Maqashid as-Syari’ah dan Maqashid al-‘Aqa’id

Oleh: M. Faqih Nidzom
Inpasonline.com-Dalam keseharian kita, mungkin banyak yang mendengar kajian para ustadz tentang makna ibadah. Terkadang lewat Youtube, televisi, ceramah dan pengajian di masjid-masjid, atau membaca artikel di blog.

Misalnya, di Bulan Ramadhan, kita sering mendengar ceramah tentang makna puasa. Tak jarang juga kita dengar istilah semisal, seperti Hakikat puasa (Haqiqah as-Siyam), Hikmah puasa (al-hikam), tujuan puasa (al-aghradh), keutamaan puasa (al-manaqib), manfaat puasa (al-Manafi’) dsb.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi misalnya, menyebut ini dengan rahasia puasa (al-asrar). Ketika memulai pembahasannya, beliau melontarkan pertanyaan kepada kita sebagai muslim: “Hal faqiha al-Muslimuuna asraara as-siyam?”, Apakah orang-orang Islam memahami rahasia-rahasia di balik ibadah puasa?

Sering kita jumpai diantara makna, hakikat, rahasia, hikmah dan keutamaan puasa yang disampaikan mencangkup aspek batin (dimensi spritual-ukhrawi) dan aspek lahir (dimensi material), sebagaimana dijelaskan Syeikh M. Said Ramadhan al-Buthi dalam karya Dhawabith al-Maslahah.

Dari aspek batin, ibadah ini akan meningkatkan ketaqwaan kita; mendekatkan diri kepada Allah swt, mensucikan jiwa, dsb. Aspek lahir, menyehatkan badan karena mengistirahatkan lambung, membuat aktifitas lebih produktif, menambah kepekaan sosial karena bisa merasakan apa yang dirasakan saudara kita yang kurang mampu, dan sederet keutamaan lain. Namun al-Buthi menambahkan, dalam hierarkinya, yang pertama menjadi lebih berat dan prioritas dari yang kedua.

Apa asumsinya? Jika kita telaah lebih jauh, ternyata semua ketentuan Allah swt berupa hukum (al-ahkam) dan aturan (an-nudzum), termasuk perintah (al-‘amr) dan larangan (al-manhiyat) kepada hambanya, itu tidaklah mungkin sia-sia, melainkan ada tujuan berupa jaminan kebaikan atau maslahat. Bagi yang menjalankan ketentuan tadi akan mendapat maslahat, dan yang mengabaikannya akan mendapat kerusakan (mafsadah). Nah, puasa sebagai salah satu ketentuan Allah kepada hambanya, ia juga mengandung maslahat, sebagaimana diantaranya disebutkan diatas.

Asumsi berikutnya, tidak semua orang mampu menangkap dengan baik rahasia-rahasia Allah swt di balik semua ketetapannya. Untuk itulah Syekh al-Qaradhawi menanyakan hal diatas kepada kita. Karena pemahamannya memerlukan dua hal sekaligus; kehendak Allah swt, dengan keyakinan bahwa semua pemahaman berasal dari-Nya, dan kesiapan jiwa kita untuk menerimanya. Jika jiwa kita tidak siap, apalagi tidak ada usaha menangkapnya, tentu akan sulit untuk mendapatkan pemahaman. Setidaknya, ini dilihat dari Konsep Ilmu Prof. Al-Attas.

Dalam hal ini, maka para ulama lah yang mendapatkannya, dan merekalah yang berkontribusi menjelaskan rahasia-rahasia ibadah tadi kepada kita, dengan karya tulis maupun ceramah mereka. Dan inilah yang harus kita gali dan kaji.

Dalam terminologi khas Islam, semua ketentuan Allah swt kepada hambanya tadi disebut Syariah. Dan tujuan berupa jaminan maslahat tadi disebut Maqashid. Dan konsep yang membahas ini disebut dengan Maqasidu as-Syariah.

Secara sederhana, bisa kita rumuskan bahwa maqashid syariah adalah maslahat, dan maslahat berarti manfaat. Syekh Abdul Wahhab Khalaf menegaskan, tujuan umum dari syariat Allah swt kepada hamba-Nya adalah memastikan jaminan maslahat bagi mereka, dengan memenuhi kebutuhan primer (al-mashalih ad-dharuriyah), sekunder (al-haajjiyat) dan tersier (at-tahsiiniyat) mereka. Maslahat yang dimaksud berupa terjaganya agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan hamba-Nya.

Bagaimana mengetahui maqashid pada syariah tertentu? Atau apa sumber validitasnya? Disilah diperlukan landasan epistemologis yang kokoh. Dan Syeikh al-Buthi dengan Dhawabit al-Maslahah-nya kembali memberikan kontribusi besar dalam menjelaskannya. Secara garis besar, epistemologi maqashid bersumber dari syari’ah, bukan yang lain. Maka landasan utamanya sama dengan landasan syariah, yaitu teks al-Qur’an dan Sunnah. Maka tidak dibenarkan jika maqashid menyalahi atau menabrak keduanya. Jika tidak ditetapkan oleh keduanya, maka ia ditentukan melalui jalan istiqra’ atau pengamatan induktif, dan dengan kriteria ketat. Inilah yang dilakukan para ulama, setidaknya sebagai contoh, dalam menguraikan maslahah syariat puasa diatas. (Lihat uraiannya di buku ini hal. 119-275)

Namun yang perlu ditegaskan adalah, walaupun secara epistemologis sumber syariah dan maqashid syariah itu sama, yaitu nash al-Qur’an dan Sunnah, namun secara esensi keduanya berbeda. Sumber Syari’ah merupakan ‘illat ditetapkannya syariah, maka ada dan tidaknya hukum syari’ah ada pada illat tersebut.

Sedangkan Maqashid bukanlah illat syari’ah. Dan ada atau tidaknya hukum ada pada illat-nya, bukan maqasid/hikmah. Ia berupa konklusi dari pengamatan induktif dari hukum-hukum syari’ah, sebagaimana disinggung diatas. Untuk itu maqashid sejak semula diberi sifat “yang ditetapkan syariah” atau ditunjukkan olehnya.

—–

Dalam Madkhal li Dirasah as-Syariah-nya, Syekh Abdul Karim Zaidan menyebutkan cakupan syariat Islam. Setidaknya bisa disebutkan dalam 3 poin besar. Pertama, hukum-hukum Allah yang berkenaan dengan Aqidah. Ini berupa perintah Allah swt kepada kita untuk beriman kepada-Nya, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari akhir, dan qadha serta qadar-Nya, sekaligus larangan menyembah selain-Nya atau menyekutukan-Nya, dst.

Kedua, hukum-hukum Allah swt yang berkenaan dengan Akhlak. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw; berkata baik dan jujur, menghormati tamu dan tetangga, bersikap tawadhu’, menutup mulut ketika bersin, makan dengan tangan kanan, dsb. Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali banyak menjelaskan hal ini, dengan gamblang dan detail.

Ketiga, hukum-hukum Allah swt yang berkenaan dengan ibadah praktis, atau disebut dengan Fiqih. Poin ini memiliki dua cakupan; Pertama, fiqih ibadah seperti Thaharah, shalat, puasa, zakat, naik haji. Kedua, fiqih muamalah (ibadah sosial) seperti jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dsb.

Dari sini bisa kita pahami, jika setiap syariah memiliki tujuan (maqashid) berupa kebaikan atau manfaat (maslahah), maka maslahah

tadi ada dalam semua cakupan syariat diatas; aqidah, akhlak maupun fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Ini sekaligus menjadi jawaban filosofis atas pertanyaan-pertanyaan mengapa disyariatkan semua hal diatas kepada kita.

Dan pada perkembangannya, para ahli Ushul Fiqih dan Fiqih mengelaborasi konsep ini menjadi salah satu metode dalam ijtihad atau menderivasi hukum (manhaj istinbath al-ahkam), selain metode-metode kebahasaan. Dengan prinsip maslahah setelah pengamatan induktif tadi, lahirlah dua kaidah besar dalam Ushul Fiqih sebagai naungan universal (kulliy) yang bisa diderivasi ke perkara partikular (juz’iy), yaitu; 1. Segala bentuk marabahaya hendaknya dihilangkan (ad-Dhararu yuzaalu), dan 2. Hal yang membebani dan menyulitkan dihilangkan (al-haraj marfu’un syar’an). Dan dari 2 kaidah besar ini, lahir pula sekian banyak kaidah berikutnya yang lebih detail dan khusus. Ini bisa dilihat misalnya di karya Dr. Khalifah Ba Bakr al-Hasani dalam Falsafah Maqashid Tasyri’ fil Fiqh al-Islami.

Syekh Abdul Wahhab Khalaf menegaskan, prinsip ini digunakan sebagai bentuk ijtihad para mujtahid. Karena dalam ijtihad, selain memperhatikan pengambilan hukum dari teks atau nash yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, seorang mujtahid juga harus memperhatikan pengambilan hukum dari perkara-perkara baru yang tidak tertera secara langsung dalam keduanya. Maka maqashid syari’ah ini metodenya. Lebih jauh, ini juga dimaksudkan agar syari’ah Islam terjaga sesuai dengan kehendak-Nya, dan tetap terpenuhi kepastian maslahat dan keadilan antar manusia. (Lihat Ilmu Ushulil Fiqh, hal. 197)

Begitulah, uraian ulama kita tentang maqashid syariah, baik sebagai maslahah atau manfaat dari pada diri muslim, maupun sebagai metode dan landasan dalam pertimbangan pengambilan hukum. Ia telah menjadi ilmu yang bermanfaat dan merupakan warisan intelektual ulama kita yang berharga. Juga menjadi stimulus para ulama berikutnya untuk memaparkannya lebih luas, dengan melihat teks dan konteks yang ada.

——

Dalam tema maqashid, banyak sekali dikaji maqashid syari’ah yang fokusnya adalah aspek fiqih ibadah dan muamalah. Ini dibuktikan dengan banyaknya karya-karya ulama yang tentangnya. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah pembahasan tentang maqashid hukum-hukum Allah swt yang berkenaan dengan aqidah belum luas dilestarikan, khususnya di era sekarang. Ini setidaknya yang menjadi perhatian sekaligus kegelisahan intelektual Prof. Jasser Audah, seorang yang juga produktif menulis tentang Maqashid.

Padahal ulama terdahulu banyak yang membahas Maqashid al-‘Aqaid, begitu ia menyebutnya. Dalam mukaddimah karyanya A Journey to God -saya dapatkan edisi terjemahannya dg judul Spiritual Journey: 28 Langkah Meraih Cinta Allah- beliau menyebutkan beberapa karya penting periode klasik seperti; Itsbat al-‘Ilal karya Hakim at-Tirmidzi, ‘Ilal as-Syara’i’ Ibnu Babawaih al-Qummi, Manaqib al-Amiri, Mahasin al-Islam Zahid Bukhari, dsb. Setelah periode klasik ada al-Hujjah karya Syah Waliyullah ad-Dahlawi.

Terkait urgensi maqashid al-‘Aqaid ini, Prof. Jasser mengutip statemen Syekh Ahmad ar-Raisuni seperti berikut: “Menurut saya topik dan ranah ini yang paling penting untuk digalakkan dalam studi Maqashid. Tidak ada syariat Islam yang lebih utama untuk diperhatikan dan dikaji maqashidnya, melebihi Aqidah Islamiyah. Topik ini telah absen dari telaah Maqashid, seolah-olah ia tidak memiliki maqashid. Hal terpenting agar kita menampilkan wajah aqidah yang sebenarnya, dan merealisasikan perannya yang esensial dalam kehidupannya, ilmu pengetahuan dan peradaban kita. Dan ini membutuhkan para peneliti yang unggul dan inovatif.”

Semoga kita termotivasi dengan pernyataan Prof. Jasser Audah dan Syekh ar-Raisuni diatas. Dan mau berusaha menggali warisan intelektual di bidang ini, dan mengelaborasinya lebih jauh. Lain waktu, kita akan telaah tema ini dari perspektif ulama kontemporer, inshaAllah. Setidaknya, dimulai dengan membaca karya Jasser Audah ini.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *