Islam; Akhlak, Syariah dan Akidah

 

Oleh: Mohammad Hanief Sirajulhuda

Inpasonline.com-Islam sebagai sebuah diin yang telah Allah Swt sempurnakan (Al-Maidah: 3), berisi tentang aktivitas ritual ubudiyah yang memberikan manfaat kepada orang-orang sekitar. Islam menyatakan bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut: 45). Zakat membersihkan dan mensucikan harta dan jiwa (At-Taubah: 103), yang diperuntukkan bagi orang-orang yang memang mesti ditolong (At-Taubah: 60). Puasa menjadikan seseorang menjadi bertakwa (Al-Baqarah: 183), yaitu mampu mengerjakan amal kebajikan dan meninggalkan amal kebathilan. Belum lagi jika melihat pernyataan Nabi Saw di dalam hadis-hadisnya yang cukup detail, seperti bahwa orang beriman itu ialah orang yang berbuat baik terhadap tetangganya, memuliakan tamunya, menyayangi yang muda dan menghormati yang tua, hingga yang paling kecil adalah menyingkirkan duri dari jalan (Al-Hadis).

Namun, kini ada orang-orang yang memilki persepsi yang keliru terhadap Islam. Islam dinilai hanyalah agama orang-orang yang mimpi. Agama yang tidak membumi. Agama yang terlalu naif dan agama yang tidak haq. Disebabkan oleh oknum-oknum yang kini secara relatif kurang dapat merefleksikan buah manfaat dari diin yang agung tersebut.

Terkadang antara perilaku tidak sama dengan hati. Sholat, tapi berkata-kata buruk. Membayar zakat, tapi dia terlibat praktik korupsi dan suap-menyuap. Nampak dia berpuasa, tapi tetap konsisten menggunjing dan memfitnah orang lain. Hal ini akan menjadi olok-olokan orang terhadap agama Islam. Padahal, sang Muslim tidak mengamalkan secara benar agamanya.

Hal ini tiada lain disebabkan oleh cara berpikir (worldview) yang keliru dalam beragama. Keliru memandang Tuhan yang diibadahi dan keliru memandang ibadah yang dilakoni. Itu semua diawali oleh pemahaman yang tidak benar dan tidak utuh mengenai konsep Tuhan dan konsep ritual ubudiyyah yang dikerjakannya.

Tuhan harusnya menjadi sentral dalam peribadatan yang mesti dikenal dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, sebagai dasar pemahaman utama dalam ritual ubudiyyah tersebut. Itulah mengapa Ali bin Abi Thalib RA menyatakan: “Awwalud diini ma’rifatullah”. Awal mula ber-diin (beragama) itu ialah ma’rifat (mengenal) Allah Swt. Sebab, dengan diawali beragama itu mengenal Allah Swt, seorang muslim bisa memposisikan dirinya sebagai seorang hamba secara tepat dan dapat berinteraksi dengan-Nya sesuai cara yang dikehendaki oleh-Nya.

Menurut para ulama’ mengenal Allah Swt ialah mengenal 4 hal pada diri-Nya, yaitu; Dzat (wujud), Sifat (sifat), Asma’(nama) dan Af’al (perbuatan). Semua itu, sama sekali tidak sama atau tidak seperti alam semesta ini dan tidak boleh dinisbatkan selain kepada-Nya. “Laysa kamitslihi syay’un” (Tidak sama dengan sesuatu apapun). Apa yang sejatinya menjadi hak-Nya tidak boleh sama sekali diambil dan dirampas. Hak dikenal kedudukan-Nya, hak untuk disembah, hak untuk dipuji, serta hak untuk dicintai melebihi apapun dan siapapun.

Dengan mengenal 4 hal tersebut, seorang muslim akan terlepas dari syirik/menyekutukan Dzat, Sifat, Asma’, dan Af’al Allah Swt dengan sesuatu apa pun. Syirik adalah dosa paling besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah Swt (An-Nisa: 48), manakala ia wafat dalam keadaan tersebut. Sehingga, dalam beribadah seorang hamba tidak boleh dalam keadaan syirik, mesti ikhlas dan lurus (QS. Al-Bayyinah: 5). Ma’rifat kepada Allah Swt menjadikan dia beradab kepada-Nya.

Hal ini menjadi sangat penting. Karena, ketiadaan ma’rifat kepada Allah Swt dapat menyebabkan seorang muslim menjadi biadab kepada-Nya. Ada orang muslim yang mempersepsikan Allah Swt secara rasional semata. Bahwa, dengan dia merasa telah mengerjakan kewajiban sholat 5 waktu, berpuasa penuh di bulan Ramadhan, berzakat serta berhaji, maka ia merasa berhak bahwa seluruh doanya mesti dikabulkan Tuhan. Baginya Tuhan berlaku dzholim jika doanya tidak dikabulkan. Ini tentu tidak benar.

Ada juga yang mempersepsikan Tuhan secara irrasional. Bahwa, dengan dia telah melakukan berbagai maksiat dan dosa sepanjang hidupnya, ia merasa bahwa Allah Swt tidak mungkin akan mengampuni dosa-dosanya. Sangat tidak masuk akal baginya bahwa Allah Swt akan memberikan ampunan kepada dirinya. Akhirnya dia putus asa dari rahmat Allah Swt. Adanya pikiran semacam ini juga tentu tidak benar.

Allah Swt telah memberikan petunjuk bagaimana mestinya berinteraksi dan beribadah dengan tepat kepada-Nya, yaitu; dengan khouf (rasa takut) dan toma’ (penuh harap) (Al-A’raf: 56). Artinya, beribadah mesti hati-hati dan semangat. Hati-hati berarti agar cara beribadah itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah agar tidak mengandung syirik. Semangat maknanya ibadah yang dilaksanakan diyakini secara optimis akan diterima oleh Allah Swt. Perpaduan antara khouf dan toma’ akan melahirkan sifat khusyu’ dalam beribadah.

Selain itu, pemahaman terhadap konsep ritual ubbudiyah di dalam Islam juga mesti diapahami dengan baik. Jangan sampai ritual itu dipandang hanya sebagai penggugur kewajiban, tidak ada dimensi makna lain selain itu. Akhirnya, nama-nama beserta makna-makna ritual ubudiyah itu dapat terdistorsi dan tereduksi sebatas amaliah fisik kepada diri sendiri semata.

Ambil contoh ibadah sholat. Sholat menempati posisi yang sangat penting di dalam Islam. Berada di posisi kedua setelah Syahadat pada Rukun Islam. Rasulullah Saw bahkan bersabda, seluruh amal ibadah seorang muslim tergantung pada seberapa kualitas sholatnya. Jika baik sholatnya, baik pula seluruh amalnya. Sebaliknya, jika sholatnya buruk, menjadi buruk pula seluruh amalnya (Al-Hadis). Sholat menjadi nasib penentu seorang muslim di hadapan Rabbnya.

Lafazh sholat (صلاة) secara bahasa berarti doa. Sedangkan secara istilah ialah serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam. Namun, makna sholat ternyata tidak berhenti sampai di situ. Rasulullah Saw menyatakan bahwa sholat juga adalah tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). “Antara shalat yang lima waktu, antara Jum’at yang satu dan Jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang tidak melakukan dosa besar” (Al-Hadis).

Sementara itu, sholat juga disebut oleh Rasulullah Saw sebagai Mi’rajnya orang-orang mukmin (Al-Hadis). Pertemuan seorang hamba dengan Rabbnya ketika masih di dunia ialah melalui sholat. Sehingga betapa sahabat Ali bin Abi Thalib RA sebagaimana yang diriwayatkan ketika hendak mengerjakan sholat bergetar seluruh badannya. Ia sedang meyakini bahwa ia sungguh akan menghadap secara langsung Sang Pencipta dan Pemilik Alam Semesta. Dimana nasib hidupnya, rezekinya, matinya, dan seluruh urusannya ada di dalam genggaman-Nya. Sehingga tubuh, akal-pikiran, nafsu, hati, dan seluruhnya sedang tunduk melebur di dalam kekhusyu’an sholatnya. Tidak ada ruang di hatinya selain semuanya telah dipenuhi oleh khauf dan toma’ kepada Allah Swt.

Bahkan, ada seorang sahabat Nabi Saw yang sedang tertusuk panah dan tidak bisa dicabut dari tubuhnya disebabkan rasa sakit yang begitu dahsyat yang ia rasakan, tapi panah itu ternyata kemudian dapat dicabut ketika ia sedang melaksanakan sholat. Lebur di dalam khusyu’nya sholat menyebabkan ia tidak merasakan sakitnya panah dicabut dari tubuhnya.

Begitulah makna sholat yang dipahami oleh para sahabat nabi yang mulia. Mereka memiliki pemahaman yang kaya dan mendalam terhadap sholat. Bukan hanya sebatas pada pengguguran kewajiban, mengangkat takbir dan diakhiri dengan salam. Makna sholat bagi mereka adalah penentu amal ibadah yang lain, sarana penyucian jiwa, sarana pertemuan dengan Allah Swt, dan pembuktian seorang Muslim tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Sehingga tidak ada dualisme agama-moral seorang Muslim antara di dalam sholat dan di luar sholat. Semuanya selalu sama. Itulah mengapa Nabi Saw menyatakan pembeda antara seorang yang muslim dan seorang yang kafir adalah pada sholat. Siapa yang sengaja meninggalkan sholat tanpa adanya uzur dia adalah kafir yang nyata (Al-Hadis).

Tidak terkecuali dengan ritual ubudiyyah yang lain. Semua itu ternyata ialah sarana yang paling jitu guna menanamkan seorang muslim adab dan akhlaq yang baik pada dirinya. Jiwanya tersucikan, pikirannya terkontrol, nafsunya tertundukkan, disebabkan lahir-bathinnya selalu terhubung kepada Allah Swt disebabkan ritual ubudiyyah yang ia tunaikan. Hingga akhirnya dia dapat menjadi muslim yang baik dan dapat bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.

Sikap Bijak

Oleh karenanya, persepsi yang disimpulkan oleh orang-orang tersebut adalah mesti disikapi dengan adil. Bagi kita orang-orang muslim ialah menjadi bahan koreksian kepada diri kita, mengapa ibadah kita belum mampu berefek signifikan kepada perilaku kita sehari-hari. Jangan sampai kita menyalahkan persepsi orang tentang diri kita, disebabkan kebodohan kita tentang ajaran agama kita sendiri. Memang begitulah perangai atau sifat manusia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali: “Kita (manusia) adalah makhluk yang cenderung menyalahkan segala sesuatunya dari luar. Padahal kesalahan itu biasanya berasal dari dalam diri kita sendiri”.

Bagi orang-orang yang terburu-buru menyimpulkan bahwa Islam adalah agama pemimpi dengan segala lebel tetekbengeknya itu, maka perlu diperhatikan dan direnungkan ungkapan Hamid Fahmy Zarkasyi berikut: “Jika anda membenci perilaku orang beragama (khususnya Islam) janganlah membenci agamanya, karena boleh jadi anda tidak tahu apakah dia sedang melaksanakan agamanya dengan baik atau tidak sama sekali; boleh jadi pula yang bersangkutan tidak paham agamanya dengan baik atau salah dalam memahami agamanya. Islam mengajarkan kebaikan yang menyeluruh yang perlu diamalkan oleh umatnya dan dipahami oleh semua”.  Karena, Islam sesungguhnya berisi akidah, syariah, dan akhlak. Akhlak dan Syariah berdasarkan akidah. WaAllahu A’laam bis Showab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *