Pertentangan Akal dan Kepercayaan

Oleh: Bambang Galih S

Inpasonline.com-Salah satu cara Barat mengalahkan bangsa-bangsa pemeluk Islam yang pernah megah dan berkuasa itu ialah mengguncangkan pemikirannya dengan persoalan-persoalan baru. Maka jika ingin tetap hidup dan dapat menyesuaikan diri, kaum muslim harus belajar dari Barat. Namun sebaliknya tidak sedikit kaum muslimin yang menolak sama sekali pelajaran Barat dan hanya senang dengan jalan yang diterimanya dari zaman dahulu.

Akibatnya timbul dua masyarakat dalam dunia Islam yang terpisahkan oleh satu jurang yang sangat dalam, Hamka menyebutkan golongan masyarakat pertama, yaitu “Kaum Beku” yang berbantalkan pada kitab-kitab lama tentang kepercayaan, yang membantah segala macam usaha hendak meninjau kembali penafsiran atau permasalahan tentang keyakinan.  Kadang terjadi dengan begitu kuat, sehingga menuduh sesat orang-orang yang mengeluarkan penafsiran tentang kepercayaan -agama-.

Masyarakat kedua ialah masyarakat yang telah mendapat didikan berpikir, menganalisis dan mengurai sebagaimana diajarkan dalam pendidikan Barat. Mereka membebaskan dirinya dari pengaruh orang lain dan pikiran lain. Namun pencarian mereka tentang hakikat tidaklah berhasil, sebab pendidikan yang diberikan kepada mereka pun tidak kurang tertutupnya dengan pendidikan yang diterima oleh golongan yang pertama. Hamka menjelaskan, bahwa mereka tidak lagi terdidik dalam agama. Dalam sekolah mereka pun telah lama dijauhkan dari agama. Pelajaran mereka tentang Islam diterimanya dari professor yang mengetahui Islam bukan karena akan diamalkannya, melainkan akan diruntuhkannya. Dalam kalangan ini tidaklah kurang tumbuhnya kefanatikan dari yang ada pada golongan pertama. Mereka tidak mau menerima satu pertimbangan yang bukan dari pertimbangan Barat. Bertambah tinggi ilmu pengetahuan mereka, bertambah asiklah mereka dengan pikiran-pikiran Barat, yang disebut “modern atau berkemajuan”. Kesenangannya mengumpulkan perkataan professor fulan, sarjana fulan dan filsuf fulan. Dengan mendalam mempelajari dan ditelaah buku-buku tentang ekonomi, sosial, politik dan pandangan hidup. Paling akhir menyatakan keraguan tentang adanya Tuhan, atau tidak bertuhan sama sekali.

Bagi Hamka perkembangan dan kemajuan berpikir merupakan hal yang tidak dapat dielaki terjadi, sesuai dengan tingkat kemajuan zaman dan kebudayaannya. Terlebih ketika Islam telah menyebar dan bersinggungan dengan berbagai peradaban, intelektualitas dan kebudayaan di Persia, Romawi dan bangsa-bangsa lainnya. Kepercayaan atau agama pun memang harus dijelaskan dengan bahasa dan pembahasaan yang lebih tinggi dan sesuai untuk dipahami.

Hamka lebih memilih jalan tengah, dengan mempertemukan antara aql dan naql, menghubungkan antara akal dan wahyu. Perkelahian antara golongan pengikut akal dan pengikut naql, sebenarnya lebih banyak terjadi karena ketiadaan kemampuan dan kejujuran untuk saling belajar. Padahal kedunya sebenarnya dapat menjadi jembatan kebenaran, jika ia dilalui dengan benar, untuk menimbulkan kepercayaan –beragama-.

Golongan yang beku dalam memandang agama, adalah ialah yang terlalu sempit dan tidak menerima pendapat serta jalan pemikiran diluarnya, sedangkan ia pun mengikuti dan menerima kepercayaannya dari guru, sehingga akal menjadi beku karena tidak dipakai untuk bergerak sendiri, dengan “bertaqlid”. Padahal “iman” bagi Hamka, didapat melalui usaha pemikiran dan perjalanan hidup mencari kebenaran, dengan kesungguhan yang tidak berhenti hingga sampai pada keinsafan atau kesadaran akan kelemahan diri di hadapan yang Maha Besar.

 

Sedangkan golongan kedua yang meninggikan akal, pada perjalanan pemikirannya akan selalu berhadapan dan mempertanyakan akan hakikat diri, akal, kehidupan dan penciptaannya, yang tidak akan pernah mampu dijawab dan terselesaikan. Maka kepercayaan akan menjelaskan padanya seiring perjalanan akal. Sebab kepercayaan itu telah menjadi sebagian daripada hidup, yang akan selalu dicari dan diyakininya. Meskipun ia menolak, namun ketidak yakinannya pada sesuatu, akan tetap menghantarkannya pada keyakinannya pada sesuatu di luar kepercayaannya yang dianggap lebih benar. Hamka menyebutkan:

“Manusia tidak dipaksa untuk percaya. Akan tetapi, kalau akal dan pikirannya berjalan, akal dan pikiran itulah yang terpaksa percaya juga akhirnya. Orang yang dengan tegas menyatakan tidak hendak percaya pun terpaksa mencari bentuk kepercayaan lain di luar yang diajarkan agama.” (Hamka, Pelajaran Agama Islam 1, Jakarta: Republika Penerbit, 2018)

Potensi akal, sejak awal sebenarnya telah memiliki hubungan yang kuat dengan syariat -wahyu-, keduanya akan selalu berjalan beriringan dan tidak dapat terpisahkan. Syariat akan diterima dan diyakini secara sempurna melalui akal, dan akal akan selalu menuntun pada syariat yang lebih besar. Hamka menjelaskan:

“Kalau tidak dapat dikatakan akal telah terbuka sebelum ada syariat maka tidak pula dapat dikatakan bahwa sebelum syariat itu akal telah sanggup bekerja sendiri. Keduanya mesti dijadikan satu. Yaitu syariat menuntut akal kepada kesempurnaanya, dan akal senantiasa mencari syariat yang besar.” (Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)

Maka sudah tidak seharusnya akal dan wahyu terus menerus bergelut dan dipertentangkan, oleh golongan yang kaku dalam memandang syariat atau kepercayaan, serta dari golongan yang menutup diri hanya dengan akal. Akal seharusnya lebih banyak diajak berjalan dengan benar, sebagaimana Hamka menyebutkan “Permulaan perjalanan dinamai fitrah, akhir perjalanan dinamai Islam”. Akal akan selalu berjalan mencari fitrahnya dalam kebenaran, dan pada akhirnya ia pun akan sampai dan mengakui kelemahannya serta menyerahkan diri -“berislam”- pada kepercayaan dari yang Maha Besar.

Penulis adalah alumni Ma’had Aly Imam al-Ghazali Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *