Oleh : Bana Fatahillah*
inpasonline.com – Terma Bid’ah Penafsiran (Bida’ al-Tafāsīr) dipopulerkan oleh Imam Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, Al-Kassyāf, tatkala mengkiritik sejumlah penafsiran ‘asing’ karena melanggar kaidah bahasa atau terikat pada ideologi tertentu. Begitu juga penafsiran kaum Syiah terhadap kata ‘al-Nahl’ dalam ayat “wa awhā rabbuka ila al-Nahli” (Dan Tuhanmu telah mewahyukan pada lebah) sebagai Imam Ali bin Abi Thalib Ra dan pengikutnya.
Kendati demikian, ibarat pepatah ‘senjata makan tuan’ menurut Syekh Abdullah Shidiq al-Ghumariy, ulama ternama asal Maroko, penulis tafsir Kasyaaf tersebut telah terjebak dalam perangkap yang ia buat sendiri. Hal ini karena Zamakhsyari turut berupaya menyelipkan ideologi Muktazilahnya dalam menafsirkan sejumlah ayat. Dan inilah salah satu poin yang mendapat kritik tajam dari al-Ghumariy yang kemudian ia tuliskan dalam kitabnya yang berjudul “Bida’ Al-Tafāsīr” yang ia ambil dari istilah Zamakhsyari.
Bidah penafsiran yang dimaksud oleh al-Ghumariy tidak jauh beda dengan Zamakhsyari. Bahkan tidak sedikit ia mengutip bid’ah penafsiran sekaligus bantahannya dari Al-Kasyaaf. Pada intinya ia ingin mengkrtik sebuah penafsiran yang kurang tepat dari konteks ayat ataupun bahasa. Namun al-Ghumariy lebih detail sehingga mampu mengembalikan boomerang yang dilontarkan zamaksyari kepada dirinya.
Selain Zamakhsyari, dalam kitab tersebut al-Ghumariy turut mengkritik sejumlah tafsir kontemporer yang menurutnya memunculkan penakwilan ‘jauh’ karena telah berani melampaui pusaran lafadz ayat sehingga memaknai teks bukan secara zohirnya, mengunggulkan ideologi sektenya sebagaimana muktazilah dan Syiah, atau bahkan hanya ingin terlihat ‘beda’ dari tafsir-tafsir sebelumnya agar dicap anti-taklid. Di antara mereka adalah Murtadha Syarif dari kalangan Syiah dalam kitabnya Amali al-Murtadha, Muhammad Farid Wajdi, Abdul Jalil Isa, atau bahkan Syekh Mahmud Syaltut Grand Syekh Al-Azhar dari kalangan Sunni.
Metodologi yang dipakai al-Ghumariy dalam mengategorikan bidah penafsiran adalah dengan meletakkan sejumlah pakem –meskipun tidak secara tersurat. Artinya jika ada ayat yang melanggar satu diantara pakem ini maka kita bisa menjebloskan tafsir tersebut pada perangkap bidah penfasiran. Hal ini sengaja dibuat al-Ghumariy agar orang setelahnya dapat melakukan kritik sebagaimana yang ia lakukan. Sebab, sebagaimana yang disampaikan dalam mukaddimah, ia tidak bermaksudkan mencatumkan seluruh ayat yang disalahtafsirkan, melainkan hanya mengambil beberapa sampel yang nantinya bisa dilanjutkan oleh orang setelahnya
Kaidah atau pakem tersebut berjumlah lima yaitu: Pertama, melampaui lafadz ayat. Kedua, berlebihan dalam kaidah I’rab. Ketiga, jauh dari konteks (siyaaq) ayat. Keempat, tidak sesuai dengan Asbabun Nuzul. Kelima, bertabrakan dengan dalil lain. Artinya penafsiran ayat yang dikritik olehnya dari awal sampai akhir tidak jauh dari lima poin ini.
Sebagai contoh penafsiran Muktazilah yang mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan hamba menciptakan perbuatannya sendiri -yang ia tafsirkan dari surat al-Baqarah ayat 7- atau penafsiran sebagain sufi tentang diterimanya taubat Fir’aun ketika adzab sudah turun –dalam tafsir surat Yunus: 90– tergolong dalam bidah penafsiran karena telah menabrak dalil lain sebagaimana poin nomor 5.
Begitupun dengan tafsir Syiah yang mengatakan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama imam mereka –dalam tafsir al-Baqarah: 31– atau tafsiran sejumlah modernis seperti Muhammad Abduh yang menafsirkan kematian dan kehidupan dalam ayat “faqāla lahumullāhu mūtū tsumma ahyāhum” sebagai hadiah ‘kemerdekaan’ setelah ‘penjajahan’. Ini termasuk bid’ah penafsiran karena telah melampaui lafadz ayat juga karena memaknai ayat dengan makna baru yang tidak dikenal pada masa turunnya al-Quran.
Karenanya untuk menghindari hal tersebut penulis secara tegas meletakan mukaddimah kitabnya dengan poin-poin yang langsung mengarah pada jantung pembahasan. Hal tersebut sebagai sebuah warning agar tidak terjerumus kepada model bidah penafsiran yang telah disebutkan.
Poin-poin tersebut sepertia kaidah tidak boleh manafsirkan ayat yang berbicara tentang iman dan kisah umat terdahulu kepada makna majaz; tidak boleh seorang mufassir menjadikan ideologi sektenya sebagai patokan dalam menafsirkan al-Quran; harus menafsirkan sesuai dengan apa yang sudah ditafsirkan oleh Baginda Nabi, tidak boleh menafsirkan dengan makna yang tidak dikenal Arab pada masa turunnya al-Quran, dan lain sebagainya.
Sekali lagi ini semua agar pembaca sudah diberikan amunisi sebelum melakukan pengamatan, dan bisa menganalisa dengan baik kesalahan demi kesalahan yang dikupas dalam buku tersebut.
Terkait poin menafsirkan kisah umat terdahulu dengan makna majaz, dosen kami, Dr. Yasir Ahmad Mursi memberi pandangan yang berbeda. Menurutnya ini adalah satu pandangan baru yang belum pernah disebutkan oleh mufassir terdahulu. Padahal itu mungkin saja terjadi, seperti Nabi Yusuf yang diakhir kisahnya mengatakan kepada ayahnya bahwa inilah takwil dari mimpinya diawal. Artinya maksud dari mimpi melihat sujudnya 11 planet tersebut adalah majaz bukan hakikat. Dan masih menurut Dosen saya, sejatinya al-Ghumariy telah melanggar kaidah yang dibuatnya sendiri tatkala mengunggulkan penafsiran yang bernuansa majaz dalam kisah taubat kaum nabi Musa Alaihissalam.
Menurut al-Ghumariy makna “bunuhlah diri Kalian” (faqtulū anfusakum) dalam ayat itu adalah “hendaknya orang-orang yang terbebas dari dosa itu membunuh mereka yang berdosa (karena telah menyekutukan Tuhan dengan seekor sapi)”. Ini adalah makna majaz yang ia sendiri melarangnya. Jika hendak membawa pada makna hakikatnya maka arti yang tepat adalah “hendaknya mereka yang berdosa tersebut membunuh diri mereka sendiri.” Dan ini masuk akal, sebab mungkin saja syariat yang berlaku pada masa itu -tatkala seorang menyekutukan Tuhan- taubatnya adalah dengan membunuh dirinya sendiri sebagaimana yang dituliskan Ar-Razi dalam tafsirnya. Begitu papar Dr. Yasir.
Namun menurut saya, di samping kesalahan kecil ini, dalil yang mendasari pakem yang dibuat al-Ghumariy terkait hal ini sangatlah kuat. Usahanya untuk menutup makna majaz dalam kisah umat terdahulu, yang menurutnya banyak digunakan oleh para mufassirin, adalah karena mereka merupakan kaum yang tidak berdialog dengan bahasa arab, seperti kaum Nuh, Hud, Bani Israil dsb. Kenapa harus dibawa pada makna hakikatnya? Dengan memaknai sebagaimana makna hakiaktnya itu berarti kita telah menentukan secara pasti –sekali lagi secara pasti– apa yang dimaksud oleh mereka lewat bahasa arab.
ketika membawa kalimat at-tannur dalam kisah Nabi Nuh kepada sebuah panggangan yang maksudnya: seketika air terpancarkan dari sebuah panggangan sehingga menyebabkan banjir bandang, itu berarti kita telah membawa maksud mereka kepada hal yang sesungguhnya meskipun dalam bahasa yang berbeda. Namun ketika memaknai lafaz tersebut dengan makna majaz, seperti ‘permukaan tanah’ artinya air tersebut keluar dari permukaan tanah atau menakwilkannya dengan makna ‘kilauan cahaya yang keluar’ maka pertanyaannya adalah: apakah kita yakin secara pasti bahwa yang dimaksudkan mereka –dengan kalimat itu dan pada saat itu adalah makna majaz. Dan apakah kita tau bahwa ada istilah majaz ataupun kinayah dalam bahasa kaum nabi Nuh saat itu. Inilah mengapa al-Ghumariy memilih pakem ini sebagai asas penafsiran yang tepat dan yang melanggarnya sebagai bid’ah penafsiran. (lihat Bida’ Al-Tafaasir, Maktabah al-Iiman, hal. 107)
Dan juga sepertinya dengan pakem ini al-Ghumariy hendak menutup semua kisah israiliyyat yang bertentangan dengan ishmatul anbiya.
Kembali lagi pada kitab ini, disamping kritiknya terhadap sejumlah tokoh yang disebutkan, al-Ghumariy tetap bersikap objektif kepada mereka dengan mengutip sejumlah penafsiran milik mereka sebagai senjata untuk membantah bid’ah penafsiran lainnya. Seperti halnya tafsir Syarif Murtadha yang dijadikan tumpuan dalam menafsirkan surat Maryam ayat 38. Bahkan tidak sedikit al-Ghumariy mengambil contoh bid’ah penafsiran sekaligus jawabannya dari Zamakhsyari, disamping kritikan yang ia luncurkan pada akidah I’tizaliyyahnya. Inilah objektifitas seorang ulama.
Terakhir, buku ini merupakan satu terobosan baru yang belum dilakukan oleh para pendahulu. Meski tidak setebal buku bercorak tafsir pada umumnya, namun ia menyimpan segudang ilmu yang sangat penting, sebagaimana yang ditulis al-Ghumariy di pengantar kitabnya. Dan terkait buku ini, menurut Syekh Yusri Jabri al-Hasani, sebagaimana yang dikutip oleh Hilma Rosyida Ahmad, murid senior beliau, Bida Tafasir adalah buku pembuka saat seseorang sudah berhak membaca buku tafsir sendiri dengan kematangan ilmu akidah fikih dsb dari berbagai guru. Wallahu a’lam biShowab.
*Penulis adalah Guru Pesantren Attaqwa Depok, Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir