Oleh: Muhammad Faqih Nidzom
Inpasonline.com-Selayaknya perjalanan manusia, pasti ada tantangan yang dihadapinya. Begitu pula dengan agama, budaya, dan peradaban, dimana pun berada. Namun ada yang menarik dari analisa Prof. SM. Naquib al-Attas. Ia menulis, diantara banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, ia mengidentifikasi tidak ada yang lebih serius dari dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh Peradaban Barat hari ini. Apa dan bagaimana maksudnya? Inilah tema penting yang disampaikan Dr. Syamsuddin Arif di kelas Islamisasi Ilmu bersama mahasiswa Doktoral Unida Gontor, 23-02-2019.
Dr. Syam –begitu beliau akrab dipanggil- menyebut, apa yang dilakukan Prof. al-Attas ini layaknya seorang dokter spesialis terhadap pasiennya. Ia berikhtiyar mendiagnosa penyakit yang diderita umat manusia saat ini, untuk kemudian diberi resep obatnya yang sesuai, agar sembuh dengan segera. Menurutnya, sakit tersebut adalah sakit intelektual, sakit akal. Prof. Al-Attas menulis, ”Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu. Sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat”.
Prof. Al-Attas kemudian menguraikan beberapa poin mengapa hal itu bermasalah. Menurutnya, hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat pemahaman yang keliru. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia. Ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ’ilmiah’ dalam hal metodologi serta menganggap keraguan sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam; hewa, tanaman, dan mineral. (Lihat di bukunya Islam dan Secularism, ISTAC, hal. 133 atau Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar, hal. 169)
Untuk itulah Prof. Al-Attas menegaskan bahwa ilmu pengetahuan modern itu tidak netral. Ia bukan ilmu sejati, karena telah disusupi watak dan kepribadian, kebudayaan dan peradaban Barat, dipenuhi dengan semangatnya, dan disesuaikan dengan tujuannya. Ini menunjukkan bahwa ilmu sekarang merupakan cerminan worldview sekular, dan diperkuat oleh ruh dan semangat dualisme –suaatu pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran-, rasionalisme, empirisisme, naturalisme, skeptisisme, relativisme dsb yang kesemuanya itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Ini yang seperti disajikan dan disampaikan dengan bungkus yang halus, menarik, bersamaan dengan ilmu yang benar sehingga orang tanpa sadar menganggap secara keseluruhannya merupakan ilmu yang benar. Dr. Syam mengibaratkan seperti penjual yang menjajakan barang KW, dikemas dan dipromosikan sedemikian rupa sehingga tampak menarik. Celakanya, karena pembeli tidak tahu barang yang asli dan benar, ia pun menyangka yang ia beli adalah barang asli.
Dalam melakukan diagnosa terhadap virus tersebut, Al-Attas menawarkan resep atau solusi berupa Islamisasi ilmu. Solusi ini bermakna pembebasan manusia dari tradisi yang berdasarkan pada magis, mitologi, animism, kebangsaan, serta kebudayaan yang bertentangan dari Islam dan kemudian pembebasan Muslim dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakekat diri atau jiwanya. Dengan demikian, Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asal atau fitrahnya.
”Islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition opposed to Islam, and then from secular control over his reason and his language…We have defined the nature of Islamization as a liberating process”. (Lihat juga uraiannya di Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of SMN al-Attas, hal. 313, dan di Adnin Armas, Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu, hal. 10-17).
Jadi, mengislamkan ilmu bukan berarti labelisasi sebab tidak dimaksudkan bahwa semua yang berasal dari Barat harus ditolak. Menurut Al-Attas bagi seseorang yang ingin merealisasikan islamisasi ilmu perlu baginya untuk memenuhi pra-syarat yang ada, yakni harus mampu mengidentifikasi worldview Islam serta mampu memahami budaya dan peradaban Barat. Dengan itu proses islamisasi baru dapat dilakukan sebab islamisasi ilmu melibatkan dua proses yang saling terkait.
Pertama, mengisolir dan memeriksa unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dengan teliti dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Jika tidak sesuai dengan worldview Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Kedua, memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang dinilai relevan. Secara sederhana bisa digambarkan, teknis Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer akan berfokus pada Islamisasi asumsi dasar, presupposisi dan metodologi kajian sains dan ilmu-ilmu sosial.
Terkait sifat ketidaknetralan ilmu pengetahuan di atas, jika kita telaah, Prof. Al-Attas bukanlah satu-satunya yang mengutarakannya. Filosof dari Jerman, Jurgen Habermas, dalam karyanya Erkenntnis und Interesse atau Knowledge and Human Interest -dalam terjemahan Inggrisnya- pun menyebut hal yang sama. Ia menyoal saintisme, dimana di satu sisi sains itu berguna, namun kemudian dilihat sebagai satu-satunya solusi, dan lainnya tidak. Habermas juga menyoal adanya subyektifitas pada saintis, karena yang obyektif adalah objek sains itu sendiri. Seperti alam semesta, sebagai objek dia obyektif dan tidak masalah, adapaun saintis, tentu dia memiliki nilai-nilai subyektifitas, berupa keyakinan dasar dan ideologi untuk melihat dan menginterpretasi objek tadi.
Dr. Syam menyebut, analisa Habermas di atas, selain melihat aspek filosofis ilmu, juga berdasarkan fakta historis yang terjadi di Negaranya. Ia mengkritisi para saintis yang bekerja untuk Nazi, yang mengembangkan keilmuan atas dasar ideologi dan kepentingan Nazi. Sains dan terapannya kemudian dijadikan sebagai senjata untuk membantai kaum Yahudi, menggunakan gas beracun dan kremasi. Ini tentu semakin memperkuat pernyataan bahwa ilmu itu tidak netral atau bebas nilai.
Filosof ilmu lainnya, Thomas Kuhn, juga berpendapat sama. Menurutnya ilmu tidak bebas nilai, karena perkembangan ilmu selalu dimulai dengan pertimbangan presupposisi teoritis atau asumsi dasar, yang dalam bahasa Prof. Attas tadi disebut dengan worldview. Sedangkan Imre Lakatos, menyebutnya dengan hard-core programme, yaitu nilai konsiderasi yang turut memengaruhi dan mengarahkan ilmuan dalam setiap aktifitas ilmiah dan teknologinya, secara langsung maupun tidak langsung, terasa atau tidak. Nilai itu bisa juga berupa finansial-material, ekonomi, kepentingan dan ideologi negara, pemilik modal dan lainnya.
Untuk semakin mempertegasnya, Dr. Syam mengemukakan pendapat seorang antropologis Inggris, Tim Ingold. Tim menyebut telah terjadi korupsi pada ilmu pengetahuan modern, “modern science is corrupted”. Saat ini, ilmu terlalu tunduk pada metodologi positivistik semata, dan hanya mengabdi pada kepentingan-kepentingan komersil dengan orientasi keuntungan pribadi. Menurutnya, riset dikembangkan untuk para milyarder pemilik modal.
Dengan begitu, yang diuntungkan dari keilmuan yang semacam ini bukanlah kebenaran, melainkan kepentingan tertentu. Pada perkembangannya, dari orientasi ini muncullah banyak krisis yang ditimbulkan. Diantaranya; krisis demografi (kependudukan), yang ditunjukkan dengan angka kelahiran yang turun tiap tahunnya dan jumlah orang dewasa yang semakin membesar. Krisis ini juga melanda masyarakat yang ditunjukkan dengan maraknya fenomena disintegrasi dalam keluarga dan antar warga. Serta adanya dehumanisasi, yaitu penghilangan unsur-unsur sakralitas pada manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Selain itu, sains modern juga mengakibatkan krisis lingkungan. Bisa kita lihat bagaimana eksploitasi alam oleh industri yang berakibat penggudulan hutan dan pemanasan global, dan berpengaruh pada cuaca. Belum lagi dengan maraknya sampah plastik, bekas tambang yang menganga menjadi danau. Data mengenai ini bisa dengan mudah kita akses di situs-situs berita dan lembaga-lembaga penelitian.
Demikianlah, analisa dan kritik dari para tokoh seperti al-Attas, Habermas, Kuhn dan Tim Ingold semestinya kita telaah dengan seksama. Kesemuanya itu semakin menegaskan bahwa sains modern ini tidak netral, dan memiliki implikasi epistemologis yang serius. Untuk itulah kita harus kritis, cermat dalam memilah dan memilih mana yang sesuai dengan Islam sehingga bisa diterima, dan mana yang tidak sesuai sehingga perlu diisolasi.
Jika kita lihat, kesemua tokoh tadi memiliki kesimpulan yang sama terkait ketidaknetralan ilmu, meski tidak saling bertemu dan dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Sedemikian itu karena mereka berpikir, menelaah dan mendiagnosa problem yang menyerang kemanusiaan, untuk kemudian memberikan solusi berupa ide dan gagasan-gagasan nyata. Ini barangkali nilai yang bisa kita ambil dari mereka; kepedulian pada manusia dan kemanusian, kejernihan berpikir, kekuatan meganalisa, dan ketepatan solusi.
Akhirnya, dari beberapa pemaparan ini, Dr. Syam berkesimpulan bahwa sudah mendesak bagi kita memerlukan sains Islam. Ia menyebut setidaknya dengan tiga alasan; bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang berkembang ini tidak netral, ia disusupi oleh ide sekularisme yang menjangkiti berbagai bidang ilmu, dan karenanya ia sering disalahpahami makna dan tujuannya. Ia pun mengemukakan urgensi penyusunan konsep tentang sustainability (berkelanjutan dan tidak merusak) dalam Islam, sebagai cerminan dari Worldview Islam dan langkah nyata dalam membumikan gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Wallahu A’lam.