Imam Syatibi: Syariah, Untuk Kemaslahatan Manusia

Proyek maqasid syariah yang dilakukan Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi ushul as-Syariah juga menjadi jembatan yang menghubungkan antara ushul fiqh mutakalimin dan ushul fiqh fuqaha. Kitab ini adalah kitab paling monumental diantara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab yang terdiri dari 4 juz yang  awalnya berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif ini berisi sebuah metodologi mutakhir dalam memahami syariah.

Dalam kitab ini, Imam Syatibi membahas konsep maqasid syariah secara sistematis dan mendetail. Ia menjelaskan bahwa syariah diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Ia berisi kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman. Orang yang menjalankan syariah Islam adalah orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya, baik yang kecil maupun yang besar mengandung maslahah bagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya. Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan–aturan di dalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madharat.

Kitab ini oleh para ahli ilmu diakui sebagai karya ilmiah dalam bidang ushul fiqh yang berisi tentang reformasi ilmiah syariah secara menyeluruh. Ia tidak hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu ushul fiqh dengan metodologi baru yang berlandaskan penelitian penuh (istiqra’) dari sumber utama syariah  yaitu al-Qur’an dan Sunnah, tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami syariah secara menyeluruh.

Pembahasan maqasid syariah secara tuntas dan komprehensif belum pernah dijamah oleh ulama-ulama sebelumnya. Bahkan menurut Ahmad Raisuni, pembahasan maqasid dalam kitab al Muwafaqat karya imam Syatibi ini, sepatutnya menjadi kitab tersendiri di luar kitab tersebut (Nadzariyat al Maqasid inda as Syatibi: 315)

Kitab-kitab Imam Syatibi yang lain antara al-I’tisham,  yang mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Kitab ini ditulis dalam suatu perjalanan khusus dan belum selesai ketika beliau meninggal dunia. Kemudian kitab Maqasidu as-Syafiyah fi Syarhi Khulashati al-Kafiyah yang  terdiri dari 5 jilid yang isinya menjelaskan tentang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu). Karya-karya lainnya yang juga terkenal antara lain al-Majalis, Syarhu Rojaz Ibn Malik fi Nahwi, ‘Unwan al-Ittifaq fi ilmi Al-Isytiqaq, Ushul an-Nahwu,  Al-Ifaadat wa al-Insyadaat, serta Fatawa al-Syathibi. Dari keseluruhan karya tersebut  hanya 3 buah karya yang dicetak,  yaitu al-Muwafaqat, al-I’tisham dan al-ifaadat wa al-Insyaadat.

  1. Rasyid Ridha ketika mengometari kitab al-Muwafaqat dan al-I’tisham menulis, “sedikit darimu telah cukup bagi kami, dan sedikit hal darimu, tidaklah dikategorikan sedikit.” Kedua kitab ini diakui oleh para ulama sebagai hasil pemikiran brilian Imam Syatibi.

Karena ketinggian ilmunya, Muhammad Makhluf menempatkan Imam Syatibi pada urutan ke 16 dalam tingkatan ahli fiqh Malikiyah dari Andalusia.

Senang Mencari Ilmu

Nama lengkap Imam Syatibi adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad. Kunyah-nya adalah Abu Ishaq dengan nisbatnya as-Syatibi atau al-Gharnati. Gharnathi dinisbatkan kepada kerajaan yang berkuasa ketika Imam Syatibi hidup (Granada).  Adapun Syatibi (sativa) adalah sebuah kota di bagian Timur Andalusia.

Ia dilahirkan pada tahun 720 H. Sejak kecil sudah dikenal sebagai anak yang suka mencari ilmu. Pengembaraan intelektualnya dimulai dengan mempelajari ilmu wasail, dan ilmu maqasid. Ia juga tidak berhenti sampai disitu, hampir semua cabang ilmu dipelajari secara mendalam untuk mengetahui maksud-maksud dari syariat (al-maqasid as-Syari’ah) dan rahasia-rahasianya. Serta mencoba untuk memahami syariah secara mendalam.

Ia belajar kepada 27 ulama besar Andalusia. Diantara mereka adalah Syeikh Abu Ja’far Ahmad bin Hasan bin Ali bin Ziyah al-Kila’I, Syeikh bin Ali al-Fukhary al-Biry, Syeikh Abu Abdillah al-Abdary, Syeikh Abu Ja’far as-Syakury.

Imam Syatibi menghabiskan seluruh hidupnya di Granada. Ketika itu negeri tersebut di bawah kekuasaan Bani Ahmar yang kehidupan masyarakatnya jauh dari kehidupan islami. Bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai amalan-amalan khurafat dan bid’ah.

Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan. Selain sering terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang benar dituding telah keluar dari agama dan mendapat hukuman yang sangat berat. Kondisi seperti ini mulai berubah ketika ia diganti oleh anaknya, Abu al-Hujjaj Yusuf bin Isma’il.

Pada masa itu, ulama yang memegang hak otoritas untuk berfatwa, bukanlah mereka yang kompoten di bidangnya. Akibatnya, tidak jarang ulama mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan syari’at. Inilah yang membuat Imam Syatibi prihatin sehingga masalah tersebut diulasnya dengan panjang lebar. Menurutnya, seorang ulama seharusnya berprilaku sebagaimana Rasulullah. Mereka adalah waratsah al-anbiya (pewaris para Nabi) yang mengajarkan manusia hal-hal yang telah disampaikan Rasul melalui sabda agungnya.

Imam Syatibi mencoba meluruskan ulama pada saat itu dengan mencoba mengembalikkan perbuatan bid’ah ke sunnah. Namun seruannya itu mendapat cercaan dan celaan dari ulama lain. Para ulama Granada selalu berfatwa berlawanan dengan apa yang disampaikan olehnya tanpa melihat terlebih dahulu isi fatwanya. Diantara fatwa Imam Syatibi yang paling terkenal adalah mengenai praktek tasawwuf yang telah melenceng dari ajaran Islam. Menurutnya,  tasawuf yang tidak sesuai dengan ajaran syari’at adalah sebuah kesesatan. Tentu saja fatwa ini mendapat reaksi keras dari para ulama yang mengamalkan tasawuf yang keliru.

Imam Syatibi juga mengecam para ulama yang terlalu fanatik terhadap madzhab yang dianutnya. Saat itu mayoritas ulama Granada penganut mazhab Maliki yang sangat fanatic, sehingga setiap ada orang bermazhab lain akan dicerca bahkan disiksa karena menurut mereka tidak sesuai dengan syariat.

Masalah itulah yang mendorong Imam Syatibi mengarang kitab  al-Muwafaqat dan al-I’tisham. Salah satu bab dalam kitab al-Muwafaqat adalah maqasid yang isinya memberi petunjuk mengenai pemahaman fiqh yang tidak berkelompok-kelompok dan fanatik mazhab, sehingga bisa mempertahankan kesatuan umat. Sedang dalam al-I’tisham Imam Syatibi membahas secara detail tentang bid’ah dan seluk beluknya, serta penyelewengan tasawuf yang dipraktekkan kaum sufi.

Imam Syatibi  wafat pada tahun 790 H dengan meninggalkan karya yang sangat berharga bagi kaum muslimin.

Last modified: 09/12/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *