Pengaruh Orientalis, Wacana Penolakan Penegakan Syariah

Written by | Nasional

Hal itu disampaikan oleh Dr.Syamsuddin Arif, M.A dalam Workshop Peradaban Islam di Pesantren Peradaban Fakhruddin al-Razi, Purwakarta pada Ahad 24/06/2012 yang diadakan oleh INSISTS. Dalam workshop yang diikuti oleh 60-an aktivis dakwah itu, Syamsuddin menjelaskan pemikiran para orientalis tentang syariah Islam.

Menurut peneliti INSISTS ini, banyak tokoh-tokoh Islam yang justru tidak peduli bahkan menolak wacana penerapan syariah Islam di Indonesia. Memang ada beberapa sebab, bisa jadi karena tekanan atau bujukan. Namun yang jelas, jika ditelusuri ide-ide penolakan itu telah lama digaungkan oleh orientalis.

“Seorang orientalis bernama Coulson berpendapat syariah itu sekedar aditasi, tidak perlu diamalkan karena alasannya terlalu idealis,” terang doktor alumni ISTAC Malaysia itu. Pendapat senada diungkapkan oleh HAR.Gibb, Snouck Hurgronje dan Lorsen. Lorsen mengatakan bahwa syariah Islam itu kacau-balau bercampur dengan budaya dan pikiran masyarakat Arab Syiria yang bercampur dengan Romawi.  Oleh karena itu, implementasi syariah berarti Arabisasi. Syariah hanya produk para ulama sehingga tidak absolut.

Para orientalis, menurut Syamsuddin, sebenarnya arogan dan tidak konsisten. “Mereka beramai-ramai mengajak untuk mencurigai para Sahabat Nabi SAW. Jangan mudah percaya pada Sahabat Nabi SAW. Jangan langsung ikuti. Tapi mereka mengajak untuk mempercayai diri mereka. Ini seperti pernah dikatakan seorang orientalis bernama K. Motzki,” jelas ahli orientalis yang pernah studi di Jerman itu.

Pemikiran-pemikiran itulah yang sekarang mempengaruhi para tokoh-tokoh Islam yang menolak penegakan syariah Islam. Dalam kesempatan itu Syamsuddin menjelaskan, sesungguhnya orang-orang yang ahli syariah itu banyak, dan kajian-kajian tentang syariah juga tidak sedikit. Kenapa masih ada resistensi? “Ini karena marginalisasi yang tersetting,” tegasnya. Orang-orang yang mempelajari dan memahami itu sengaja dipinggirkan. Sejak awal berdiri Negara ini memang terjadi pertarungan antara golongan Islam dan sekular.

Berbeda dengan Malaysia. Negeri Jiran ini cukup beruntung karena dalam konstitusinya tertera bahwa Islam menjadi dasar Negara. Dan –kenyataannya- hal ini dapahami rakyat Malaysia. Dan tidak ada problem dengan pemeluk agama lain. Selain itu rakyat Malaysia sudah terdidik dengan pemahaman Islam. Mereka menyadari akan bahaya liberalisasi dan sekularisasi.

Di Indonesia sesungguhnya tetap memiliki peluang hukum. Yaitu Piagam Jakarta. Dalam UUD ’45 pun disebut kalimah Allah. Dan dalam butir-butir Pancasila sesungguhnya mengandung konsep-konsep Islam seperti kalimat “keadilan”, “beradab” dan” musyawarah”.

Sementara Workshop Peradaban Islam ini diadakan dua hari tanggal 23-24 Juni 2012, yang dihadiri oleh para peneliti INSISTS, seperti Adnin Armas,MA, Dr. Nirwan Syafrin, Henry Shalahuddin, MA dan Tiar Bahtiar Anwar, MA. Pertemuan ini juga dimanfaatkan untuk rapat konsolidasi jaringan INSISTS dan merancang program-program ke depan. (kh)

Last modified: 27/06/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *