Oleh: Kartika Nur Utami*
Inpasonline.com-Dewasa ini semakin berkembang pemikiran yang menyatakan bahwa agama itu suatu pilihan. Setiap manusia berhak dan bebas menentukan kehendaknya untuk memilih agama yang benar menurut keyakinannya. Maka hak asasi dalam beragama itu harus dihormati dan dijunjung tinggi sehingga setiap orang diharamkan memaksakan agama dan keyakinannya kepada orang lain, khususnya orang yang telah beragama. Didalam dokumen HAM (Hak asasi manusia) universal pada tahun 1948, telah dinyatakan jaminan hak-hak dasar manusia secara terperinci, seperti persamaan antara pria dan wanita, kelompok, bangsa, dan segala macam kebebasan dimana yang terpenting diantaranya adalah kebebasan kepentingan dan agama.
Salah satu prinsip yang prinsip yang disampaikan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah kebebasan beragama. Kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa seperti seorang yang belum dewasa.
Dalam pandangan hidup Islam, anugerah yang diturunkan Allah kepada manusia adalah kebebasan untuk memilih sendiri agamanya yang mana berdasarkan dari keyakinannya sendiri. Hal inilah yang membuat manusia berbeda dengan makhluk Allah yang lain. Jalan hidup utama yang diberikan kepada manusia adalah kebebasan untuk mengikuti petunjuk yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam, yaitu jalan yang paling benar, ataupun memeluk keyakinan agama lain, semuanya diserahkan secara penuh kepada manusia.
Salah satu ajaran yang sangat dikedepankan dalam Islam tentang hal tersebut adalah prinsip La Ikraha Fi Al-Din, yaitu tidak ada pemaksaan dalam menganut agama, yang mana termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256. Dari ayat ini dapat dimaknai bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an. Jika saja pemaksaan diperbolehkan, maka bisa saja Allah yang memerintahkan hal itu, akan tetapi kenyataannya, dalam ayat diatas tidak ada pemaksaan yang diaplikasikan atau diterapkan. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa penting untuk kita menyelidiki lebih lanjut kebebasan beragama dalam al-Qur’an sebagai bentuk untuk menyikapi bagaimana seharusnya beretika dalam lingkungan yang plural. Makalah ini hendak memaparkan bagaimana kebebasan beragama dalam perspektif al-Qur’an.
- Makna Kebebasan Secara Umum
Secara etimologi kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu bebas yang artinya merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya. Dari Oxford Dictionary of English, pengertian dari kebebasan adalah the power or right to act, speak, or think as one wants. Singkatnya, kebebasan adalah kemampuan atau hak untuk bertindak, berpikir, ataupun melakukan apa yang diinginkan. Dengan kata lain, manusia memiliki hak untuk bergerak dan menyumbangkan hasil pikirannya. Makna dari beragama yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Dari pengertian ini, maka kebebasan beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk sesuatu agama atau keyakinan yang diinginkan.
Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), kebebasan beragama telah termaktub dan menjadi peraturan Internasional. Kebebasan beragama diatur dalam pasal 18 yang berbunyi “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religions…” yang mana menjelaskan bahwa setiap manusia memilki hak untuk beragama dan hak-hak kebebasan lain. Secara umum, DUHAM dapat diterima oleh negara-negara Islam. Piagam HAM universal ini memunculkan kebebasan beragama, pun kebebasan berganti-ganti agama.
Kebebasan dalam makna yang luas atau universal memunculkan banyak kebebasan-kebebasan lain, selain daripada memeluk agama. Dalam makna bebas, arti dari pasal 18 deklarasi HAM tersebut adalah “setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau kepercayaannya, dan kebebasan, baik sendiri atau di masyarakat dengan orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk mewujudkan agamanya atau kepercayaannya dalam mengajar, berlatih, beribadah dan taat.” Dengan kata lain, orang yang mau memeluk dan mengamalkan jenis agama apa saja harus dhormati dan diberi kebebasan.
- Kebebasan Menurut Agama Islam
Sejak sebelum lahir kedunia, manusia sudah memiliki kecenderungan untuk meyakini adanya Tuhan yang menciptakan dirinya. Manusia sudah memiliki perasaan atau sifat mempercayai adanya wujud pencipta-Nya sejak dari awal ia terlahir ke dunia. Perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia sebelum ditiupkan kepada rahim seorang ibu dilaksanakan. Dalam surah al-A’raf dapat dilihat mengenai perjanjian primordial tersebut. Maksud dari ayat ini adalah, setiap manusia yang lahir, memiliki hati yang fitrah atau bersih. Didalam hati yang bersih tersebut, terdapat pengakuan bahwa pastilah ada pencipta seluruh alam semesta ini. Manusia yang mana kehidupannya bersumber dari salah satu bagian tulang punggung ini, telah ditanyakan oleh Allah bahwa memang Allah satu-satunya Tuhannya dan hal ini diakui pula oleh manusia. Dengan kata lain, manusia bukan hanya mengakui, akan tetapi menyaksikan bagaimana hal itu terjadi sebelum kita tercipta dan terlahir ke dunia ini.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, Q.S. Al-A’raf menjelaskan bahwa manusia berasal dari tulang sulbi mereka, dan manusia menyaksikan dengan sendirinya bahwa Allah-lah tuhan mereka. Allah menguasai manusia dan tidak ada tuhan melainkan Dia. Hanya Allah-lah yang membuat fitrah mereka seperti itu adanya. Dapat dilihat bahwa, manusia tidak dapat mengelak bahwa Allah-lah Tuhannya jika ia meninggal nanti, meskipun ia tidak dalam keadaan beragama Islam. Manusia telah menyaksikan Tuhan-Nya sebelum mereka lahir ke Dunia.
Kata fitrah lazim diartikan sebagai potensi, kecenderungan dan insting. Potensi atau insting disini dimaksudkan sebagai potensi yang cenderung menerima ajaran Islam yang disyariatkan oleh Allah. Dengan fitrah yang suci itulah manusia terbimbing mengenal Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap manusia memang memiliki kebutuhan basis, yang mana disebut kebutuhan berketuhanan. Perjanjian dasar antara Allah dan ruh yang tertanam dalam rahim manusia memperjelas kecenderungan berketuhanan yang dibawa sejak lahir yang dikenal sebagai fitrah berketuhanan atau keberagamaan.
Fitrah manusia untuk beragama telah ditanamkan bahkan sejak sebelum lahir. Perjanjian dasar antara Allah dan ruh yang tertanam dalam rahim manusia memperjelas kecenderungan berketuhanan yang diwujudkan dalam kehidupan. Kecenderungan berketuhanan yang dibawa sejak lahir yang dikenal dengan istilah fitrah berketuhanan atau keberagamaan. Salah satu surah yang menjelaskan hal ini terdapat dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Makna dari hanif dalam ayat ini adalah agama yang Allah telah sempurnakan agama ini dengan puncak kesempurnaan. Jika ia mengikuti agama tersebut, berarti manusia berada pada fitrahnya yang salimah (lurus dan benar). Sebagaimana ketika Allah ciptakan para makhluk dalam keadaan itu. Allah telah menciptakan para makhluk dalam keadan mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya dan mengakui tidak ada yang berhak disembah selain Allah”.
Dalam Tafsir al-Azhar, ayat ini menjelaskan bahwa agama yang ditegakkan oleh Muhammad adalah agama yang Hanif itu. Yang mana artinya, tetaplah pelihara fitrah manusia itu sendiri, yaitu perasaan murni dalam jiwa setiap manusia yang belum terpengaruh dari yang lain yaitu mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, dan sifat-sifat lainnya. Meskipun sudah banyak diselewengkan oleh anak cucunya, baik dari Bani Israil yang menjadikannya agama Yahudi dan juga kemudian dilanjutkan lagi oleh keturunan Bani Israil yang menjadikan Tuhan itu adalah tiga dalam satu begitupun sebaliknya.
Agama Islam disebut sebagai agama fitrah, karena semua ajaran Islam selalu sesuai dengan fitrah manusia dan membawa kebaikan bagi hamba. Jika Islam melarang terhadap suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut mengandung sesuatu yang membuat kemudaratan bagi manusia. Jika kita Islam memerintahkan suatu perbuatan, bisa dipastikan suatu perbuatan tersebut mengandung unsur manfaat bagi manusia. Fitrah Tauhid dan beragama sejak semula sudag berakar pada jiwa manusia, tetapi kemudian tertutup karena kelalaian manusia dalam memelihara dan menjaga kebersihan fitrahnya dari pengaruh-pengaruh menyesatkan. Jadi, agama Islam disebut sebagai agama fitrah, karena tidak pernah menyalahi terhadap maslahat manusia tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Artinya: Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani (HR. Bukhari-Muslim)
Melihat hadis di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang anak yang lahir ke dunia, ia lahir dalam keadaan fithrah, orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi ataupun Nasrani. Para ulama dan cendekiawan Muslim berbeda pendapat dalam memaknai kata fithrah. Secara sederhana, lafazh fithrah berarti suci atau bersih termasuk bersih dari dosa. Makna inilah yang seringkali disematkan ke dalam hadis di atas. Padahal sebenarnya, pengertian suci atau bersih seperti ini mungkin bukanlah yang dimaksudkan oleh konteks hadis di atas.
Jadi, menurut Alquran, semua umat manusia pada penciptaannya dianugerahi pengetahuan tentang Din Al Fitrah selain kemampuan manusiawi untuk berpikir dan berpikir umum, dan agama yang benar ini sama-sama dimiliki oleh semua orang. Karena manusia adalah ciptaan dari Tuhan yang dianugerahi kebebasan bertindak, ia diminta untuk hidup sesuai dengan Din Al-Fitrah ini, namun hal itu tidak dipaksakan kepadanya. Sebagai kepastian pilihan kebebasan manusia dan kebebasan, begitu ia berinteraksi dengan alam dan alam semesta, muncul berbagai sikap yang berbeda dari din al fitrah. Perbedaan ini adalah konsekuensi alami dari kebebasan kehendak dan tindakan yang diberikan kepada-Nya.
Islam sangat menghormati kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam Surat al-Baqarah ayat 256, Allah mengajarkan Umat Islam untuk menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama. Ayat tersebut merupakan larangan pemaksaan terhadap orang lain agar memeluk Islam. Ayat tersebut tepatnya berbunyi:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguh- nya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar terhadap Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Asbabun nuzul dari ayat ini adalah, dijelaskan dari riwayat Abu Daud, al-Nasa’i, dan Ibnu Jarir, seorang lelaki bernama Abu al- Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu ‘Auf al- Ansari mempunyai dua orang anak laki-laki yang telah memeluk agama nasrani, sebelum nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi. Kemudian anak itu datang ke Madinah setelah datangnya Islam. Ayahnya selalu meminta agar mereka masuk Islam, dia berkata pada mereka “saya tidak akan membiarkan kamu berdua, ingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dan ayah mereka berkata “apakah sebagian tubuhku akan masuk neraka, dan aku hanya melihat saja?” maka turunlah ayat ini, lalu sang ayah membiarkan anaknya tetap pada agama mereka.
Dalam ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak akan tercipta jika suasana jiwa tidak memiliki kedamaian. Jiwa yang damailah yang dapat memunculkan kedamaian. Paksaan membuat jiwa menjadi tidak damai, oleh karena itu tidak ada paksaan dalam menganut akidah Islam. Dalam ayat ini pula menunjukkan bahwa tidak diizinkan melakukan kekerasan dan paksaan bagi umat Islam terhadap yang bukan Muslim untuk memaksanya masuk agama Islam. Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama.
Abdullah Yusuf Ali di dalam bukunya The Meaning of the Holy Quran, menafsirkan bahwa pemaksaan tidak sesuai dengan agama, karena Pertama, agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak dan agama tidak akan ada gunanya apabila dijalankan dengan pikiran dan hati yang terpaksa. Kedua, kebenaran dan kesalahan telah begitu jelas ditunjukan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan. Dan Ketiga, perlindungan Tuhan berlangsung terus menerus dan kasih sayang Tuhan adalah memberi petunjuk kepada manusia dari kegelapan kepada cahaya kebenaran.
Akan tetapi perlu ditekankan bahwa ayat ini tidak mengajarkan tentang pluralisme agama. Jelaslah bahwa ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 256 menetapkan dan menjelaskan bahwa telah absolut bahwa kebenaran hanyalah Islam dan kebatilan datangnya dari yang bukan selain Islam. Orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya akan menjadi seorang Muslim tanpa perlu dipaksa. Ibnu Katsir menyatakan bahwa “tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang dibutakan hatinya oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam.” Maka jelaslah bahwa tidak memaksa non muslim untuk memeluk agama Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka ataupun bukan membenarkan semua agama yang ada karena telah jelas sisi kebenaran bagi para pencarinya.
Jadi, jelaslah bahwa yang diinginkan oleh Allah terhadap umat Islam adalah menciptakan suasana yang penuh dengan kedamaian di bumi-Nya. Kemajemukan yang ada di dunia, termasuk kemajemukan dalam keyakinan adalah sunatullah yang tidak bisa tampik. Agama, seyakin apapun kita dan sekuat apapun kita memeluknya, tidak bisa menjadi alasan untuk menghina dan menjatuhkan agama lain. Dan seharusnya agama menjadi hal yang positif dalam membangun peradaban bumi, dimana setiap insan didunia ini hidup bersama dalam damai.
- Ayat-Ayat mengenai kebebasan beragama
Melalui Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan tentang kebebasan beragama. Penjelasan tentang kebebasan beragama terdapat dalam ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut memaparkan tentang pengakuan beragama selain Islam dan agama yang benar di sisi Allah menurut Al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan kebebasan beragama ini selain Q.S. Al-Baqarah ayat 256 yaitu Q.S. Yunus ayat 99, yang berbunyi:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.
Kedua ayat ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Ayat ini pun bermakna tidak ada paksaan dalam agama Islam karena manusia sudah memiliki akal dan pikiran untuk memilih yang mana yang benar. Serta bermakna satu-satunya agama yang benar ialah Islam. Manusia memiliki fitrah dan akal. Allah memberikan kebebasan karena Allah ingin menguji manusia apakah hamba-Nya ini dapat mendengarkan kata hatinya yang paling dalam atau mengikuti pengaruh ruang dan waktu yang ada disekitarnya. Kalau seseorang mendapatkan ilmu atau keterangan yang sesuai dengan batinnya, bebas dari paksaan atau tekanan yang ada dilingkungannya, ia akan mengikuti hal tersebut.
Ayat ini diperjelas lagi dengan Tafsir Ibnu Katsir yang mana Allah adalah yang Mahaadil dalam segala sesuatu, dalam memberi petunjuk kepada siapa yang berhak ditunjuki dan menyesatkan siapa yang patut disesatkan . Dengan kata lain, jika Allah SWT berkehendak agar semua makhluknya beriman kepada-Nya, hal itu pasti bisa saja dilakukan dengan mudah oleh Allah. Ia telah menghendaki seluruh alam semesta beserta isinya secara seimbang, ada yang hak dan bathil, baik dan buruk, dan lain sebagainya. Allah memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi, Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Jika Allah tidak mengizinkan hal itu terjadi, sekuat apapun Islam dipaksa untuk dianut, tidak akan hal itu berhasil dan berjalan dengan baik. Dan misalnya pemaksaan untuk masuk kedalam agama Islam itu berhasil, tetap saja Allah tidak akan menerima hal itu, karena Allah tidak menghendaki iman yang diawali dengan paksaan.
Manusia dengan rasio dan perasaannya dapat menilai dan menangkap kebenaran-kebenaran yang Allah sampaikan melalui Nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Allah SWT memberikan opsi apakah makhluk-Nya akan memilih petunjuk yang paling benar yaitu Islam ataupun memeluk agama lain, keseluruhannya diserahkan kepada Hamba-Nya. Agama yang benar adalah agama yang ajaran-ajarannya tidak bertentangan dengan kebenaran al-Qur’an dan semua wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Agama semacam ini adalah Islam, satu-satunya agama yang telah Allah gariskan kepada Nabi Nuh as, sampai dengan nabi Muhammad saw. Dan dengan kebebasan memilih opsi tersebut, Allah akan menghisab pertanggungjawaban dari apa yang telah dipilih oleh manusia. Mereka yang sesat akan mendapatkan balasan, yaitu dineraka sedangkan mereka yang taat dengan berada dalam agama Islam akan mendapatkan tempat disurga.
Surat kedua yang mejelaskan lebih lanjut terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 29, yang berbunyi:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Dilihat dari tafsiran dari al – Maraghi, barang siapa yang mau beriman kepada-Nya dan masuk kedalam lingkungan orang-orang yang beriman, dan tidak mengajukan alasan dengan sesuatu yang tidak menjadi keberatan, maka berimanlah. Dan barang siapa yang mau kafir dan membuangnya kebelakang punggungnya, maka urusannya diserahkan kepada Allah, dan aku (Muhammad) takkan mengusir orang yang mengikuti kebenaran dan beriman kepadaAllah; dan kepada apa yang telah diturunkan kepadaku, hanya karena menuruti keinginan-keinginan nafsumu. Sesungguhnya Rasululah tak perlu mengikuti kemauan mereka dan ia tak peduli denganmu atau dengan iman mereka. Dan urusan itu terserah pada tiap manusia, dan ditangan Allah-lah taufik, pengabaian, kehancuran maupun kesesatan. Seseorang tidak mendapatkan manfaat dari imannya orang beriman, dan takkan mendapatkan bahaya akibat kekafiran orang-orang kafir.
Pendapat lain dari Ibnu Katsir yaitu, Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad saw, katakanlah, hai Muhammad kepada ummat manusia , apa yang aku bawa kepada kalian dari Rabb kalian adalah kebenaran yang tidak terdapat keraguan didalamnya. Penggalan ayat ini merupakan ancaman keras. Dapat ditarik kesimpulan dari tafsiran-tafsiran diatas bahwa Allah telah memberikan kebenaran, yang mana kebenaran itu adalah agama Islam.
- Solusi Al-Qur’an mengenai Kebebasan Beragama
- S. Al-Kafirun ayat 6
لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (QS al-Kafiruun: 6).
Imam Bukhari mengatakan bahwa dikatakan: Untukmulah agamamu. (Al-Kafirun: 6) Yakni kekafiran. dan untukkulah agamaku. (Al-Kafirun: 6) Yaitu agama Islam, dan tidak disebutkan dini, karena akhir semua ayat memakai huruf nun, maka huruf ya-nya dibuang.
Pendapat yang pertama adalah sebagaimana yang telah kami kemukakan di atas. Pendapat yang kedua adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lain-lainnya dari ulama tafsir, bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya: aku tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (Al-Kafirun: 2-3) Ini berkaitan dengan masa lalu, sedangkan firman-Nya: Dan aku bukan penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukanpulapenyembah Tuhan yang aku sembah. (Al-Kafirun: 4-5) Ini berkaitan dengan masa mendatang. Dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa hal tersebut merupakan taukid (pengukuhan kata) semata.
Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik secara terang-terangan bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada selain Allah yang mereka lakukan secara lahir dan batin. Surat tersebut berisi seruan bahwa orang musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah, yaitu mereka tidak beribadah murni hanya untuk Allah. Ibadah yang dilakukan orang musyrik dengan disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah. Kemudian ayat yang sama diulang kembali dalam surat tersebut. Yang pertama menunjukkan perbuatan yang dimaksud belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat yang telah ada (lazim). Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Penutup
Demikianlah prinsip kebebasan beragama dalam Islam. Tidak ada kewajiban dalam Islam untuk memaksa orang agar beriman kepada Allah. Yang ada, Umat Islam hanya diwajibkan untuk ber- dakwah sesuai yang digambarkan QS. 16: 125. Perihal dakwah itu diterima atau tidak oleh orang-orang yang diajak adalah urusan Allah SWT.
Prinsip La Ikraha Fi Al-Din ini menurut Quraish Shihab, hanya berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Tetapi kalau seseorang sudah menentukan pilihan kepada Islam misalnya, maka tidak ada kebebasan memilih lagi, dia harus patuh dan taat menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Tidak ada lagi kebebasan memilih melaksanakan sebagian ajaran dan menolak sebagian ajaran yang lain. Ada yang berkata bahwa dia bebas mau taat atau tidak itu sudah kehendaknya, karena manusia sudah dapat membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam ayat 256 surat al-Baqarah dan ayat-ayat selanjutnya. Dalam prinsip ini manusia bebas menentukan dan memilih agama yang akan dijadikan panutan, bukan bebas memilih antara mau melaksanakan atau tidak sebagian ajaran agama yang sudah menjadi pilihan. Itulah sebabnya, setiap ketaatan dalam Islam yang mendapat balasan pahala dan setiap pelanggaran mendapat sanksi.
Kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia. Hal ini langsung bersumber kepada sang pencipta. Islam menentang kekerasan dalam bentuk apapun. Dalam usaha meyakinkan orang lain mengenai kebenaran ajaran Islam tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau kekerasan. Sikap saling menghormati dalam Islam, tidak terbatas hanya pada agama saja, melainkan juga mencakup ras, suku, etnis, dan lain sebagainya. Kebebasan yang diberikan diterakan dalam al-Qur’an bukanlah prinsip sebebas-bebasnya akan tetapi prinsip bagaimana manusia dapat membawa dirinya kedalam keputusan yang tepat.
Penulis adalah Alumni Program Kaderisasi Ulama Angkatan XI Universitas Darussalam Gontor
Daftar Pustaka
- Harris, Khalif Muammar. Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tauhid Pada Zaman Kekeliruan, (Kuala Lumpur: Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation, 2013).
Aasi, Ghulam Haider. Muslim Understanding of Other Religions: Ibn Hazm’s Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, (Pakistan: Islamic Research Institute, 2009).
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi, terj. Hery Noer Aly, et al., (Semarang: Tohaputra, 1988).
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, terj. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000).
As-Sabuni, Ali. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, jilid I.
As-Suyuthi, Al- Imam Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. Al-Jami’ as Shaghir Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
Cassese, Antonio. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, terj. A. Rahmad Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Departemen Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar-Umat Beragama JILID 1, (Jakarta: Departemen Agama, 2008).
Hamdi, Ahmad Zainul dan Muktafi. Wacana dan praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia, (Jakarta: Daulat Press, 2017).
HAMKA. Tafsir Al-Azhar Juzu XXI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juzu 9, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993)
Husaini, Adian. Liberalisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 2015).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1, (Semarang: Widya Karya, 2005).
- Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992).
Madjid, Nurcholish. Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2008).
Oxford Advance Learner’s Dictionary, 8 Ed, (Oxford: Oxford University Press, 2005).
Salim, Fahmi. Tafsir Sesat, (Jakarta: Gema Insani, 2013).
Sartini, “Etika Kebebasan Beragama”, Journal Filsafat, Vol. 18 No.3, Desember 2008.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq ‘Alu. Tafsir Ibnu Katsir, ter. M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009).
Tafsir Ibn Kasir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim. (Beirut: Dar-Thayyibah li An-Nasyr wa at-Tawzi, 1999).
Thalib, Muhammad. Seputar Anggapan Semua Agama benar, (Jogjakarta: Ma’alimul usrah Media, 2007).
Universal Declaration of Human Rights.