Menimbang Fatwa Halal-Haram Vaksin Covid-19 Produksi Astra-Zeneca

oleh : KH. AINUL YAQIN, S.Si. M.Si. Apt.*

inpasonline.com – Sebagaimana diketahui, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah menerbitkan fatwa No. 14 tahun 2021 tertanggal 16 Maret 2021 yang isinya menyatakan bahwa vaksin yang diproduksi oleh Astra-Zeneca hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi (procine trypsin). Fatwa MUI Pusat ini didasarkan atas hasil audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI Pusat terhadap produk vaksin dari Astra-Zeneca. Temuan audit menunjukkan fakta adanya penggunaan tripsin yang diperoleh dari pangkreas babi pada tahapan penyiapan inang virus dan tahap penyiapan bibit vaksin rekombinan (tahap master seed dan working seed)[1].

Agar tidak salah faham terhadap keputusan fatwa ini, perlu pelurusan pemberitaan media, yang menyebutkan vaksin produk Astra-Zeneca diharamkan oleh MUI karena mengandung enzim babi. Fatwa MUI tidak menyebut demikian, tetapi yang tepat seperti yang tercantum dalam diktum keputusan fatwa sebagaimana di atas, bahwa vaksin diharamkan karena pada tahapan produksinya diketahui terdapat penggunaan tripsin babi (procine trypsin). Pihak Astra-Zeneca sendiri juga menjelaskan bahwa di produk vaksin memang sama sekali tidak ada kandungan babi.

Tak berselang lama tertanggal 22 Maret 2021, komisi Fatwa MUI Provinsi Jawa Timur juga menerbitkan fatwa -dengan sistimatika penulisan agak berbeda-, menyatakan bahwa vaksin –yang dibuat oleh Astra-Zeneca- hukumnya halal, tidak najis[2]. Tak kurang dari itu, Ketua MUI Provinsi Jawa Timur KH. Hasan Mutawakkil Alallah menyampaikan, sebagaimana dimuat beberapa media, bahwa vaksin Astra-Zeneca Halalan Thayyiban[3]. Kesimpulan MUI Jatim ini, bertolakbelakang dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat di atas.

Proses Produksi Vaksin Covid-19 dari Astra-Zeneca[4]

  1. Penyiapan inang virus.
  2. Sel inang yang digunakan berasal dari sel diploid manusia dengan kode HEK 293 (Human Epithelial Kidney Cells) yang didapat dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum dengan diberi suplemen asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain dan antibiotik. Pada tahap ini ada penggunaan enzim tripsin yang diperoleh dari pangkreas babi yang digunakan untuk memisahkan atau melepaskan sel dari plate nya. Sel ini dijual oleh Thermo Fisher dengan merk T-Rex-293.
  3. Selanjutnya sel HEK 293 yang diperoleh dari Thermo Fisher dilakukan perbanyakan di CBF, Oxford UK sesuai kebutuhan. Sel dilepaskan dari pelat menggunakan enzim Kemudian dilakukan proses pencucian, sentrifugal dan penambahan medium DMEM, dan diinkubasi. Proses ini dilakukan berulang sampai memperoleh jumlah sel yang diinginkan. Enzim TryPLEselect yang digunakan adalah enzim yang dibuat dari rekayasa genetika menggunakan jamur yang dibuat secara rekombinan. Sel yang telah diperbanyak ini kemudian disimpan sebagai bank sel master.
  4. Penyiapan bibit vaksin rekombinan (Research Virus Seed) hingga siap digunakan untuk produksi (tahap master seed dan working seed).
  5. Genom Adenovirus ChAdOx1 yang dimodifikasi dengan membuang gen E1 dan E3 dirangkai dengan materi genetik protein spike Sars-Cov-2.
  6. Genom Adenovirus yang sudah membawa materi protein spike Sars-Cov-2 ditransformasikan ke bakteri E.coli. Dilanjutkan proses perbanyakan isolate virus. Pada tahap ini ada penggunaan media LB Broth yang mengandung bovine peptone dan porcine enzyme (enzim dari babi).
  7. Pemurnian
  8. Inokulasi ke Master Host Cell Bank HEK 293.
  9. Produksi vaksin menggunakan inokulum bibit vaksin ChAdOx1-S [recombinant] pada sel inang HEK 293 pada media steril.
  10. Proses pemisahan serta pemurnian produk bulk vaksin
  11. Formulasi vaksin dengan penambahan eksipien
  12. filtrasi secara aseptis
  13. pengisian ke dalam ampul dan pengemasan

Catatan: Berdasarkan fatwa MUI yang menjadi standar sertifikasi halal, penggunaan bahan asal babi pada tahap proses produksi manapun tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, seperti penjelasan dari LPPOM MUI, proses audit tidak dilanjutkan ke pabrik. Laporan hasil kajian langsung diserahkan ke Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status halal-haramnya.

Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat antara Komisi Fatwa MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Jatim di atas, sebenarnya hal biasa saja apabila dilihat dari sudut pandang bahwa keduanya merupakan hasil ijtihad. Sebuah produk ijtihad memungkinkan adanya perbedaan pendapat, bahkan meniscayakan adanya perbedaan pendapat itu.

Yang menjadi masalah, perbedaan itu mencuat ke publik secara terbuka tanpa penjelasan yang mencukupi, sehingga menimbulkan kebingungan. Lebih-lebih, lembaga yang menerbitkan fatwa berbeda ini, sama-sama MUI, yang satu MUI pusat, satunya lagi MUI Provinsi Jawa Timur. Di era media sosial saat ini, informasi bisa menyebar secara luas, namun demikian bisa menimbulkan paradoks, yakni kebingungan terhadap informasi itu sendiri.

Pada kasus perbedaan fatwa ini, akar masalahnya adalah karena dasar istinbath hukum yang digunakan berbeda. Komisi Fatwa MUI pusat mendasarkan pada larangan intifa’ (pemanfaatan) babi dalam kondisi normal. Komisi Fatwa MUI (Pusat) menyimpulkan, adanya pemanfaatan bagian dari babi (intifa’) dalam proses produksi menjadi dasar keharaman produk yang dibuat. Dalam hal ini, adanya istihâlal selama proses produksi menjadi tidak dilihat, karena intifa’ mendahuluinya.

Kesimpulan seperti ini sebenarnya juga menjadi dasar dalam fatwa-fatwa MUI sebelumnya, seperti pada fatwa terkait dengan produk penyedap rasa (Monosodium Glutamate/MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bactosoytone, fatwa terkait vaksin meningitis yang dipoduksi oleh Glaxo Smith Kline Beecham Pharmaceutical-Belgium, dan fatwa terkait penggunaan vaksin MR (Measles-Rubella) produk dari SII (Serum Intitute of India), serta terkait dengan pedoman fatwa untuk produk mikrobial.

Adapun pandangan berkaitan dengan larangan pemanfaatan babi (intifa’) antara lain bisa dijumpai seperti penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami sebagaimana dikutip dalam keputusan fatwa:

(وَخِنْزِيْرٌ) لِأَنَّهُ أَسْوَأٌ حَالًا مِنْهُ إِذْ لَايَجُوْزُ الاِنْتِفَاعُ بِهِ في حَالَةِ الاِخْتِيَارِ بِحَالٍ مَعَ صَلَاحِيَّتِهِ لَهُ فَلَا يَرِدُ نَحْوُ الحَشَرَات، وَلِأَنَّهُ مَنْذُوْبٌ إِلَى قَتْلِهِ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ

… Dan (barang najis berikutnya adalah) babi, karena kondisinya lebih buruk dari anjing. Hal ini karena tidak diperbolehkan memanfaatkan babi dalam kondisi normal (halat al-ikhtiyar) seketika itu meski dapat dimanfaatkan, maka tidak datang seperti halnya serangga. Juga karena dianjurkan untuk membunuhnya meski tidak membahayakan[5].

Demikian juga penjelasan Imam al-Nawawi:

فإن كانت مغلظة – وهي نجاسة الكلب والخنزير – فلا. وبهذا الطريق قال أبو بكر الفارسي  والقفال وأصحابه. فلا يجوز لبس جلد الكلب والخنزير في حال الاختيار، لان الخنزير لا يجوز الانتفاع به في حياته بحال، وكذا الكلب، إلا في أغراض مخصوصة، فبعد موتهما أولى

Apabila najis berat (mughallazhah), –yaitu najisnya anjing dan babi– maka tidak boleh. Ini pendapat Imam Abu Bakar al-Farisi, al-Qaffal dan para muridnya. Tidak boleh memakai kulit anjing dan babi dalam kondisi normal (hal al-ikhtiyar), karena babi tidak boleh memanfaatkannya saat hidup, demikian juga anjing kecuali untuk tujuan khusus. Maka, dalam kondisi setelah mati lebih tidak boleh memanfaatkan[6].

Ibnu Hazm al-Andalusi juga menyampaikan:

قال أبو محمد: لاَ يَحِلُّ أَكْلُ شَيْءٍ مِنْ الْخِنْزِيرِ, لاَ لَحْمِهِ, وَلاَ شَحْمِهِ, وَلاَ جِلْدِهِ, وَلاَ عَصَبِهِ, وَلاَ غُضْرُوفِهِ, وَلاَ حَشْوَتِهِ, وَلاَ مُخِّهِ, وَلاَ عَظْمِهِ, وَلاَ رَأْسِهِ, وَلاَ أَطْرَافِهِ, وَلاَ لَبَنِهِ, وَلاَ شَعْرِهِ -الذَّكَرُ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ سَوَاءٌ، وَلاَ يَحِلُّ الأَنْتِفَاعُ بِشَعْرِهِ لاَ فِي خَرَزٍ, وَلاَ فِي غَيْرِهِ.

Abu Muhammad berkata, tidak halal memakan sesuatu apapun dari babi, baik daging, lemak, kulit, urat, tulang rawan, usus, otak, tulang, kepala, organ tubuh lainnya, susu, dan rambutnya, baik jantan maupun betina, kecil maupun besar. Begitu juga tidak halal mengambil manfaat rambut babi baik untuk manik-manik atau selainnya[7].

Adapun komisi fatwa MUI Provinsi Jawa Timur, melandaskan pada adanya istihâlal dengan tidak mempertimbangkan kriteria larangan intifa’. Sebagaimana disebutkan dalam rumusan fatwanya, oleh karena vaksin menggunakan bahan yang sudah mengalami perubahan bentuk (istihâlah) sehingga dihukumi suci dan halal.

Istilah istihâlal diartikan sebagai perubahan sesuatu dari tabi’at atau sifat asalnya[8]. Atau perubahan suatu substasi yang najis menjadi substasi yang lain, baik berubah dengan sendirinya maupun sebab lain yang diperlihatkan dari adanya perubahan sifat dan unsur-unsurnya[9].

Konsep istihâlah jika dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, dapat dikaitkan dengan konsep tentang perubahan fisika dan perubahan kimia, tetapi utamanya adalah perubahan kimia.

Perubahan fisika adalah perubahan sifat zat yang tidak diikuti dengan perubahan struktur molekulnya, seperti perubahan wujud molekul H2O (air) dari wujud padat yaitu es menjadi wujud cair yaitu air, dan selanjutnya menjadi wujud gas yaitu uap air. Struktur molekul es, air dan uap air adalah sama yaitu  H2O. Perubahan fisika mencakup peristiwa mencair atau meleleh yaitu perubahan dari padat menjadi cair, menguap yaitu perubahan cair menjadi gas, mengembun yaitu perubahan dari gas menjadi cair, membeku yaitu perubahan cair menjadi padat dan menyublim yaitu perubahan padat menjadi gas. Benda padat bisa meleleh menjadi cair jika dipanaskan tanpa mengalami perubahan struktur molekulnya. Misalnya, besi dan berbagai jenis logam akan leleh jika dipanaskan melampaui titik leburnya tanpa ada perubahan struktur molekulnya. Peristiwa-peristiwa perubahan seperti ini disebut perubahan fisika.

Adapun perubahan kimia adalah perubahan sifat zat karena perubahan struktur molekulnya. Dalam kasus istihâlah yang dicontohkan dalam kitab-kitab fiqih, kecuali pada kasus penyamakan kulit, umumnya lebih banyak mencakup perubahan kimia ini, khususnya perubahan kimia yang bersifat irreversible (perubahan yang bersifat searah tidak dapat sebaliknya).

Sebagai contoh, perubahan kotoran atau bangkai yang dibakar menjadi abu adalah perubahan kimia karena di dalamnya terjadi perubahan dari senyawa komplek yang terdapat pada bangkai atau kotoran, menjadi molekul-molekul lebih sederhana yang ada pada abu karena proses peruraian akibat pembakaran (dekomposisi). Perubahan dari bangkai menjadi garam misalnya seperti yang dicontohkan (jika mungkin) juga perubahan kimia, yaitu terurainya senyawa dengan molekul besar seperti protein, karbohidrat, dan lemak oleh bakteri, menjadi senyawa-senyawa dengan molekul sederhana seperti garam, senyawa-senyawa oksida dan sebagainya.

Dalam kasus minyak menjadi sabun juga merupakan perubahan kimia, yaitu terbentuknya senyawa garam dari asam lemak akibat adanya reaksi penggaraman antara asam lemak dengan basa natrium atau kalium. Demikian pula, perubahan tulang menjadi karbon setelah dibakar juga perubahan kimia yaitu terurainya senyawa-senyawa yang menyusun tulang hingga tersisa menjadi karbon.

Secara konseptual para ulama mengakui konsep perubahan najis karena itihâlah, namun dalam aplikasinya terdapat perbedaan pendapat di antara mereka. Madzhab Hanafîyah dan Mâlikîyah umumnya cederung melonggarkan penggunaan istihâlah, sebaliknya madzhab Syâfi’îyah dan Hanâbilah cenderung menyempitkan[10].

Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibânî dan Imam Abu Yusuf dari madzhab Hanafi, keduanya berbeda pandangan terkait istihâlah. Menurut al-Syaibânî jika najis telah berubah sifatnya dengan berjalannya waktu akan menjadi suci, karena najis adalah keadaan dari dzat dengan kondisi dan sifat tertentu. Jika dzat itu telah berubah sifat dan keadaannya, berarti telah berubah menjadi dzat yang lain, maka berubah pula status kenajisannya. Seperti darah kijang yang berubah menjadi minyak wangi, arak yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau melalui sesuatu, bangkai berubah menjadi garam, atau kotoran yang berubah menjadi abu karena terbakar, minyak yang najis ketika telah menjadi sabun, dan sebagainya. Berbeda dengan  Imam al-Syaibani tersebut, menurut Imam Abu Yusuf najis berubah sifatnya dengan berjalannya waktu statusnya tetaplah najis, tidak menjadi sesuatu yang lain yang suci[11].

Dalam pandangan Syâfi’îyah dan Hanâbilah, najis a’in tidak otomatis berubah menjadi suci karena istihâlah[12]. Dasarnya adalah hadits Nabi Saw,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا

“Dari Ibnu Umar ra ia berkata; Rasulullah Saw melarang makan Jallâlah dan (meminum) susunya”. (H.R. al-Tirmidzi)

Sekiranya najis otomatis bisa berubah menjadi suci karena istihâlah niscaya tidak ada larangan mengonsumsi Jallâlah. Yang disebut Jallâlah adalah hewan pemakan kotoran atau yang diberi makan dengan kotoran, baik unta, sapi, kambing, ayam, ataupun ikan dan lainnya.

Abu Ishaq al-Syîrâzî, demikian pula Syams al-Din al-Ramlî keduanya dari madzhab Syâfi’îyah menyatakan bahwa hanya dua kasus saja benda najis yang dapat berubah menjadi suci karena istihâlal yaitu khamr menjadi suci ketika berubah menjadi cuka dengan sendirinya dan kulit bangkai selain babi dan anjing menjadi suci setelah disamak. Dicontohkan, sekiranya bangkai anjing berada di atas garam kemudian berubah menjadi garam hukumnya tetap najis, demikian pula ketika dibakar menjadi abu hukumnya juga tetap najis[13].

Imam al-Nawawi menambahkan dari itu, termasuk menjadi suci adalah sesuatu yang telah berubah menjadi binatang karena terjadi kehidupan baru. Seperti segumpal darah dari binatang yang kemudian berubah menjadi binatang yang hidup, atau telur yang terdapat dalam perut bangkai burung yang sekiranya menetas maka anak yang baru ditetaskan adalah suci[14].

Madzhab Hanbali sebagaimana penjelasan al-Buhuti menegaskan, najis tidak akan menjadi suci dengan istihâlah, selain pada kasus khamr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya dan  segumpal darah yang berubah menjadi hewan yang hidup. Sehingga sekiranya benda najis dibakar, maka asap, uap dan abunya adalah najis[15].

Keadaan Darurat Membolehkan Hal Yang Tidak Boleh

Kendatipun dinyatakan haram, komisi Fatwa MUI menfatwakan, penggunaan vaksin produksi Astra-Zeneca diperbolehkan jika kondisinya darurat, atau pada kondisi mendesak dan sangat membutuhkannya,  sementara belum ada alternatif lain yang mencukupi. Hal ini didasarkan pada kaidah:

الضَرُوريات تُبِيحُ المَحْظُورات

“Keadaan darurat memperbolehkan melakukan hal yang semula dilarang”[16]

Demikian pula kaidah:

اَلحاَجَةُ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً

“Kebutuhan ditempatkan pada kedudukan darurat, baik menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan khusus[17]

Kaidah kebolehan melakukan sesuatu yang dilarang dalam kondisi darurat cukup banyak diperdengarkan di berbagai kesempatan. Kaidah ini bersumber dari firman Allah Swt:

وَقَدۡ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيۡكُمۡ إِلَّا مَا ٱضۡطُرِرۡتُمۡ إِلَيۡهِۗ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-An’am [6]: 119).

Demikian pula Firman Allah Swt:

فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَـاغٖ وَلَا عَـادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah [2]:173)

Sehubungan dengan ayat tersebut, Abû Bakr bin Ali al-Râzî al-Jashshâsh mendefinisikan darurat sebagai berikut:

وَمَعْنَى الضَّرُورَةِ هَهُنَا هُوَ خَوْفُ الضَّرَرِ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ بَعْضِ أَعْضَائِهِ بِتَرْكِهِ الْأَكْلَ

“Makna darurat di sini adalah ketakutan pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggata badannya karena ia tidak makan”[18].

Definisi yang hampir sama seperti disampaikan oleh al-Zarqânî:

خوف الهلاك على النفس علما أو ظنا

“Kondisi takut adanya kebinasaan atas jiwa dengan pengetahuan atau dugaan” [19]

Juga penjelasan Syeikh Ahmad al-Dardîr

وهي الخوف على النفس من الهلاك علما أو ظنا

“yaitu adanya kondisi takut atas jiwa dari kebinasaan, dengan pengetahuan atau dugaan[20]

Jalâl al-Din al-Suyûthî mendefinisikan darurat sebagai berikut:

الضَّرُوْرَةُ: بُلُوْغُهُ حَدًّا إِنْ لَمْ يَتَنَاوَل الْمَمْنُوْعُ هَلَكَ أَوْ قَارَبَ، وَهَذَا يُبِيْحُ تَنَاوُلَ الْحَرَامِ

“adalah sampainya seseorang pada batas apabila tidak mengonsumsi sesuatu yang dilarang, ia akan binasa/mati atau mendekati mati, yang demikian itu memperbolehkan untuk mengonsumsi yang haram[21]

Beberapa pengertian di atas memberikan makna yang hampir sama, bahwa kondisi darurat selalu dikaitkan dengan ancaman kebinasaan atau ancaman keselamatan nyawa, kendatipun kekhawatiran itu tidak selalu bersifat pasti, tetapi bisa bersifat dugaan atau prediksi. Dengan demikian untuk diperbolehkan mengonsumsi yang diharamkan karena darurat, tidak disyaratkan seseorang menunggu sampai dirinya berada di ambang kematian[22].

Para ulama berbeda pendapat, apakah mengonsumsi makanan haram untuk menyelamatkan nyawa hukumnya wajib ataukah mubah. Dalam hal ini jumhur ulama dari berbagai madzhab memandang wajib. Maka jika seseorang menghadapi kondisi kelaparan yang sampai mengancam jiwa, sementara tidak ada pilihan lain yang bisa dimakan selain yang haram, wajib bagi dia mengonsumsinya sebatas agar bisa mempertahankan hidup dan terhindar dari kematian. Dasar yang menjadi pegangan adalah firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 195:

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ

“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.

Imam Abû Yûsuf dan Abû Ishâq al-Syîrâzî memandang tidak wajib mengonsumsi makanan haram dalam kondisi darurat, tetapi hanya mubah saja. Hal ini karena bisa jadi seseorang punya alasan untuk tidak mengonsumsi yang haram meskipun kondisi darurat karena sejak awal ingin menghindari dari yang diharamkan[23].

Syeikh Wahbah al-Zuhailî menjelaskan syarat-syarat kondisi berlakunya darurat antara lain: (1) keadaan sudah benar-benar ada bukan baru diperkirakan; (2) orang yang mengalami kondisi darurat sudah pada posisi tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan dari kebinasaan selain mengonsumsi yang haram; (3) alasan untuk membolehkan mengonsumsi yang haram harus benar-benar ada; (4) orang yang dalam kondisi darurat tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam; (5) mengkonsumsi yang haram karena darurat sebatas mencukupkan diri sekedar keluar dari kondisi darurat; (6) mengonsumsi sesuatu yang haram untuk pengobatan dalam keadaan darurat hendaklah berdasarkan dokter yang terpercaya, baik dalam agama maupun keilmuannya[24].

Berobat Dengan Benda Najis

Terkait dengan penyembuhan, dalam keadaan normal diperintahkan untuk berobat dengan yang dihalalkan sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya maka berobatlah kalian, jangan berobat dengan yang haram. (HR. Abu Dawud).

Namun demikian jika kondisi tidak terdapat obat yang suci diperbolehkan berobat dengan benda najis, sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi:

وإنما يجوز التداوي بالنجاسة إذا لم يجد طاهراً يقوم مقامها، فإن وجده حرمت النجاسة بلا خلاف

“Kebolehan berobat dengan bahan najis apabila belum ada bahan suci, namun jika ada bahan yang suci yang bisa menjadi bahan pengobatannya maka hukumnya haram berobat dengan bahan najis tanpa ada perbedaan pendapat”[25]

Penjelasan senada disampaikan oleh Izz al-Dîn bin Abdi al-Salȃm:

جاز التداوي بالنجاسات إذا لم يجد طاهرا يقوم مقامها ، لأن مصلحة العافية والسلامة أكمل من مصلحة اجتناب النجاسة ، ولا يجوزُ التداوي بالخمر على الأصح

“Boleh atas seseorang berobat dengan bahan yang najis ketika tidak ditemukan bahan yang suci karena maslahah yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan lebih utama dari pada maslahah menghindari najis. Namun tidak diperkenankan berobat dengan khamr menurut pendapat yang kuat[26].

Sekalipun berobat dengan benda najis diperbolehkan dalam kondisi tidak ada alternatif obat yang suci, namun demikian diharamkan berobat dengan khamr sebagaimana yang disampaikan oleh al- Izz bin Abdi al-Salȃm di atas. Madzhab Hanafi mempersyaratkan kebolehan berobat dengan sesuatu yang haram jika diketahui secara meyakinkan bisa memberikan kesembuhan dan tidak ada alternatif yang lain. Namun jika hanya dugaan semata, maka tidak diperbolehkan. Pendapat seorang dokter saja belum mencukupi untuk mengantarkan pada keyakinan. Demikian pula agama tidak memberikan keringanan sedikitpun untuk berobat menggunakan daging babi sekalipun terbukti menyembuhkan[27].

Keluar dari perselisihan pendapat adalah baik

Perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad adalah hal yang biasa, namun keluar dari perselisihan atau perbedaan pendapat adalah hal yang baik. Kaidah fiqhîyah menunjukkan:

الخروج من الخلاف مستحب

Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi/sunnah

Untuk itu, sikap ikhtiyâth (kehati-hatian) bisa menjadi solusi untuk keluar dari perselisihan pendapat. Kaidah ini sendiri sebagaimana penjelasan al-Subkî merupakan pencerminan dari sikap ikhtiyâth (kehati-hatian) ini[28].

Terlepas dari kesimpulan bahwa fatwa MUI Provinsi Jawa Timur adalah hasil ijtihad yang didasarkan pada pendapat dalam madzhab Hanafi khususnya pendapat Imam al-Syaibani, namun perlu dicermati bahwa pendapat Imam al-Syaibani terkait perubahan najis menjadi suci karena istihâlah tidak menyinggung dan menjelaskan adanya fakta lain, yakni ada usaha secara sengaja memanfaatkan benda najis khususnya anjing dan babi untuk memproduk sesuatu (seperti kasus intifa’ yang ada di era kontemporer ini). Beberapa kasus yang dijelaskan terkait istihâlah, konteksnya adalah perubahan alami yang tidak secara khusus disengaja untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, tidak ada pembahasan terkait bagaimana jika ada kesengajaan untuk memanfaatkan benda najis khususnya anjing dan babi untuk tujuan tertentu misalnya untuk produksi.

Jika pendapat tentang istihâlah khususnya yang disampaikan oleh Imam al-Syaibani diaplikasikan dalam konteks sekarang, tanpa memperhatikan kriteria larangan intifa’ babi dan bagian-bagiannya, maka akan ada banyak kasus, orang dengan mudah menggunakan dalih istihâlah sengaja memproduksi sesuatu produk konsumsi -termasuk produk pangan, obat, dan kosmetik- dengan memanfaatkan komponen babi.

Sebagai contoh, bisa saja ada yang memproduksi sabun dari asam lemak yang diambil dari lemak babi. Sabun yang terbentuk lalu dianggap suci karena telah mengalami istihâlah. Secara kimiawi asam lemak yang direaksikan dengan basa akan membentuk sabun yang sudah tentu mempunyai struktur dan sifat-sifat baru yang berbeda dengan sifat asam lemaknya.

Dengan argumen yang sama, orang bisa memproduksi emulsifier mono atau digliserida yang dibuat dari lemak babi. Juga emulsifier lainnya yang merupakan turunan lemak seperti Tween (Polysorbate), dan Span (sorbitan fatty acid ester) yang secara luas dipakai dalam produk obat dan kosmetik. Termasuk pula senyawa-senyawa ester asam lemak yang bisa dimanfaatkan dalam produk rerotian atau kue, sebagai pelembut.

Secara lebih luas lagi akan berkembang pemanfaatan enzim-enzim yang diambil dari pangkreas babi untuk memecah protein, lemak, dan karbohidrat. Pemanfaatan enzim dalam kasus seperti ini hanya berperan sebagai biokatalisator saja, sehingga dalam produk akhir sudah bersih, tidak terdeteksi lagi. Misalnya saja pada produksi keji, bisa saja memanfaatkan rennin atau pepsin yang diambil dari babi. Kasus yang pernah mencuat adalah pemanfaatan enzim yang diambil dari pangkreas babi sebagai biokatalisator pada produksi nutrisi bakteri bermerk bactosyotone. Hal ini berkorelasi penggunaannya pada produk-produk mikrobial seperti pada kasus produksi MSG.

Penggunaan atau pemanfaatan komponen babi akan berkembang lagi. Misalnya akan ada produksi karbon aktif dari tulang babi. Juga produksi gelatin dari tulang serta kulit babi, dan seterusnya. Secara teoritik, produk-produk baru yang dibuat seperti asam amino yang dipecah dari protein, produk-produk emulsifier yang terbentuk, juga keju yang dibuat, termasuk juga karbon aktif, kesemuanya merupakan senyawa-senyawa baru dengan struktur baru pula sehingga memenuhi kriteria istihâlah. Jika dengan dalih istihâlah hal ini diperbolehkan juga, akan massif terjadi pemanfaatan babi. Karena kenyataan peternakan babi mempunyai produktifitas yang cukup tinggi sehingga secara ekonomi sangat kompetitif.

Menyikapi hal tersebut di atas, sikap ikhtiyâth (kehati-hatian) dengan melarang/menghindari adanya pemanfaatan (intifa’) unsur atau komponen babi, akan menjadi solusi yang bisa menghindari dari perselisihan pendapat. Dalam hal ini madzhab Syâfi’îyah secara khusus menjelaskan larangan intifa’ sebagaimana sudah disebutkan di awal.

Sikap ikhtiyâth (kehati-hatian) pada dasarnya adalah perintah yang tersirat dalam sabda Rasulullah Saw:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ …

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas diantara keduanya terdapat perkara yang syubhat. Kebanyakan orang tidak mengetahui perkara syubhat ini. maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara syubhat, selamatlah agama dan harga dirinya, Maka barang siapa terjerumus kepada perkara syubhat, ia terjerumus kepada yang haram….” (HR Muslim, No. 2996)

Demikian pula sabda Rasulullah Saw,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَالنَّسَائِي وَقَالَ التِّرْمِذِيّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

”Tinggalkanlah hal yang meragukanmu menuju ke hal yang tidak meragukanmu” (HR. al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i)

Berdasarkan hadits di atas, jika ada pertentangan dua dalil dalam persangkaan muhtahid, yang satu mengarah kepada haram sedangkan yang lain mengarah pada mubah, maka yang dipertimbangkan lebih dahulu adalah yang mengarah kepada haram. Demikian pula jika menemukan ada dua nash yang satu mengarah pada larangan sedangkan yang lain mengarah pada memperbolehkan, maka yang dipertimbangkan lebih dulu adalah yang mengarah pada larangan. Yang demikian ini adalah pendapat jumhur ulama[29].

Sikap dan Keputusan BPJPH

Menyikapi adanya perbedaan fatwa antara MUI Pusat dan MUI Jawa Timur, Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengambil sikap untuk tidak menerbitkan sertifikat halal bagi produk vaksin yang dibuat oleh Astra-Zeneca. Sebaliknya BPJPH akan menerbitkan surat keterangan tidak halal untuk vaksin Astra-Zeneca ini[30]. Hal ini berbeda dengan kasus vaksin yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd yang telah dinyatakan halal oleh MUI, oleh BPJPH dikeluarkan sertifikat halalnya.

BPJPH adalah lembaga pemerintah, atau lembaga plat merah yang ada di bawah Kementerian Agama yang diberi tugas untuk menyelenggarakan jaminan produk halal sebagaimana diatur dalam UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 5 ayat (3). Salah satu kewenangan BPJPH menerbitkan sertifikat halal dan menerbitkan keterangan tidak halal untuk produk-produk yang tidak memenuhi kriteria halal.  

Keberadaan BPJPH sebagai lembaga pemerintah juga diharapkan menjadi solusi yang mengakhiri perbedaan pendapat. Hal ini sesuai dengan kaidah:

حكم الحاكم إلزام ويرفع الخلاف

Keputusan pemerintah adalah mengikat dan menghilangkan silang pendapat.

Imam al-Qurafi menyampaikan kaidah tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:

اعلم أن حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف ويرجع المخالف عن مذهبه لمذهب الحاكم وتتغير فتياه بعد الحكم

Ketahuilah, Sesungguhnya keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadiyah dapat menghilangkan perbedaan pendapat dan orang yang berbeda hendaklah ruju’ dari mazhabnya dengan mengikuti mazhab pemerintah dan fatwanya berubah sesudah ketetapan pemerintah[31].

Mengambil Hikmah Dari Kejadian

Pandangan Komisi Fatwa MUI Pusat yang secara konsisten menolak penggunaan komponen babi pada tahapan manapun dari sebuah proses produksi, satu sisi bisa menjadi pelik seperti kata orang jawa njimet sebagai implikasi dari sikap ikhtiyâth. Namun demikian hal ini seharusnya menjadi inspirator bagi para ilmuwan, khususnya ilmuwan muslim untuk bekerja keras melakukan riset, khususnya di bidang bioteknologi sehingga sejak awal sudah melepaskan diri dari pemanfaatan unsur babi. Hal ini sangat mungkin dilakukan jika terus ditumbuhkan komitmen.

Saat ini masih banyak produk-produk mikrobial, produk rekayasa genetika yang belum terbebas dari pemanfaatan enzim babi karena sifatnya masih mencangkok dari kerja pihak lain. Bahkan tidak hanya kaitannya dengan komponen babi, tapi juga dalam kasus penggunaan janin manusia. Jika kalangan Katholik ada yang mengkritisi adanya penggunaan janin manusia hasil aborsi tentu hal ini secara moral harusnya juga menjadi perhatian ilmuwan muslim[32].

Terkait adanya perbedaan pandangan antara komisi Fatwa MUI pusat dan MUI Jatim, bagi internal MUI khususnya komisi fatwa, hal ini merupakan pemicu untuk melakukan konsolidasi komisi fatwa secara nasional. MUI sebenarnya telah mengeluarkan Pedoman Penetapan Fatwa yang antara lain mengatur kewenangan Pusat dan Daerah. Adanya perbedaan pandangan ini tampaknya menunjukkan belum adanya kesefahaman terhadap pedoman yang ada.

Saat ini telah telah berlaku UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang telah direvisi sebagian dengan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 48. Sebagai tindaklanjutnya juga telah disahkan PP No. 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Sebagaimana diatur dalam PP No. 39 tahun 2021 pasal 76, sidang fatwa dalam rangka penetapan kehalalan produk, dapat dilakukan oleh MUI pusat, MUI Provinsi, dan MUI Kabupaten/kota. Jika koordinasi komisi Fatwa antar daerah serta antar berbagai tingkatan lemah, tidak menutup kemungkinan akan ada perbedaan keputusan fahwa untuk produk yang serupa. Tentu hal ini bisa menjadi masalah. Nah. Disinilah hikmah dari adanya perbedaan ini. Saatnya mendesak komisi fatwa melakukan konsolidasi.

*Penulis adalah Peneliti InPAS, anggota MUI Provinsi Jawa Timur

Daftar Pustaka

al-Andalusi, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm; 2003,  al-Muhallâ, Juz VI, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Libanon

Anonim; 1983, al-Mawsû‘ah al- Fiqhîyyah, cet. 3, Wizârat al-Awqâf wa al-Syu‘ûn al-Islâmîyyah, Kuwait.

Bahan Presentasi Dr. rer.nat.apt. Alucia Anita Artarini mewakili Astra-Zeneca.

al-Buhûtî, Manshur bin Yûnus; 2000, Daqâiq Uli al-Nuhâ li Syarh al-Muntahâ, Muassasah al-Risâlah, Bairut

al-Dasûqî, Syam al-Dîn Muhammad; t.t., Hâsyiyah al-Dasûqî, Isa al-Bâbî al-Halabî

Fatwa MUI No. 14 tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Astra-Zeneca

Fatwa Vaksin Covid-19 Yang Terindikasi Menggunakan Tripsin Pangkreas Babi yang dikeluarkan oleh MUI Prov. Jatim.

Handayani, Aniek S., dkk.; 2006, Reaksi Esterifikasi Asam Oleat dan Gliserol Menggunakan Katalis Asam, Jurnal Sains Materi Indonesia Edisi Khusus, hal : 102 – 105

https://news.detik.com/berita/d-5502576/ketua-mui-jatim-vaksin-astrazeneca-halalan-thayyiban

https://www.jawapos.com/nasional/22/03/2021/ Kemenag Keluarkan Surat Tidak Halal untuk Vaksin AstraZeneca/ diakses 29 Maret 2021).

https://www.kompas.com/global/read/2020/12/24/065342070/vatikan-sebut-vaksin-covid-19-secara-moral-bisa-diterima-meski-terbuat

Ibn Abdi al-Salȃm, Izz al-Dîn; 2000, Qawȃ`id al-Ahkȃm fî Ishlâhi al-Anâm, Dâr al-Qalam, Damaskus

al-Jashshâsh, Abî Bakr Ahmad bin Ali al-Râzî; 1992, Ahkâm al-Qur’ân, Juz I, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut-Libanon

al-Kâsâni, `Ala’ al-dîn Abu Bakar bin Mas’ud; 2003, Badâi’u al-Shanâ’i’, Dâr al-Kutub al-Ilmîyyah, Bairut, Libnon

al-Nawawi, al-Imam; 2003, Raudhat al-Thâlibîn, Dār ‘Alam al-Kutub, Saudi Arabia

_________; tt, Al-Majmŭ (Juz I, II, dan IV), Maktabah al-Irsyâd, Jiddah

al-Qarafi, al-Imam; 2003, Al-Furŭq,  Muassasah al-Risâlah, Bairut

al-Ramlî, Syams al-Dîn Muhammad bin Abi Abbâs; 2003, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarh al-Minhâj, Dar al-Kutub al-Ilmîyah, Bairut, Libanon

Ringkasan Hasil Kajian Dokumen Yang Dilakukan LPPOM MUI Terhadap Penggunaan Bahan Asal Babi Pada Proses Pembuatan Vaksin Covid-19 Astra Zeneca Yang Diproduksi Oleh SK Bioscience Co. Ltd. Korea

Schumann, K and Siekmann, K.; 2005. Soaps in Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, Wiley-VCH, Weinheim.

Sihotang, H dan Ginting M.; 2006. Pembuatan monogliserida melalui gliserolisis minyak inti sawit menggunakan katalis natrium metoksida, Jurnal Sains Kimia.

Suhardi, dkk.; 2006, Sintesis Secara Semi Kontinyu Biosurfaktan Ester Sorbitol Oleat Menggunakan Lipase Getah Pepaya Imobil, Agritech Vol 26 No. 1

al-Syairâzî, Abû Ishâq Ibrahîm bin Ali bin Yûsuf; 1995, al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi’î, Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, Bairut, Libanon

al-Syarwani, Abdul Hamid dan Ahmad bin Qashim al-Abbadi; t.t, Hawasyi Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir

al-Syuyûthî, al-Imam Jalal al-Dîn; 1997,  Al-Asybȃh wa al-Nazhȃir, Maktabah Nizâr Musthafâ al-Bâz, Riyadh

al-Zarqânî,  Abd al-Bâqî bin Yûsuf bin Ahmad; 2002, Syarh al-Zarqânî, Juz III, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Libanon

al-Zuhaili, Wahbah; 1985,  Nadzarîyat al-Dharûrat  al-Syar’îyat, Muassasah al-Risâlah, Bairut

________; 1985, al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, Bairut

 

 

* ) Sekretaris Umum MUI Prov. Jatim Periode 2015-2020

[1] Lihat Fatwa MUI No. 14 tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Astra-Zeneca

[2] Lihat: Fatwa Vaksin Covid-19 Yang Terindikasi Menggunakan Tripsin Pangkreas Babi yang dikeluarkan oleh MUI Prov. Jatim.

[3] https://news.detik.com/berita/d-5502576/ketua-mui-jatim-vaksin-astrazeneca-halalan-thayyiban

[4] Lihat: Ringkasan Hasil Kajian Dokumen Yang Dilakukan LPPOM MUI Terhadap Penggunaan Bahan Asal Babi Pada Proses Pembuatan Vaksin Covid-19 Astra Zeneca Yang Diproduksi Oleh SK Bioscience Co. Ltd. Korea dan Bahan Presentasi Dr. rer.nat.apt. Alucia Anita Artarini mewakili Astra-Zeneca.

[5] Tuhfat al-Muhtâj dalam catatan pinggir Hawâsyi Tuhfat al-Muhtâj juz I hlm. 290)

[6] Raudhat al-Thâlibîn, Juz I hlm. 571

[7] al-Muhallâ, Juz VI/hlm. 55

[8] Al-Mawsûàh al-Fiqhîyyah Juz III/hlm. 213

[9] Al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, hlm. 100

[10] Al-Mawsûàh al-Fiqhîyyah Juz XXIX, hlm. 107-108  

[11] Badâi’u al-Shanâ’i’, Juz I/hlm. 441-442 dan Al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, hlm 100

[12] Al-Mawsûàh al-Fiqhîyyah Juz XXIX, hlm. 107; Daqâiq Uli al-Nuhâ li Syarh al-Muntahâ, Juz I/hal 105

[13] al-Majmû’ Juz II/ hlm. 592-593 dan Nihâyah al-Muhtâj Juz I hal 247-248).

[14] al-Majmû’, ibid

[15] Al-Muawsûah al-Fiqhîyyah Juz XXIX/hal 107; Daqâiq Uli al-Nuhâ li Syarh al-Muntahâ, Juz I/hal 105

[16] al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir li al-Suyûthî, hlm. 140

[17] ibid, hlm. 147

[18] Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/hlm. 159

[19] Syarh al-Zarqânî, Juz III/hlm. 48

[20] Syarh al-Kabir dalam catatan pinggir Hâsyiyah al-Dasûqî:  II/115

[21] al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir li al-Suyûthî, hlm. 142

[22] Al-Fiqh al-Islâmî, Juz III, hlm. 515

[23] al-Majmû’, Juz IX/hlm. 41-42 dan Al-Fiqh al-Islâmî, Juz III, hlm. 515

[24] Al-Fiqh al-Islâmî, Juz III, hlm. 516-518 dan Nadzarîyat al-Dharûrat  al-Syar’îyat, hlm. 69-71

[25] al-Majmû’, Juz IX/hlm. 55

[26] Qawȃ`id al-Ahkȃm, Juz I/hal. 132

[27] Al-Fiqh al-Islâmî, Juz III, hlm. 522-523

[28] al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir li al-Suyûthî, hlm. 221

[29] Nadzarîyat al-Dharûrat  al-Syar’îyat, hlm. 24-2

[30] (lihat: https://www.jawapos.com/nasional/22/03/2021/ Kemenag Keluarkan Surat Tidak Halal untuk Vaksin AstraZeneca/ diakses 29 Maret 2021).

[31] Al-Furuq, Juz II/hlm. 192

[32] Lihat: https://www.kompas.com/global/read/2020/12/24/065342070/vatikan-sebut-vaksin-covid-19-secara-moral-bisa-diterima-meski-terbuat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *