Oleh: Ainul Yaqin
Hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat mutlak sebagai wujud dari hak asasi manusia yang paling inti. Karena itu sering dikatakan bahwa, hak dan kebebasan beragama merupakan hak asasi yang bersifat non-derogable rights yaitu hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam konstitusi negara republik Indonesia, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights ini diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pada penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Sedangkan, derogable rights adalah hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu.
Pertanyaannya, dalam aspek apakah hak dan kebebasan beragama bersifat non-derogable rights? Apakah sifat non-derogable rights berlaku secara mutlak dalam semua aspek? Dua pertanyaan ini perlu diajukan mengingat saat ini ada kesan bahwa dalam perspektif kesepakatan HAM internasional, seolah-olah negara sama sekali tidak boleh ikut campur untuk mengatur hak kebesan beragama, termasuk memberikan batasannya, sehingga ketika negara melakukan pengaturan terkait dengan aliran sesat menggunakan UU No.1/PNPS/1965 selalu menjadi sasaran kritik.
Sesungguhnya dalam kesepakatan internasional, tidak semua aspek hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan berada dalam wilayah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Maka jelaslah bahwa kesepakatan internasional mengakui keberadaan pembatasan yang dilakukan oleh negara terhadap hak dan kebebasan beragama. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya, negara diperbolehkan untuk membatasi hak yang ditetapkan melalui undang-undang dengan dasar beberapa klausul pembatasan.
Lebih jauh lagi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, misalnya terdapat ketentuan tentang pembatasan HAM. Pasal 29 Ayat (2), dinyatakan sebagai berikut:
In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.
(dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).
Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3) juga dinyatakan sebagai berikut:
Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others. (Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain)
Demikian juga dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB yang ditandatangani pada tanggal 20 November 1989 (Convention on the Rights of the Child), dalam Pasal 14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others. (Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).
Poin-poin di atas-lah yang kemudian diadopsi ke dalam pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan sebagai berikut:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Juga dimasukkan ke dalam pasal 73 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan sebagai berikut:
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Dengan demikian jelaslah bahwa, pembatasan HAM termasuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan beragama adalah sesuatu yang legal dan konstitusional dalam tertib hukum nasional dan tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah dalam aspek apakah hak dan kebebasan beragama tidak dapat dibatasi atau bersifat non-derogable rights?. Maka yang perlu dicermati adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemenuhan hak dan kebebasasan untuk beragama. Dalam hal ini terdapat dua aspek yang mempunyai wilayah yang berbeda yang secara implisit dijelaskan dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 28 ayat (1) – ayat (3). Yang pertama adalah forum internum yang merupakan inner freedom atau kebebasan yang bersifat sangat pribadi. Forum internum adalah sebuah wilayah tempat beradanya pengakuan batin personal seorang individu yang merupakan tempat beradanya keyakinan spiritual individual dan secara persis hanya diketahui oleh si empunya keyakinan sendiri. Orang lain tidak mungkin untuk memastikannya. Oleh karena itu, wilayah ini sebenarnya tidak dapat dan tidak mungkin diintervensi oleh individu lain atau entitas lain yang berada di luar diri yang mempunyai forum tersebut. Dalam aspek ini, kesepakatan internasional menyatakan bahwa kebebasan yang bersifat pribadi yang masuk pada forum internum seperti ini tidak boleh dan tidak bisa dibatasi oleh siapapun termasuk negara.
Aspek ke dua adalah forum externum, yaitu wilayah yang berhubungan dengan menjalankan atau memanifestasikan dari hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam wilayah ini negara sebagai entitas berdaulat di ruang publik dapat membuat pembatasan, yaitu sesuai dengan pasal 18 ayat (3) dengan tujuan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Pembatasan dan campur tangan negara ini dibentuk dalam sebuah peraturan perundang-undangan sebagai norma publik yang memungkinkan publik (orang banyak) berpartisipasi dalam membentuk dan mengawasi pelaksanaannya,
Maka jelaslah posisi UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini berasal dari Penetapan Presiden (PNPS) No. 1 tahun 1965 yang kemudian kedudukannya ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. UU No.1/PNPS/1965 pernah diajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa fihak antara lain: (1) Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif Untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), (2) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), (3) Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), (4) Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), (5) Perkumpulan Masyarakat Setara, (6) Yayasan Desantara, (7) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), (8) KH. Abdurrahman Wahid, (9) Prof. Dr. Musdah Mulia, (10) Prof. M. Dawam Rahardjo, dan (11) KH. Maman Imanul Haq. Dengan banyak pertimbangan upaya pengajuan uji metariil tersebut akhirnya ditolak oleh MK.
UU No. 1/PNPS/1965 merupakan bentuk pembatasan yang dilakukan oleh negara terhadap hak dan kebebasan beragama di Indonesia. Para pengkritik UU No. 1/PNPS/th 1965 mengatakan bahwa undang-undang ini terlampau mengatur tentang kebolehan intervensi Pemerintah atau negara terhadap agama atau terhadap keyakinan warga masyarakat, sehingga memasuki forum internum kebebasan beragama. Maka, menurut mereka UU No. 1/PNPS/th 1965 bertentangan dengan pasal Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Namun, jika dicermati lebih jauh penjelasan UU ini yang merupakan suatu kesatuan dengan batang tubuh UU-nya, maka bisa difahami bahwa UU No.1/PNPS/1965 hanya mengatur forum externum kebebasan beragama karena tujuan UU ini bukanlah untuk intervensi Pemerintah/negara terhadap agama, atau aspek-aspek doktrin agama, atau penafsiran agama, melainkan bertujuan untuk memupuk dan melindungi ketentraman beragama sebagaimana disebut pada Penjelasan Umum UU tersebut secara lengkap sebagai berikut:
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan.Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisahpisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.
-
3. Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama.
-
4. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.
-
5. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing.
-
6. Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).
Dengan mencermati penjelasan umum UU No. 1/PNPS/th 1965 ini jelaslah bahwa pembatasan HAM sebagaimana dalam UU ini dilakukan bukan dalam kerangka intervensi pemerintah terhadap agama, tetapi justru dilakukan untuk memelihara kehidupan umat beragama agar tetap kondusif, mencegah terjadinya benturan antar umat beragama, serta mencegah terjadinya praktik perusakan ajaran agama yang sangat berpotensi menimbulkan pertentangan, ketidakstabilan, disharmonisasi masyarakat, yang pada akhirnya dapat membahayakan keutuhan NKRI. Tugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban negara yang sah dan legal.
Dengan demikian berdasarkan UU No.1/PNPS/1965, kebebasan beragama di Indonesia dimaksudkan adalah kebebasan untuk menganut suatu agama, bukan kebebasan untuk melecehkan agama, bukan kebebasan menodai agama, bukan pula kebebasan untuk menafsirkan seenaknya tentang ajaran suatu agama yang dapat merusak ajaran agama yang dimaksud, serta bukan pula kebebasan untuk tidak menganut suatu agama satu pun. Demikian pula kebebasan beragama juga tidak diartikan dengan kebebasan unuk memaksa orang lain agar pindah agama, memprovokasi orang lain agar mengikuti aliran yang menyimpang, atau mengajak orang untuk tidak beragama. Hal-hal seperti ini membutuhkan pengaturan, karena bila tidak diatur akan sangat berpotensi menimbulkan disharonisasi dan ketidak stabilan.
Ada kesan bahwa hak dan kebebasan beragama seolah-olah tidak boleh dibatasai sama sekali, dan seolah-olah pembatasan HAM hanya ada di Indonesia. Misalnya opini yang ditulis oleh SETARA INSTITUTE:
Meskipun jaminan kebebasan sipil di Indonesia telah mendapat pengakuan utuh secara legal dan konstitusional melalui Amandemen UUD 1945 dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Publik, akan tetapi hal ini dilemahkan sendiri oleh Pasal 28J ayat (2) konstitusi RI. (Buletin Syahadah ediri 2, September 2009)
Hal ini jelas merupakan contoh penyesatan opini yang ingin menggiring tafsiran HAM internasional sesuai dengan kepentingan kaum sekular liberal. Bangsa Indonesia yang mempunyai falsafah Pancasila sudah seharusnya bersikap kritis dengan upaya-upaya seperti ini. Jangan sampai bangsa ini kehilangan jati dirinya.
Penulis adalah Sekretaris MUI Jawa Timur