Ia mengaku prihatin dengan norma-norma agama di kota ini yang sudah cenderung diabaikan. Menurutnya, kondisi ini harus segera diperbaiki.
Memang, dengan gelar ‘kota santri’, yang diharapkan adalah budaya Islami mengakar di masyarakat Pasuruan. Norma dan etika agama harusnya diperhatikan dan dihormati dengan baik di kota ini.
Di kota ini terdapat ratusan pesantren. Hampir di tiap kecamatannya, berdiri beberapa pesantren. Makanya kota ini menjadi salah satu kota yang berjuluk ‘Kota Santri’ di Jawa Timur.
Namun, Ust Abu Bakar Assegaf belum lega dengan sekedar julukan tersebut. Peluang-peluang untuk bermkasiat harus sekuatnya ditekan.
Banyaknya tempat-tempat maksiat dan diabaikannya norma di kota ini sesungguhnya bukan karena kurangnya ulama’ menyampaikan dakwah. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada peraturan daerah untuk menertipkan tempat-tempat maksiat. Padahal ketertiban norma dan etika itu telah menjadi aspirasi para ulama’ sejak lama.
Pemerintah setempat ternyata masih memberi peluang dibukanya tempat-tempat hiburan yang dijadikan transaksi maksiat. Dengan dalih menarik wisatawan, tempat-tempat maksiat bebas beroperasi. Parahnya lagi, di bulan Ramadlan pemkot tahun ini belum juga menjunjukkan dukungannya menertipkan warung-warung dan tempat maksiat.
Sehingga kondisi ini menurut MUI Kota Pasuruan perlu segera diubah dengan diterapkan peraturan daerah. Maka, sebelum ramadlan lalu, MUI Kota Pasuruan mengusulkan Raperda miras, prostitusi dan ketertiban Ramadlan kepada Pemerintah Kota.
Ust Abu Bakar Hasan Assegaf yang juga sebagai Ketua Majelis Fatwa MUI Pasuruan getol memperjuangkan Raperda ini kepada pemerintah. Bahkan, menjelang Ramadlan kemarin, ia sudah bergerak, menggagas dilakukannya sweeping penjual miras di beberapa toko retail.
Sayangnya, hingga Ramadlan memasuki paruh akhir, usulan Raperda tersebut belum juga direspon pemerintah. Padahal Raperda tersebut merupakan aspirasi para ulama’ di Pasuruan.
Ust Abu Bakar sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI, mengaku kecewa dengan sikap ‘cueknya’ pemerintah kota. Ia tidak habis pikir kenapa untuk membuat perda yang urusannya membangun moralitas umat pemerintah masih mengabaikannya. Apalagi ini adalah kota santri.
Karena begitu kecewa dan merasa perjuangannya selama ini gagal meloloskan Raperda itu, Ust Abu Bakar menyatakan diri mundur dari MUI. Ia mengaku akan memperjuangkan dengan jalan lain jika melalui jalur MUI Raperda itu gagal. Namun ia tetap mengharap pengurus MUI lain memperjuangkan hingga Raperda disahkan menjadi Perda di kota Pasuruan.
Perda miras, prostitusi dan ketertiban Ramadlan tetap diharapkan umat Pasuruan. Budaya santri tidak hanya di dalam pesantren saja, akan tetapi menjadi karakter masyarakat Pasuruan. Menuju Pasuruan yang beradab dan beretika merupakan aspirasi masyarakat santri Pasuruan. (jp-rb/kholili)