Nasionalisme Adil dari Ulama

Oleh: Ahmad Kholili Hasib*

Inpasonline.com-George Mc Turner Kahin pada tahun 1970 menulis buku menarik berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia. Di Indonesia, buku tersebut disambut dengan hangat. Tulisan Mc Turner ternyata sangat berbeda dengan sejarawan Barat. Ia dengan berani mengajukan dua tesis tentang paham nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme Indonesia didorong oleh semangat keislaman dan Nasionalisme Indonesia mendorong perkembangan bahasa Melayu.

Tentu saja, tesis Mc Turner itu pro Islam, dan melawan mainstream penulis Barat tentang Indonesia. Tetapi Mc Turner jujur. Ia sejarawan Barat yang hitam-putih. Menulis fakta apa adanya. Kesarjanaannya tidak mau dipengaruhi ideologi atau kepentingan apapun.

Prof. Ahmad Mansur Suryanegara mengapresiasi pendapat Mc Turner ini. Dalam karyanya Api Sejarah 1, ia mengutip analisis George Mc Turner Kahin:

“Kaphin (George Mc Turner Kahin) lebih menekankan faktor utama penyebabnya (nasionalisme) adalah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia. Ditandaskan bahwa  terbentuknya integritas nasional dan tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia dipengaruhi oleh faktor utama berikut ini: Pertama,terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia. Agama Islam dianut oleh 90 % penduduk dan tidak hanya dianut oleh penduduk Pulau Jawa, tetapi juga dianut oleh penduduk luar Jawa. Kesamaan keyakinan Islam ini, menjadi dasar terbentuknya solidaritas perlawanan terhadap Keradjaan Protestan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah yang melancarkan Politik Kristenisasi.

Kedua, Islam tidak hanya sebagai agama yang mengajarkan perlunya membangun jamaah. Islam juga sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah asing Barat. Seperti yang telah dikemukakan oleh W.F. Wertheim, ketika terjadi penetrasi imperialis Katolik Portugis di Indonesia, mendorong raja-raja Hindu dan Buda, masuk Islam. Hal ini akibat invasi imperialis Katolik Portugis atas India, merusak kehidupan masyarakat Hindu dan Budha. Selanjutnya, proses pengaruh Islam semakin kuat dan meluas ketika terjadi penindasan imperialis Protestan Belanda menggantikan imperialis Katolik Portugis.

Ketiga, faktor lain yang mendorong terbentuknya integritas nasional adalah adanya perkembangan Bahasa Melayu pasar berubah menjadi Bahasa Persatuan Indonesia. Perubahan ini terjadi sebagai akibat kebijaksanaan Kerajaan Protestan Belanda dalam upaya melestarikan penjajahannya dengan menciptakan rasa rendah diri (inferiority) umat Islam Indonesia.

Kesimpulan dari pendapat ini adalah, gerakan nasionalisme itu berasal dari para ulama. Semangatnya adalah persatuan Indonesia. Karena, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Jadi, semangatnya adalah mempersatukan Muslim Indonesia. Kata pendiri NU, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, jika umat Muslim bersatu, maka Indonesia akan bersatu. Faktornya ada pada Islam. Inilah asal-usul gerakan nasionalisme Indonesia.

Hal ini bertolak belakang dari pandangan kolonialis. Para sarjanan kolonial Belanda yang memiliki melihat dari anggle negatif terhadap slam. Bahkan justru ditulis Islam biang perpecahan. Ternyata, pendapat ini diikuti sebagian aktivis pergerakan Indonesia.

Sebut saja Boedi Oetomo. Pada tahun 1928 Boedi Oetomo mengadakan kongres di Surakarta. Anehnya, salah satu keputusan kongres tersebut adalah menolak cita-cita Persatuan Indonesia. Padahal, gerakan Persatuan Indonesia telah digagas oleh para pemimpin Muhamadiyah, NU, al-Irsyad, Mathaul Anwar, Jamiat Kher dan lain-lain.

Jadi sesungguhnya dalam pandangan para ulama ormas-ormas Islam dahulu, kebangsaan itu diperbolehkan atau tidak bertentangan dengan agama. Karena sumbernya atas dasar persaudaraan agama, jadi tidak dipertentangkan dengan agama.

Bagaimana semangat kebangsaan itu digerakkan dan bersumber dari ulama – santrai? Dari aspek historis, ternyata wilayah rantau Nusantara-Melayu telah berabab-abad telah dipengaruhi oleh Islam. Bahasa Indonesia, yang merupakan rumpun bahasa Melayu, telah menyerap banyak dari bahasa Arab – Islam, tradisi dan kebudayaan mayoritas juga tidak lepas dari Islam.

Narasi sastra Jawa dahulu, ternyata juga telah dipengaruhi oleh Arab Islam. Pada masa kerajaan Mataram Islam, seorang wanita menulis karya berjudul Serat Yusuf. Kata serat dari bahasa Arab yaitu surah. Karya Serat Yusuf ini sangat unik. Serat ini berbahasa Arab, namun ditulis dengan aksara Jawa (Ho No Co Ro Ko…). Di dalam karya ini tentu saja penulisnya berusaha mengadaptasi aksara Jawa dalam bahasa Arab. Sehingga konon, beberapa kata dalam bahasa Jawa telah menyerap istilah Arab, sebagaimana telah terjadi dalam bahasa Melayu. Bahasa Jawa yang sebelumnya banyak dipengaruhi Hindu-Budha, pada zaman kerajaan Islam mengalami perubahan-perubabahan. Menurut ahli, bahasa Jawa mengalama 15 kali perubahan. Pada masa Kerajaan Mataram Islam, bahasa Jawa mengalami perubahan ke-13 kalinya.

Berbicara paham kebangsaan pada masa kerajaan-kerajaan Islam, bisa disimak dalam Hikayat Aceh sebagai contoh. Prof. Tatiana Denisova menulis: “Dalam Hikayat Aceh terdapat ayat pujian-pujian terhadap negara Aceh Darussalam dan terhadap sultan Aceh. Di mana sultan Aceh disebutkan sebagai baginda yang paling masyhur di dunia Islam (Wan Mohd Nor Wan Daud, Tatiana Desiova, Khalif Muammar,Patriotisme dan Ketatanegaraan, hlm. 51).

Dalam Tuhfatun Nafis juga dikutip pernyataan rasa kebangsaan orang Bugis. Tatiana menulis: “Orang Bugis mengakui diri sebagai orang yang sudah menjadi orang Melayu dan anak-anak Bugis sudah menjadi anak-anak Melayu. Bugis sudah menjadi darah daging dan bercampur baur dengan suku Melayu. Maka sekarang sudah jadi dagingnya dan anak cucu kita sudah menjadi anak cucunya (orang Melayu).

Sampai pada akhirnya, telah menjadi prinsip orang Melayu bahwa menjadi Muslim (di wilayah kepulauan Melayu) berarti telah menjadi Muslim. Melayu itu Muslim. Bila kelar dari Islam, hilang ke-Melayu-annya.

Agaknya, mirip dengan pernyataan Wong Jowo Ilang Jowone (orang Jawa hilang Jawane). Pernyataan ini ditujukan kepada orang Jawa yang tidak bertata krama, tidak berakhlak, tidak beradab.

Begitu pula suku-suku lain di Nusantara yang sangat lekat identitas sukunya dengan Islam. Hal ini menunjukkan kuatnya akar Islam ke dalam suku-suku di Nusantara. Sehingga tidak terpisah.

Maka atas dasar itulah, lahir rasa kebangsaan, alias rasa persaudaraan Islamnya. Bukan bermakna, dan para ulam pencentus gerakan kebangsaan itu tidak berdasarkan ta’asub (fanatik). Nasionalisme yang bukan ghuluw ekstrim. Mereka tidak pernah merasa sebagai Indonesia tetapi tidak merasa terlukai ketika bangsa lain dijajah.

Sikap seperti itu disebut nasionalisme adil. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskannya, patriotisme adil itu praktik patriotik tidak terbatas ketika seseorang itu berada di dalam negaranya sahaja tetapi juga ketika di luar negara di mana dia harus menghormaati undang-undang negara. Pratiotisme adil, lanjur Prof. Wan, yaitu membawa kebaikan menyeluruh mempertimbangkan pengalaman sejarah dan tradisi negara itu sejak di mengenali makna dirinya yang terus berperanan hingga ke masa ini. Dalam konteks kita, pengalaman sejarah lama penting difahami dengan betul. Tetapi lebih penting lagi ialah pengalaman sejarah Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia khususnya di negara ini karena pengaruhnya yang sangat luas dan mendalam pada setiap aspek kehidupan pribadi, masyarakat, kesenian dan kenegaraan sebilangan terbesar rakyat negara ini sejak dari abad ke-9 M hingga hari ini (Wan Mohd Nor Wan Daud, Tatiana Desiova, Khalif Muammar,Patriotisme dan Ketatanegaraan, hlm. 9).

Jadi, negara ditempatkan secara adil. Tentu saja agama berada di atas agama. Rumusan Pancasila seharusnya menjadi landasannya. Di sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun sila Persatuan Indonesia, yang menunjukkan nasionalisme Indonesia berada pada sila ke-3. Sehingga, taat pada Tuhan Yang Maha Esa itu didahulukan. Sedangkan taat pada negara itu harusnya didasarkan atas ketaatan pada Tuhan. Jadinya, ini negara religius, bukan sekuler seharusnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *