bulan suci ini.
Memanfaatkan dengan baik-baik bulan Ramadlan itu dengan muhasabah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, ada empat aspek yang dilalui dalam proses penyadaran diri ini. Yaitu, al-yaqdzah, al-’azm, al-fikrah dan al-bashirah. Empat rangkaina inilah yang mesti menjadi unsur muhasabah. al-yaqdzah, yaitu perasaan hati berupa penyesalan setelah ia bangun dari ’tidur’. Ini merupakan proses awal untuk membenahi perilaku yang telah dikerjakan. al-’azm, yaitu niat kuat untuk melakukan perbaikan. Karena tekadnya telah bulat, maka segala hambatan dan rintangan siap dihadapi. Sedangkan al-fikrah, yaitu fokus pada tujuan perbaikan. Hati hanya tertuju kepada sesuatu yang hendak dicari. Dan yang terakhir al-bashirah yaitu semacam cahaya dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka. Tahapan muhasabah ini dapat dijadikan sebagai proses penyucian jiwa dari unsur-unsur sekularisme.
Jadi, Ramadlan adalah ‘madrasah’ untuk mengislamkan jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran yang Islami (yaitu yang bersih dan selalu patuh kepada syariat Allah), beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran. Ramadlan sengaja menjadi tempat untuk mencetak jiwa-jiwa Islami, bukan jiwa yang sekular. Perbanyaklah ibadah, sering-seringlah mengikuti kajian ilmu. Sekali-kali jangan beri kesempatan nafsu untuk menguasai jiwa selama bulan puasa. Jika seusai Ramadlan jiwa kita tetap sekular, maka kita gagal beribadah puasa Ramadlan. Maka, siapkanlah diri sejak sekarang untuk memasuki ‘madrasah’ Ramadlan. []