Makna Akal dalam Perspektif Semantik al-Qur’an

Written by | Studi Al Qur'an & Al Hadits

Oleh: Mohammad Ismail

1Inpasonline.com-Salah satu kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lain ialah akal. Dengan akal inilah manusia mampu menjadi makhluk yang mulia. Tapi, dengan akal juga manusia pun bisa menjadi hina jika akal tidak dibimbing wahyu. Dalam cara pandang Barat, akal diartikan sebagai intellect (intelek/kecerdasan) dan reason (rasio/akal). Menurut Zainal Abidin dalam Filsafat Manusia (2009:242), rasio dalam pandangan Barat merupakan alat yang sangat vital, sentral, serta paling utama dalam membentuk peradaban manusia. Akal berdiri sendiri tanpa penyempurnaan wahyu ilahiyah.

Pemahaman seperti inilah yang tersebar saat ini sehingga muncullah berbagai paham Barat seperti sekularisme, dualisme, humanisme, dan rasionalisme. Semua bermuara pada pemahaman terhadap pikiran yang khas cara pandang Barat.

Cara pandang Barat sangat berbeda dengan cara pandang Islam. Dalam Islam semua cara pandang harus merujuk pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dan untuk mengungkap makna suatu konsep dapat dilakukan dengan analisa semantik. Yaitu analisa makna suatu bahasa yang digunakan sesuai dengan makna bahasa dan makna konteks yang terjadi. Untuk itu, berikut ini akan dibahas tentang konsep berpikir dalam perspektif semantik al-Qur’an.

Al-‘Aql Sebagai Dimensi Berpikir

Untuk mengetahui makna akal, kita dapat menganalisa melalui makna aslinya. Dalam al-Mu’jam al-Wasith(p. 616-617), kata akal disebutkan dengan istilah al-‘Aql. Kata tersebut merupakan salah satu bentuk derivasi dari akar kata “aqala’ yang berarti “memikirkan hakekat di balik suatu kejadian” atau rabatha (mengikat). Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, kata aqala seringkali digunakan untuk menunjuk suatu “pengikat unta” (aql al-ibil). Selain itu, kata ‘aql juga memiliki makna al-karam (kemuliaan), maksudnya adalah orang yang menggunakan akalnya sesuai petunjuk Allah Swt disebut sebagai orang yang berakal (‘aqil) dan ketika ia istiqamah dengan hasil pemikirannya yang benar maka ia menjadi mulia dengan hakekat-hakekat yang diketahuinya tersebut.

Dalam Oxford, Advanced Learner’s Dictionary(1995, p. 970), akal (reason) seringkali diartikan dengan “the power of the mind to think, understand”atau kemampuan otak untuk berpikir. Dalam perspektif ini terlihat perbedaan secara konseptual. Berbeda dengan bahasa al-Qur’an yang mendefiniskan akal sebagai kemampuan hati untuk berpikir. Oleh sebab itu, al-Qur’an seringkali menggunakan istilah“qulubun ya’qilun biha dan bukan “dimaghun ya’qilu”.

Perbedaan tersebut tentu tidak dapat dianggap sebagai hal yang sepele, sebab antara hati (qalb) dan otak (dimagh/mind) memang sangat berbeda secara esensi. Orang yang hatinya mati, dalam al-Qur’an disebut dengan “kafir”, sedangkan orang yang otaknya tidak berfungsi secara baik biasa disebut dengan istilah “orang gila”. Dan tidak semua orang kafir bisa disebut “orang gila”.

Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran, (p. 113-114). berpendapat bahwa antara akal (al-aql) dan hati (al-qalb) tidak dapat dipisahkan. Sebab substansi antara keduanya sama halnya substansi konsep an-nafs dan ar-ruh yang mana keduanya menunjuk hal yang satu yaitu jiwa. Adapun perbedaan yang terdapat antara konsep-konsep tersebut terletak pada posisi serta fungsi dari setiap esensi (jauhar) masing-masing.

Akal merupakan dimensi jiwa manusia yang tergolong unik. Menurut Baharuddin dalam Paradigma Psikologi Islami, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur’an (p. 165), akal manusia terletak pada dimensi psikis manusia dari aspek nafsiah yang berada di antara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu berada di antara dimensi al-nafsu dan dimensi al-qalb.Akal menjadi penengah kepentingan kedua dimensi yang berbeda tersebut. Dimensi al-nafsu memiliki kecenderungan kepada sifat kebinatanganan, sedangkan dimensi al-qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita rasa. Dengan adanya posisi yang demikianlah akal (‘aql) menjadi penghubung antara kedua dimensi tersebut. Dimensi ini berperan penting sebagai pikiran manusia.

Kajian tentang tempat akal memang selalu menarik untuk dibahas. Seorang pakar Fisiologi yang bernama Wilder Penfieldmencoba untuk meneliti dan ingin membuktikan aktivitas akal secara empiris bahwa kerja akal berjalan di rongga otak manusia. Ia melakukan penelitian tersebut kurang lebih dari tahun 1930 hingga 1975. Akan tetapi penelitian tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa kerja akal tidak terletak di dalam rongga otak. Penemuan tersebut telah diungkap secara jelas dalam bukunya yang berjudul The Mystery of the Mind. Adapun kesimpulan akhir yang digagas oleh Penfield bahwa akal bukan otak sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum selama ini.Namun akal merupakan sifat yang mampu mengawasi dan mengarahkan dalam waktu yang bersamaan. Kesimpulan ini senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Hakim Tirmidzi bahwa akal adalah sifat hati.

Dalam aspek lain, konsep akal berkaitan erat dengan konsep ilmu (al-‘Ilm). Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam Al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an(p. 346) mengungkapkan bahwa akal merupakan daya atau kekuatan yang berfungsi untuk menerima dan mengikat ilmu.Atas dasar itulah orang yang mampu menggunakan fungsi akalnya dengan benar disebut juga dengan alim (al-‘alim). Sebagaimana digambarkan dalam surat al-Ankabut : 43 bahwa orang yang alim ialah manusia yang mampu mengambil hakekat atau manfaat dari perumpamaan yang telah disampaikan Allah SWT.

Abd Ar-Rahman Hasan dalam karyanya Al-Akhlak Al-Islamiyyah wa Asasuha(p. 317) menjabarkan proses berpikir manusia. Menurutnya, berpikir berawal dari proses mengikat makna suatu pengetahuan, proses ini terdapat dalam konsep akal atau disebut juga dengan ta’aqqul yaitu proses mengikat makna suatu pengetahuan. Setelah seseorang mengikat pengetahuan maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang mengetahui (al-‘alim) suatu objek atau tanda-tanda (ayat), esensi ini terkandung dalam konsep ilmu (al’-ilm).

Ta’aqqul Sebagai Proses Mengikat Ilmu

Kata ta’aqqul ditinjau dari segi kebahasaan memiliki beberapa makna. Secara leksikal kata ta’aqqul berasal dari kata dasar ‘aqala yang memiliki makna berpikir. Kata ‘aqala dalam bentuk kata kerja (fi’l) berarti habasa yang berarti mengikat atau menawan. Orang yang menggunakan akalnya disebut dengan ‘aqil atau orang yang dapat mengikat dan menahan hawa nafsunya.(Lihat: Ibn Manzur, Lisan Al-‘Arab,p. 3046). Ibn Zakariya dalam Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah (p. 672)mengatakan bahwa semua kata yang memiliki akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, qaf, lam menunjuk kepada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan.Adapun konsep ta’aqqul membentuk derivasi seperti;‘aqala-ya’qilu sebagai kata kerja, ‘aql sebagai daya berpikir, ‘aqil menunjuk kepada orang yang berpikir. Sedangkan objek yang masuk akal seringkali disebut dengan ma’qul. Dan ta’aqqul berarti aktifitas berpikir.

Berdasarkan pengertian di atas dapat kita pahami bahwa orang yang berakal atau orang yang menggunakan daya akalnya dengan baik pada dasarnya ia adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Selain itu, orang yang berpikir juga akan dapat mengendalikan dirinya terhadap dorongan nafsu dan juga dapat memahami kebenaran agama. Sebab, orang yang dapat memahami kebenaran agama hanyalah orang yang tidak dikuasai oleh hawa nafsunya.

Di dalam al-Qur’an memang tidak pernah didapati kata ‘aql dalam bentuk ism (kata benda), akan tetapi selalu menggunakan kata kerja (‘aqala-ya’qilu). Dengan model penyampaian yang demikian, mungkin al-Qur’an ingin menjelaskan bahwa berpikir dengan akal adalah kerja dan proses mengikat ilmu pengetahuan secara terus-menerus dan bukan merupakan hasil perbuatan. Kata-kata tersebut berbentuk ‘aqala dalam 1 ayat, ta’qilun dalam 24 ayat, na’qilu dalam 1 ayat, ya’qilu dalam 1 ayat, dan ya’qilun dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat. Adapun kata-kata tersebut digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda, baik sebagai objek, klasifikasi dan berbagai macam topik pembicaraan yang berbeda.

Berdasarkan penggunaan ‘aql dalam berbagai susunannya dapat dijelaskan beberapa kelompok penggunaannya. Terdapat 14 ayat digunakan untuk memikirkan dalil dan dasar keimanan. (Lihat Q. S : Al-Baqarah : 76, 75, 170, 171. Al-Maidah : 103, Yunus 100, Hud : 51, Al-Anbiya’ : 67, Al-Furqan : 44, Al-Qasas : 60, Yasin : 62, Al-Zumar :43, Al-Hujurat : 4, Al-Hashr : 14). Kemudian dalam 12 ayat kata ‘aql digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta serta hukum-hukumnya (sunnatullah). (Lihat Q. S. Al-Baqarah : 164, Al-Ra’d : 4, Al-Nahl : 12, 67, Al-Mu’minun : 78, Al-Syu’ara’ : 28, Al-Qasas : 60, Al-Ankabut : 63, Al-Rum : 24, Al-Shaffat : 138, Al-Hadid : 170, Al-Mulk : 10). Dan dalam 8 ayat lainnya, kata ‘aql dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah SWT. (Lihat : Q.S Yusuf : 2, Al-Baqarah : 32, 44, Ali Imran : 65, Yunus : 16, Al-Anbiya’ : 10, Al-Zukhruf : 3, Al-Mulk : 10). Dalam 7 ayat, dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia di dunia. (Lihat : Q. S. Al-Hajj : 45-46, Yusuf : 109, Hud : 51, Al-Anfal : 22, Yunus : 10, Al-Nur : 61, Yasin : 68. ). Lalu dalam 6 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah SWT. (Lihat: Q. S. Al-Baqarah : 73, 242, Al-An’am : 32, Al-Syu’ara’ : 28, Al-Ankabut : 35, Al-Rum : 28). Dalam 1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral. (Q.S. Al-An’am : 151). Sedangkan dalam 1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, seperti shalat. (Q. S. Al-Ma’idah : 58).

Dari 49 ayat yang menggunakan kata ‘aql tersebut di atas dapat diartikan bahwa ‘aql digunakan untuk memahami berbagai obyek yang riil maupun abstrak. Dari yang bersifat empiris sensual hingga yang kongkret seperti sejarah umat manusia, hukum-hukum alam (nature law, sunnatullah). Selain itu juga digunakan untuk memikirkan yang abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan kembali orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, kebenaran wahyu, dll. Dengan demikian objek berpikir (ta’aqqul) ialah tentang ketetapan realitas kehidupan yang mengarah kepada makna-makna yang terkandung dalam konsep dasar tentang kekuasaan Allah SWT, seperti makna Iman, Islam, ma’rifah, ilmu, dan tauhid, dsb.

Dengan kata lain proses berpikir adalah kegiatan dalam memahami ilmu pengetahuan melalui tanda-tanda (ayat) yang diberikan oleh Allah SWT. Dan sebagai konsekwensinya adalah direalisasikan dalam bentuk ketaatan kepada-Nya.Dalam kitab Al-Furuq Al-Lughawiyyah Baina Alfadz Al-‘Ilm Fi Al-Qur’anditegaskan bahwa akaladalah daya atau kekuatan untuk menerima ilmu. Maksudnya, ilmu merupakan buah dari berpikir dengan hati. Adapun orang yang berpikir atau manusia yang telah menggunakan akalnya secara benar bisa dikatakan sebagai orang yang alim. Sebab dengan proses berpikir yang benar itulah ia akan sampai pada derajat orang yang tahu (alim). Maka, bisa dikatakan bahwa orang yang berpikir dengan benar ialah orang yang ‘alim. (Lihat: Q.S. Al-Ankabut : 43).

Dengan demikian,aktifitas berpikir manusia harus bersifat terus-menerus. Dan setelah seseorang mengetahui suatu tanda (ayat) maka ia selanjutnya harus memikirkan hakekat yang terkandung di balik tanda tersebut, proses ini disebut dengan tafakkur. Dan ketika seseorang telah mendapatkan pelajaran dari aktifitas berpikir tersebut maka yang harus dilakukan ialah memahaminya secara benar dan mendalam, proses memahami hasil (natijah) proses berpikir itu disebut dengan tafaqquh. Setelah seseorang memahami suatu ilmu maka yang harus dilakukan selanjutnya ialah mengingat apa yang telah ia pahami dari hakekat tersebut. Proses seperti ini disebut dengan tadzakkur. Dan ketika manusia selalu mengingat ilmu yang telah ia pahami maka upaya terakhir yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berpikir ialah tadabbur atau melihat kembali hakekat dari suatu peristiwa atau ilmu yang telah dipelajari sebelumnya.

Jadi, konsep akal sangat sarat akan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Dengan akal, manusia diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bisa dijangkau untuk menangkap esensi di balik suatu tanda. Sehingga, ketika manusia mampu memahami hakekat suatu ilmu maka akan bertambah pula keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal inilah yang membedakan cara pandang Islam terhadap cara pandang Barat yang lebih menitikberatkan pada aspek rasional semata.

Last modified: 17/04/2015

One Response to :
Makna Akal dalam Perspektif Semantik al-Qur’an

  1. Menilik dari redaksi alqurān yang tidak memakai derivasi aīn, qāf, lām dalam bentuk ism-nya secara shārih. Maka, itulah dalīl dan koreksi alqurān yang menunjukkan kepada kita bahwa derivasi ain, qāf, lām BUKAN-lah sebagai ALAT BERPIKIR namun lebih tepat dibawa kepada pengertian SUATU PROSES BERPIKIR yang terikat dengan waktu tertentu (sebab ia diredaksikan dalam bentuk fi’il).

    Jikapun muncul pendapat bahwa pemakaian redaksi fi’il itu merupakan dalīl atas pengakuan alquran secara implisit terhadap eksistensi AQLUN (dalam bentuk mashdarnya), sesungguhnya AQLUN di sini (dalam bentuk mashdarnya), masih tetap lebih tepat diartikan sebagai PROSES/KONDISI BERPIKIR yang tidak terikat waktu, atau bahkan ia merupakan HASIL dari PROSES BERPIKIR itu sendiri, dan BUKAN ALAT BERPIKIR.

    Koreksi Alqurān yang menjelaskan bahwa AQLUN itu BUKAN ALAT BERPIKIR, ditegaskan dalam Al-Hajj 46, secara terang-terangan alqurān menetapkan bahwa QALBU-lah sebagai ALAT BERPIKIR. Dan itu dikuatkan oleh Al-A’rāf 179, bahwa QALBU-lah ALAT BERPIKIR untuk memperoleh pemahaman.

    Seandainya alquran menyatakan AQLUN sebagai ALAT BERPIKIR, tentu redaksi ayat akan berbunyi LAHUM ‘UQŪLUN LĀ YAFQAHŪNA BIHĀ. Ternyata, redaksi alqurān mengabadikan LAHUM QULŪBUN LĀ YAFQAHŪNA BIHĀ. Tetap konsisten memakai QALBU sebagai ALAT BERPIKIR. Wa Allāhu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *