Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Kesalah fahaman terhadap ilmu tasawuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari ketiada fahaman tentang hakikat tasawuf yang terkait dengan syariah. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syariah, bahkan ada yang menafikan syariah. Padahal, mempraktikkan syariah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari tasawuf. Syariah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin. Maka, tasawuf yang sebenar merupakan praktik dari syariah itu pada tingkat yang sempurna (ihsan), dzahir dan batin. Antara syariah dan tasawuf memiliki kaiatan erat yang tiada dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.
Karena itu, Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf merupakan pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan ilmu; ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada siapa dan karena siapa amal ibadah diamalkan (Wan Suhami Wan Abdullah,Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas Berdasarkan Karyanya ‘The Positive Aspects of Tasawuf’, hal. 204). Di dalamnya terdapat aspek ilmu dan amal yang berkualitas ihsan.
Dengan demikian, syariah sejatinya pintu masuk menujua hakikat tasawuf. Tanpa pengamalan syariah, apalagi anti-syariah, jelas tidak akan bisa masuk pada ruang tasawuf. Tasawuf dapat dikaitkan dengan ibadah yang berasaskan akidah benar. Maka, di kalangan ulama sufi, pengamalan syariah diutamakan.
Tasawuf di sini bukan seperti faham spiritualisme kaum Bathiniyah dari sekte Syiah Ismailiyah, yang dikenal spritiualisme menggugurkan syariah. Imam al-Ghazali pernah mengingatkan tipu daya tasawuf palsu kaum Bathiniyah ini. Suatu kali Imam al-Ghazali pernah bercerita kepada muridnya, “Seandainya ada orang mengaku telah mendapat derajat tinggi dari Allah Swt, ahli tasawuf kemudian menggugurkan kewajiban shalat, maka tidak ada keraguan untuk memerangi orang tersebut”. Cerita Imam al-Ghazali tersebut dicatat oleh ulama’ sufi Zakaria al-Anshari dalam kitabnya al-Mathalib Syarh Raudh al-Thalib, I/338.
Sekte Bathiniyah ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat adalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus (khowash) kewajiban syariatnya gugur karena ibadah mereka bersifat batin.
Syekh al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawuf’ yang palsu dengan menggugurkan kewajiban syariat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
Syaikh al-Junaid menasihati sahabat-sahabatnya agar tidak mudah tertipu dengan kemampuan manusia di luar batas kenormalan. Ia mengatakan: ‘Jika kamu melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, maka jangan kamu ikuti dia sampai kamu dapat memastikan perilakunya menjalankan perintah syariat dan menjauhi larangannya. Jika kamu menjumpainya dia mentaati seluruh perintah Allah Swt meninggalkan seluruh larangannya maka ikutilah dia. Jika tidak, maka jauhilah’ (Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Kaidah utama kaum sufi justru taat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Seperti dijelaskan oleh imam al-Junaid: ‘Tariqah kami, yakni tariqah ahli tasawuf itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan al-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-Sunnah dengan memahami isinya maka tariqahnya tidak sah untuk diikuti’(Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Syaikh Ali al-Khawwas, pembesar sufi dan guru imam al-Sya’rani, mengatakan: ‘Sesungguhnya tariqah kaum sufi merupakan tariqah yang berhias al-Qur’an dan al-Hadis. sebagaimana hiasan emas dan mutiara. Karena, dalam setiap gerak, diam dan nafas mereka, mengandung niat yang benar demi mengikuti syariat. Tida diketahui di antara mereka kecuali mereka sangat mendalam dalam ilmu-ilmu syariat’.
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawuf, bahwa perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah seperti menjadi kewajiban (fardhu). Yakni ulama tasawuf jangankan meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh ditinggalkan jauh oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawuf terhadap syariah Allah Swt.
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Swt wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Swt dan lain-lain. Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan. Aspek batiniyah meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah, muraqabah (merasa selalu diawasi), ikhlas, tawadhu, dan lain-lain. Ibnu Athoillah mengatakan: “Jika kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, tetapi kamu tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.
Islam memang mengandung dua unsur dzahir dan batin. Jika dzahir saja yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja tanpa dzahir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu diabaikan atau dibuang. Sedangkan kita diperintah untuk memasuki Islam secara sempurna (Udkhulu fi al-silmi kaafah). Dan tasawuf yang oleh imam Ghazali disebut palsu adalah yang menghilangkan sisi dzahir itu. Sehingga melahirkan unsur-unsur kebatilan.
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengklarifikasi bahwa tasawwuf yang sebenar bukanlah yang mengandung tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan. Beliau menjelaskan bahwa ulama tidak mengenal tasawuf dengan teori spekulasi atau akidah-akidah musyrik seperti politeisme (Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki,Pemahaman yang Harus Diluruskan, hal. 67). Para ulama berlepas tangan dari keyakinan-keyakinan tersebut.