Ulumul Qur’an, Ilmu Penjaga al-Qur’an

Oleh: Bahrul Ulum

Inpasonline.com-Para ulama sepakat bahwa tidak sembarang orang boleh menafsirkan al-Qur’an. Untuk memahami kitab suci tersebut dibutuhkan kaidah yang sahih agar tidak keliru memahaminya.
Salah satu kaidah yang harus dikuasai yaitu kaidah bahasa Arab. Ini artinya, jika seseorang ingin memahami al-Qur’an dengan benar, diantaranya harus menguasai ilmu Nahwu, Sharaf, Balagha yang meliputi Maani, Bade’, Bayan dan lain-lain.
Selain itu juga dibutuhkan pemahaman tentang Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya al-Qur’an), kodifikasi dan tertib penulisan al-Qur’an, ayat-ayat makkiyah, madaniyah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Memahami ilmu-ilmu tersebut sifatnya mutlak, sebab jika tidak, penafsirannya terhadap Al-Qur’an pasti keliru.
Ilmu-ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an seperti di atas disebut ilmu Ulumul Qur’an. Secara lebih jelas As-Suyuti mendefinisikan Ulumul Qur’an sebaigai ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan lafadz-lafadznya maupun hukum-hukumnya, dan sebagainya (Manahil al Irfan fi Ulumul Qur’an II/4).
Para ulama sengaja membuat ilmu ini agar dalam memahami kalam Allah sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap al-Qur’an. Disamping itu agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
Sebenarnya, ruang lingkup pembahasan ilmu ini sangat luas. Dalam kitab al- Itqan, As-Syuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al-Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.
Sedang objek kajiannya menurut jumhur ulama mencakup berbagai segi yang berkaitan dengan al-Qur’an, selain ilmu-ilmu bahasa Arab juga ilmu-ilmu agama (ushuludin) karena yang dibahas membicarakan al-Qur’an sebagai i’jaz (mukjizat) dan hidayah (petunjuk).
Orang yang menguasai ilmu ini akan mampu menyelami apa yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki syariah (maqosidus syari’ah). Selain itu ilmu ini juga bermanfaat menggali nilai-nilai dan khazanah keilmuan yang ada dalam al-Qur’an.
Adapun mempelajarinya termasuk fadhu kifayah(kewajiban kolektif). Namun menjadi fadhu ‘ain bagi para juru dakwah, dosen Ulumul Qur’an, dan para muffasir.

Melahirkan Banyak Tokoh
Ilmu ini menjadi disiplin ilmu sendiri berdasar kebutuhan membenahi al-Qur’an dari segi keberadaana dan pemahamanya.
Namun pada dasarnya ilmu ini sudah ada sejak zaman Nabi Muahmmad. Sebagai penerima wahyu, Rasulullah diberi otoritas oleh Allah SWT untuk menerangakan (menafsirkan al-Qur’an). Setiap menerima dan menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabat, selama itu pula beliau menerangkan isi kandungannnya, terutama ketika timbul pertanyaan-pertanyaan.
Para sahabat yang paham bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, bila menemukan kesulitan memahami ayat-ayat tertentu, mereka menanyakan langsung kepada Rasul.
Jawaban Rasul ini kemudian dicatat atau dihafalkan oleh sebagian sahabat. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai orang dianggap layak menafsirkan al-Qur’an seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas setelah wafatany Rasulullah.
Saat wilayah Islam semakin luas, terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab. Ini juga akan mempengaruhi cara membaca al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut al-rasm al-Utsmani.
Baru pada abad kedua Hijriyah, para ulama memberikan prioritas kepada ilmu tafsir karena fungsinya sangat besar untuk memahami al-Qur’an agar tidak menyelisihi pemahaman yang benar.
Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H).
Selanjutnya pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir, Ibn jarir at-Thabari (310 H), yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Sedang Ibnu al-Marzubah (wafat 309 H) membahas al-Qur’an secara integral dan komprehensif dalam kitabnya al-Hawi fi Ulum al-Qur’an.
Sampai abad ke-13 ilmu ini terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an. Diantara sekian banyak tokoh, Jalaluddin al-Bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang oleh Suyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu al-Qur’an.
Sedang Syuyuthi (991 H) sendiri menulis kitab al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. yang memuat 102 macam ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.
Namun, al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Dalam kitab ini dibahas 80 macam ilmu-ilmu al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam Ulumul Qur’an.
Bersamaan dengan perkembangan jaman, para ulama masih memperhatikan ilmu ini hingga sekarang. Bahkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari al-Qur’an kian hari semakin beraneka ragam.
Setiap kali al-Qur’an dibahas dari aspeknya manapun, selama itu pula akan lahir ilmu al-Qur’an. Karenanya tidak mengherankan jika ilmu ini selalu up to date.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *