Manusia dan Filsafat

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Muhammad Faqih Nidzom*
Inpasonline.com-Manusia adalah makhluk yang berakal. Akal atau jiwa rasional inilah yang membedakannya dari yang lain. Dari hewan, yang sama-sama punya nafsu, tapi tak berakal. Dari malaikat, yang juga punya akal, tapi tidak memiliki nafsu. Dan manusia memiliki keduanya. (Lihat penjelesan lebih detail misalnya di karya Prof. Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia, hal. 135-144)

Dengan akalnya manusia mempertanyakan hakekat segala sesuatu. Dan terus berusaha menemukan jawabannya. Tentu dengan asumsi bahwa segala sesuatu memang punya makna, hakekat atau esensi.

Jika kita telaah, akan kita dapati bagaimana para filsuf sejak jaman Yunani kuno hingga kini, mereka mempelajari berbagai persoalan. Baik itu alam semesta, langit, bumi, hewan, tumbuhan, mineral, dan lain sebagainya. Termasuk mempertanyakan dirinya sebagai manusia.

Ya, sepanjang sejarahnya, para filsuf bertanya secara filosofis terkait; 1. Siapa saya? Yang berimplikasi pada pertanyaan berikutnya; saya diciptakan atau tidak? Siapa yang menciptakan? Adakah tujuan dibalik penciptaan? Adakah saya memiliki kehendak? Terbataskah ia? Dst.

2. Akan kemana saya? Dan berimplikasi pada pertanyaan berikutnya; apa ada kehidupan setelah kematian? Kalo ada, untuk apa? Adakah pertanggungjawaban dari kehidupan di dunia? 3. Mengapa saya diciptakan? Mengapa berbeda dengan makhluk-makhluk lain? Untuk makan minum saja kah? Untuk main-main? Bagaimana mesti menjalaninya?

Dan begitulah, bagaimana manusia menjalani kehidupan ini ternyata sangat tergantung bagaimana ia menjawab tiga pertanyaan diatas. Pertanyaan dan jawabannya inilah yang kemudian melahirkan konsep-konsep, yang dimana akan berbeda-beda antara agama satu dengan yang lain, atau aliran kepercayaan satu dengan lainnya. Setidaknya, dalam kacamata Filsafat, pola pikir manusia sangat menentukan sikap dan prilakunya. Karena itulah dalam beberapa literaturnya, seperti Dr. Moh. Muslih dalam Pengantar Ilmu Filsafatnya disebutkan, sasaran kajian filsafat adalah pola pikir manusia, dan semua problem kefilsafatan sejatinya adalah problem kemanusian.

Terkait pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam filsafat Islam, manusia bukan hanya entitas jasmani, dengan nama dan lafadz tertentu. Ia makhluk yang berdimensi jasmani dan ruhani. Dan ia makhluk ciptaan Allah swt, dengan ada tujuan, dan kembali pada-Nya dengan pertanggungjawaban. Dan seterusnya. Bukan ada dengan sendirinya, dan tidak kembali kecuali pada-Nya. Secara teologis, konsep ini digambarkan dalam Aqidah, Syari’ah dan Akhlak yang mapan dan kokoh.

Dalam perkembangannya, filsafat terbagi menjadi beberapa cabang. Dan kesemuanya tetap menjadikan manusia sebagai objek utamanya. Misalnya, metafisika, yang kelahirannya diawali dari kuriositas manusia untuk menyingkap misteri di balik realitas ini. Kosmologi, pengetahuan filosofis manusia tentang alam semesta. Epistemologi, pengetahuan manusia tentang pengetahuannya. Mengkinkah manusia mengetahui? Darimana sumbernya? Apa ukuran validitasnya? Dst. Termasuk cabang lain seperti Aksiologi (filsafat nilai).

Dari sini, kajian filsafat melihat manusia dari aspek hakikatnya, bukan dari fisiknya saja. Contoh paling kongkrit adalah dalam pembahasan konsep jiwa manusia. Dr. Syamsuddin Arif mencatat bahwa sejarah keilmuan Islam setidaknya memiliki tiga corak pendekatan dalam memahaminya.

Pertama, pendekatan Qurani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia. Termasuk pendekatan ini adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dengan karya-karnya, seperti ad-Da’ wad-Dawa’.

Kedua, pendekatan Falsafi/filosofis, dimana pelbagai masalah jiwa dibahas menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Menurut filosof muslim seperti al-Kindi dan Ibnu Sina, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Termasuk pembahasan disini adalah potensi-potensi jiwa, ragamnya, dsb.

Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman spiritual para ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi, Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, dan tentu saja Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, dsb.

Jika kita lihat ketiga pendekatan diatas, khususnya Filsafat, tidak menyentuh manusia secara langsung sebagai objek. Juga tidak memisahkan pembahasan manusia dari aspek ruh, jiwa, qalbu, dan akalnya, dan juga tidak menafikan manusia sebagai makhluk dua-dimensional; fisik dan non-fisik. Ini tentu berbeda dengan IPS misalnya, yang menjadikan manusia secara fisik sebagai objek langsung. Mengapa demikian?

Sejak abad 16-an atau masa Barat Modern, kajian metafisika, apalagi tentang manusia dari hakikatnya tidak lagi menarik para ilmuan untuk membahasnya. Bagi mereka ini kuno dan mundur. Seiring dengan munculnya paradigma positivisme yang ditawarkan oleh August Comte. Menurutnya, sejarah pemikiran manusia ada tiga tahap; mitologi, metafisik, dan positif (empiris). Dan lebih parah jika ini dijadikan satu-satunya ukuran ilmu dan validitas keilmuan.

Dengan paradigma positivisme yang baru ini, cara melihat manusia pun berubah dari aspek ontologis maupun metodologis. Dimana manusia kemudian dijadikan sebagai objek langsung, ia dilihat secara positivistik, atau fisik-empiris, dan dengan metode kuantitatif dan alat bantu statistika, sebagaimana dalam ilmu-ilmu alam. Dari sini, lahirlah sains sosial modern/ kontemporer seperti; sosiologi, antropologi, psikologi dst. Menurut Dr. Syamsuddin, situasi ini bertambah parah dengan munculnya kampanye anti-metafisika yang dimotori oleh pengusung Logical Positivism atau Logical Empiricism seperti Bertand Russel, AJ Ayer, L. Wittgenstein, dan Rudolp Carnap.

Sebagai contoh, Psikologi yang membahas tentang kejiwaan pun, tidak benar-benar membahas jiwa dengan maknanya yang hakiki, melainkan gejala-gejala yang nampak pada manusia. Dan lagi-lagi, alat ukurnya empiris. Pada gilirannya, ia menafikan aspek non-fisik pada manusia. Pembahasan jiwa pun tidak ada kaitan dengan hati, ruh dan akal. Inilah westernisasi ilmu yang berkembang itu. Berbeda dengan kajian jiwa manusia dalam pandangan Islam di atas.

Untuk itu, filosof muslim kontemporer seperti Prof. Naquib al-Attas meresponnya dengan tajam. Ia mengkritik paradigma westernisasi yang empiris-sekularistik, dan menggantinya dengan dewesternisasi dan islamisasi ilmunya. Kita kenal juga Prof. Malik Badri dengan kritik tajamnya terhadap aspek epistemologis Psikologi Modern, khususnya Psikoanalisa.

Masih banyak aspek yang bisa digali dari manusia. Betapapun, ia tidak akan pernah sepi dari pembahasan filosofis. Misalnya tentang manusia dan takdir dan kebebasannya, hubungan manusia dengan alam, hubungannya dengan manusia lainnya, dst. Semoga bisa kita kaji di lain kesempatan. Yang perlu ditekankan adalah, mengkaji itu semua hendaknya dari pespektif ulama Islam yang otoritatif, dan dengan epistemologi yang benar.

Setidaknya dengan mengkaji ini, tergugah minat kita dengan filsafat, yang dimana ia bagian dari kita sebagai manusia. Dan darinya akan muncul semangat membaca dan meneliti, dan menggali misteri manusia. Saya teringat dengan ucapan Prof. Mudjia Rahardjo yang sangat berkesan: “Menurut saya, dari kerja ilmiah dan penelitian ada hikmah penting yang bisa diambil. Diantaranya, Allah bentangkan kesempatan kepada kita untuk menggali semua misteri kehidupan; baik yang menyangkut misteri alam, misteri sosial, maupun misteri kemanusiaan.” Wallahu A’lam. Siman, 20-1-2019

Penulis adalah Dosen UNIDA Gontor

Last modified: 31/01/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *