Oleh Bahrul Ulum
Inpasonline.com-Sebagai mu’jizat, al-Qur’an merupakan kitab yang memiliki susunan kalimat yang indah, tertip dan rapih. Untuk memahami kei’jaz-an bahasanya tentu dibutuhkan penguasaan bahasa yang Arab yang mendalam. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari hal tersebut yaitu ilmu Balagha.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa disiplin ilmu ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat untuk menguak kemukjizatan al-Qur’an. Posisinya dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad. Dengan kata lain, ilmu ini merupakan media yang dapat menghantarkan seseorang memahami ke-i’jaz-an al-Qur’an.
Bahkan seseorang yang ingin menjadi mufassir, mutlak menguasai ilmu ini agar bisa memahami isi dan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini al-Zamakhsyari mengatakan bahwa ilmu yang paling sarat dengan rahasia yang rumit, paling padat isinya sehingga membuat manusia kesulitan memahaminya, termasuk orang alim sekalipun, yaitu ilmu tafsir. Dan tidak akan mampu mendalami hakekat ilmu ini kecuali memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yaitu ilmu ma’ani dan bayan. Kedua ilmu ini dipelajari dalam ilmu Balagha.
Secara ilmiah, ilmu Balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan pada kejernihan dan ketelitian dalam menangkap keindahan bahasa. Juga mampu menjelaskan perbedaan yang ada diantara macam-macam uslub (ungkapan). Dengan menguasai konsep-konsep balaghah, akan mengetahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan seluk beluknya serta akan mampu membuka rahasia-rahasia kemu’jizatan al-Qur’an dan Al-Hadits.
Al-Balaghah dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu pertama, ilmu Ma’ani yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya dan mempelajari cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal. Kedua, ilmu Bayan yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Ketiga, ilmu Badii’ yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.
Perkembangan Ilmu Balaghah
Pada dasarnya ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini telah menjadi pengetahuan yang menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, jauh sebelum Al-Quran turun. Namun kehadiran al-Qur’an telah menjadi salah satu faktor munculnya ilmu Balagha. Keindahan bahasa al-Qur’an membuat pakar bahasa waktu itu kagum. Al-Qur’an diakui sebagai kitab yang memiliki ketepatan dan keindahan berbahasa Arab yang tak tertandingi.
Para pakar bahasa Arab yang biasa berbangga dengan keindahan syair mulai terperangah dengan keindaahan bahasa Al-Qur’an. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu Balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab ternyata butuh ilmu bahasa yang berfungsi mengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab tanpa mempelajari kaidah bahasa yang benar yang berlaku di bangsa Arab.
Tema-tema ilmu balaghah sendiri muncul setelah ilmu Nahwu dan Sharaf berkembang pesat di jaman kekhalifah Umayyah. Ketika itu para ulama pakar sastra mulai bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya dengan contoh dan bukti-bukti yang diriwayatkan dari orang-orang sebelum mereka.
Namun ilmu ini mulai dikenal luas saat dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, terjadi perdebatan yang sengit di kalangan para sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat al-Qur’an. Ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat Ibrahim al-Nidzam yang mengatakan bahwa al-Qur’an tidak memiliki kekuatan mukjizat berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab pasti bisa membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa yang digunakan Alqur’an. Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan ulama waktu itu. Mereka kemudian menulis sebuah risalah yang isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w.208), murid Al-Khalili (w. 170 H). Kitab ini berisi ilmu Bayan. Sedangkan ilmu Ma’ani, tidak diketahui pasti orang yang pertama kali menyusunnya. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 225 H) dalam I’jazul Qur’an. Adapun penyusun kitab ilmu Badi’ pada masa awal adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Baru pada abad ke lima hijriyah muncul seorang ulama yang menggabungkan ilmu-ilmu tersebut bernama Abu Bakar Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 471 H). Al-Jurjani mengarang kitab tentang ilmu ma’ani dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul Balaghah. Kemudian setelah itu datanglah Abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.
Pada masa tersebut ilmu balagha berkembang pesat yang diakibatkan adanya persinggungan dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Qur’an. Persinggungan ini memunculkan istilah Madrasah Adabiyyah dan Madrasah Kalamiyyah berdasar kecenderungan yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pakar Madrasah Kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah dengan membuat batasan-batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa, mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan Madrasah Adabiyyah, sangat berlebihan dalam mengajukan bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni, keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.
Madrasah Kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan penguatan i’jazul Qur’an yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah, filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan Madrasah Adabiyyah, penguatannya pada karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa kritis. Akhirnya Madrasah Kalamiyyah yang lebih unggul dan berkembang sampai sekarang.