Inpasonline.com-PERMASALAHAN umat sekarang ini semakin rumit. Sementara tanda-tanda kebangkitan umat masih belum terlihat . Di sisi lain, belum lama ini, Yaman telah dikooptasi oleh Syiah Hautsi.
Kata Imam al-Ghazali, pada saat posisi umat seperti ini, para ulama Ahlus Sunnah harus melihat persoalan lebih mendasar. Bahwa timbulnya krisis dan kemunduran sebagai dampak dari kerusakan dalam internal umat Islam.
Sudah saatnya, umat tidak hanya konsentrasi pada kritik (naqd), tapi juga harus ada istbat (afirmasi). Khususnya, perbaikan internal umat Islam. Lalu dari mana umat Islam bangkit, apakah dari politik, atau ekonomi?
Ada yang berpendapat bahwa dengan mendirikan Khilafah semua problematika umat Islam kontemporer ini pasti akan selesai. Seorang aktivis pernah berpendapat bahwa ketika khilafah berdiri, tidak ada Sunni tidak ada Syiah. Juga tidak ada madzhab, semuanya Islam.
Dr. Adian Husaini dalam tulisannya berjudul “Khilafah dan Demokrasi” meluruskan bahwa ungkapan ‘masalah umat akan beres jika khilafah berdiri’ tidak selalu tepat. Menurut Adian, yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan memimpin umat Islam.
Pernyataan bahwa Sunni dan Syiah melebur jadi Islam, juga tidak bisa dikatakan tepat, yang membangkitkan umat itu justru Ahlus Sunnah (Sunni). Basis-basis pemikiran Ahlus Sunnah menjadi modal kebangkitan Islam. Jadi Sunni selalu ada, bukan tidak ada. Islam yang memegang teguh ajaran Nabi dan para Sahabat telah disepakati para ulama yang menganut akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Artinya, Ahlus Sunnah adalah Islam itu sendiri.
Lebih khusus, umat Islam hari ini harus mulai memahami bahwa dalam ‘pentas’ sejarah, ulama sufi Sunni selalu berada di balik setiap kemenangan kaum Muslimin. Dr. Majid Irsan Kilani dalam bukunya, Hakadza Dzahara Jil Shalah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds (Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib) mengatakan sejumlah ulama yang tidak boleh disingkarkan perannya yang signifikan dalam kemenangan merebut al-Quds pada perang Salib adalah; imam al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka semua ulama tersebut menggerakkan pemikiran Islam dari basis pemikiran tasawwuf.
Begitu pula di belakang Muhammad al-Fatih, sang Sultan yang menaklukkan Konstantinopel, terdapat guru yang selalu membimbing sang Sultan. Dia adalah Syeikh Aaq Syamsuddin, penasihat Muhammad al-Fatih, pahlawan Islam dari dinasti Utsmaniyah yang sukses menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1435 M.
Berkat bimbingan Syeikh Syamsuddin, Sultan al-Fatih berhasil membangkitkan semangat pribadi dan kaum Muslimin untuk menaklukkan kerajaan raksasa dunia, Romawi. Syeikh Syamduddin adalah seorang Sunni dan Sufi.
Bahkan sistem tariqah zaman itu yang dibangun mereformasi kualitas umat bertujuan untuk menyiapkan generasi yang siap bangkit. Gelar dan jabatan dalam tariqah seperti al-quthb, al-abdal, dan autad merupakan gelar dalam struktur organisasi kaum tariqah sufi untuk menyelesaikan problema umat. Karena itu, fungsi tariqah sufiyah sebenarnya merupakan mesin reformasi untuk memberi pencerahan umat Islam atas berbagai masalah yang dihadapi saat mengalami kemunduran dari berbagai sisi. Struktur ini dibangun di atas akidah Ahlus Sunnah. Karena itu, tidak cerita pelaku tariqah ini adalah non-Ahlus Sunnah, apalagi Syiah.
Imam al-Ghazali dan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, patut dicontoh metode islahnya (reformasi). Keduanya tidak hanya konsentrasi kepada menyerang virus eksternal, namun juga melakukan reformasi internal. Keduanya mengikis virus yang menggerogoti imunitas internal umat Islam. Memang, tidak Nampak keduanya menyiapkan pasukan militer. Tapi justru kekuatan terbentuk berkat keberhasilan membersihkan ‘penyakit’ yang ada di dalam umat Islam.
Penyakit Fanatisme
Jika diurai secara sederhana, masalah yang dihadapi umat Ahlus Sunnah sekarang hampir mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Imam al-Ghazali atau ketika berkecamuk perang Salib.
Salah satu ‘penyakit’ akut umat Ahlus Sunnah kontemporer adalah fanatisme. Virus fanatisme ini menyerang sudut-sudut umat.
Fanatisme terhadap organisasi, lembaga, majelis ta’lim dan bahkan fanatik kepada ilmu yang dipelajari. Ta’assub terhadap ilmu adalah seseorang mencukupkan diri kepada satu ilmu saja yang ia pelajari. Ilmu fikih saja atau tafsir saja tidak cukup untuk menyelesaikan ‘sejuta’ persoalan umat.
Masalah umat bukan soal fikih saja, atau soal politik dan ekonomi saja. Tapi telah berakumulasi dalam satu problema besar. Maka, harus ada kerelaan dari ahli ilmu tertentu untuk melakukan ‘silaturahim ilmiah’ kepada ahli ilmu yang lain. Keengganan untuk ‘bersilaturahim’ ini melahirkan keangkuhan dan kesombongan. Inilah penyakit internal yang diperangi oleh Imam Ghazali pada zamannya.
Kebangkitan, harus didasari oleh pemikiran dan akidah yang sehat. Dalam karya-karyanya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan. Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).
Oleh sebab itu, dia tidak mencari-cari alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan tanggung jawab atas segala keterpurukannya kepada kekuatan-kekuatan asing yang menyerang (Majid Irsan Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, hal.77). Intinya, umat Islam kalah, karena internal umat lemah dan rusak.
Imam al-Ghazali lebih menekankan jihad al-nafs bukan berarti beliau menganggap jihad qital (perang) tidak penting. Posisi ini dijelaskan oleh Adian Husaini, dia menulis: “Posisi al-Ghazali dalam soal jihad – bahwa ia juga sangat menekankan pentingnya jihad dalam makna qital – menjadi jelas jika menelaah Kitab Jihad yang ditulis oleh Syeikh Ali al-Sulami. Dalam naskah kitab yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jihad adalah fardhu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara-negara terdekat, seperti Suriah, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Suriah dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Suriah untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai” (Baca: Adian Husaini dalam Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi,13).
Reformasi yang dilakukan imam al-Ghazali bertujuan mengikis fanatisme dan membuka sekat-sekat antar umat Islam dengan cara membersihkan hati (tazkiyatu al-nafs). Maka, kita juga bisa menyimpulkan bahwa titik tolak reformasi Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan memulainya dengan islah al-dzati, reformasi pemikiran internal dan akidahnya.
Hari ini, kerusakan umat muara sebenarnya berasal dari kerusakan pemikiran yang ditimbulkan oleh kerusakan hati. Inilah yang menyebabkan faktor kerusakan ilmu dan adab.
Maka, sebaiknya energi Ahlus Sunnah tidak semunya habis untuk naqd. Harus mulai fokus mendidik generasi baru umat dan elit pemimpin yang bisa bersatu, tidak ta’asub dan terpecah-pecah serta memiliki basis Islamic worldview.
Lembaga-lembaga pendidikan ditingkatkan kualitasnya dalam rangka hal tersebut. Di samping itu, para ulama harus memfokuskan perhatian untuk mengatasi penyakit-penyakit krusial yang menggerogoti umat dari dalam, daripada sibuk pada gejala-gejala perselisihan yang tidak perlu.
Kenapa perlu meneladani Imam al-Ghazalid dan Syeikh Abdul Qadir al-Jailini? Karena dari sentuhan pendidikan beliau berdua lahir generasi Shalahuddin al-Ayyubi.
Majid Irsan Kilani mengatakan al-Ayyubi tidak datang sebagai seorang utusan langit yang datang begitu saja. Ia lahir dari model pendidikan Islam yang dirintis oleh kedua ulama tersebut. *