Kebebasan dalam Pandangan Islam

Oleh: Muhim Kamaluddin

freedom-of-speechKonsep kebebasan dalam Islam

Manusia diciptakan oleh Allah dan kelak akan kembali kepada Sang Pencipta. Sedangkan kehidupan manusia di dunia bukanlah satu-satunya kehidupan yang ia alami. Dunia hanyalah salah satu fase dari lima fase kehidupan manusia; alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat.

Dimensi worldview yang luas inilah yang menjadikan Islam kaya akan konsep-konsep kunci tentang kehidupan. Worldview Islam tidak hanya terbatas pada dimensi fisik an sich, tetapi menembus dimensi metafisik. Konsep tentang kebebasan manusia, tidak terbatas pada kehidupan dunia saja, melainkan semenjak periode alam ruh dan bersulur galur hingga alam akhirat. Hanya saja, di alam dunia inilah, kita saat ini dengan kesadaran dan potensi akal yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa, mengkonsepsikan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang ada dengan bimbingan wahyu Allah SWT.

Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, kebebasan manusia dapat dilacak sejak terjadinya perjanjian primordial (primordial covenant) yang diteken oleh setiap individu di hadapan sang Pencipta[1]. Yang isinya adalah pengakuan seorang hamba akan rububiyah Allah semata atas dirinya dan semua alam. Isi perjanjian tersebut dimuat dalam al Qur’an, surat al-A’raf, 172:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Dalam perjanjian primordial tersebut, mengindikasikan adanya dua buah pilihan yang ditawarkan kepada manusia untuk mengakui atau tidak mengakui rububiyah Allah SWT, dan manusia pun secara serentak mengakui dan membenarkan kerububiyahan Tuhan serta mengetahui dan menerima semua implikasi dari kesaksian itu. Disinilah jejak kebebasan manusia dimulakan. Ayat lain yang relevan dengan ayat diatas adalah dalam surat al-Ahzab: 72 yang menceritakan keengganan makhluk lain untuk menerima amanah Tuhan. Tetapi manusia menerimanya. Ketika manusia memilih untuk menerima amanah itu, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa memiliki kebebasan untuk memilih yang sebaliknya. Artinya, setiap orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Syed Naquib Al-Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi sejak saat itu[2].

Istilah yang tepat untuk kebebasan dalam Islam terdapat dalam salah satu istilah syariat; ikhtiar. Ikhtiar tidaklah sama dengan ide modern tentang kebebasan. Sebab akar kata ikhtiar adalah khair (baik), yang berarti “memilih yang terbaik”. Oleh karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, pilihan itu bukanlah benar-benar pilihan, melainkan sebuah ketidak adilan (zhulm). Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Disinilah proses pendidikan memainkan peran pentingnya. Sebaliknya, memilih sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek yang tercela nafsu hewani[3].

Aplikasi konsep kebebasan telah termuat dalam ikhtiar, yaitu“memilih yang terbaik”. Yang mana dalam upaya “memilih” tersebut membutuhkan sebuah daya untuk meraihnya. Maka “berikhtiar” berarti kebebasan untuk melakukan upaya memilih sesuatu yang terbaik, atau bebas berusaha meraih yang terbaik diantara berbagai macam kebaikan yang ada. Kebebasan yang tidak mengandung kebaikan, tidak menemukan jalan dalam ide kebebasan Islam.

Kebaikan-kebaikan yang ada dalam kehidupan, telah ditunjukkan oleh Allah melalui wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa kebaikan duniawi ataupun ukhrowi. Dan kehidupan akhirat adalah kebaikan yang terbaik bagi hambaNya yang bertakwa (an Nahl;30). Maka, sebaik-baik ikhtiar (kebebasan memilih yang terbaik) adalah ikhtiar yang dilakukan oleh orang-orang yang muttaqiin, yaitu mereka yang memilih kebaikan hidup di akhirat daripada kebaikan yang ada di dunia (al Kahfi;46, adh-Dhuha;4, at-Taubah;38).

Mereka inilah yang menemukan kebahagiaan spiritual (sa’adah) dalam kehidupannya. Kebahagiaan spiritual, menurut Al-Attas, secara sadar bisa dialami dalam kehidupan di dunia ini dan lebih panjang dari pada kebahagiaan level fisik dan psikologis. Kebahagiaan spiritual sangat terkait dengan keyakinan terhadap kebenaran Mutlak, iman, dan perilaku moral. Menurut Al Attas, kebahagiaan spiritual terjadi secara bersamaan dengan kebahagiaan fisik dan psikologis. Caranya adalah dengan mengurangi keinginan fisik, mengesampingkan hawa nafsu dan memenuhi kebutuhan psikologis[4]. Pada tahap tersebut, orang akan mampu memperoleh jati diri yang lebih tinggi dan mencapai maqam ma’rifat. Orang yang mencapai kebahagiaan ini tidak akan tergelincir ke lembah yang penuh kesalahan dan penderitaan, sebagaimana tergambar dalam surat Yunus; 62

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Kebahagiaan dalam Islam bukanlah sesuatu yang berakhir dalam dirinya sendiri; sebaliknya, kebahagiaan itu akan membimbing manusia ke tingkat akhir yang lebih tinggi, yang dalam kehidupan dunia ini disebut dengan cinta kepada Allah swt (mahabbah). Inilah yang disebut dengan persiapan ke arah pencapaian yang hakiki dan abadi pada hari kemudian, yaitu kebahagiaan berupa kemampuan melihat Allah swt[5].

Ringkasnya; Jalan kebebasan adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang bertakwa, menurut Al-Attas, kebebasan sejati, hanya bisa dicapai ketika manusia telah memperolah ma’rifah. Yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. kebebasan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan (sa’adah) dan cinta kepada Yang Maha Abadi (mahabbah)

Konsep kebebasan di Barat

Berbeda dengan nilai dan norma Islam yang bersumber dari wahyu, nilai dan norma Barat bersumber dari filsafat. Nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi di Barat seperti kebebasan (freedom), demokrasi (democracy) dan HAM (human right), berpangkal dari paradigma filsafat Hukum Alam (natural rights).

Ide awal konsep hukum alam berasal dari Yunani kuno. Pada intinya, alam semesta dalam setiap geraknya diatur oleh hukum abadi yang tidak pernah berubah-ubah. Pandangan ini dikemukakan oleh Zeno (336-264 SM). Menurutnya, akal merupakan pusat kendali untuk mengungkapkan dan mengetahui segala hal, termasuk hukum alam.

Pada abad XVI, teori hukum alam mengalami berbagai perubahan dan semakin sekuler seiring dengan abad renaissance yang melanda eropa. Hukum alam dibedakan menjadi dua macam aliran. Yaitu aliran irasional dan aliran rasional. Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung. Pendukung teori ini antara lain Thomas Aquinas, Dante, Pierre Dubois, John Salisbury. Sedangkan aliran hukum alam rasional berpendapat bahwa sumber hukum alam yang universal dan abadi adalah rasio manusia. pendukung teori ini seperti Emanuel kant, dan Grotius[6]. Grotius dari belanda menyatakan bahwa umat manusia secara alamiah tidak saja makhluk rasional, tetapi juga mahkhluk sosial. Tetapi sifat rasionalnya lebih kuat. Dari pemikiran tersebut, secara alamiah akal “menguasai” manusia, manusia ditentukan oleh akalnya, lepas dari kaitan dengan tuhannya. Hukum alam menurut Grotius adalah suatu peraturan akal murni dan karenanya bersifat tetap. Kaibat sifat tetapnya hukum alam tersebut, sampai-sampai tuhan tidak mampu mengubahnya[7].

Salah satu tokoh utama pemikir hukum alam abad 17 dan dianggap sebagai bapak HAM adalah John Locke. Ia berpendapat bahwa manusia dalam alam bebas telah mempunyai hak hak yang tak dapat dilepaskan/inaliniable rights. Individu mempunyai hak alamiah yaitu hak hidup, hak kebebasan dan hak memiliki sesuatu/ life, liberty, estate. Hak hak tersebut tidak pernah lepas/tidak pernah diserahkan kepada masyarakat/public/penguasa[8].

“Kebebasan” yang diajukan oleh John Locke, dapat dibaca sebagai upaya mensekulerkan masyarakat dari gereja. Kebebasan adalah bantahan langsung terhadap doktrin gereja yang menyatakan manusia lahir membawa dosa warisan. Pun demikian dengan Hugo de groot (Grotius) yang pandangan-pandangannya sangat anti agama (gereja).

Dari filsafat hukum alam tersebut, konsep filsafat Barat dibangun dan “disempurnakan” oleh para filsuf Barat dari masa ke masa. Sehingga konsepnya semakin mapan dan menjadi dasar konsep HAM yang dianut secara universal.

Pun demikian dengan konsep “Kebebasan”. Kebebasan (Freedom) sering digambarkan sebagai kebebasan dari segala bentuk kekangan, terutama kekangan agama[9]. Konsekuensi dari konsep tersebut adalah tuntutan untuk bebas melaksanakan segala sesuatu sesuai yang ia kehendaki untuk mencapai kebahagiaan (happiness). Aliran filsafat utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham mewakili kelompok tersebut[10].

Dari paham tentang kebebasan inilah liberalisme muncul ke permukaan. Dalam liberalisme, batas dari kebebasan itu adalah kebebasan orang lain[11]. Kehendak untuk bebas mengaktualisasikan atau mengekspresikan kehendaknya sendiri ternyata sangat absurd. Tidaklah mungkin manusia dapat bebas sekehendak hatinya, sedangkan naik motor saja ia harus menyalakan lampu. Ia tidak lagi bebas, padahal tidak ada kebebasan orang lain yang ia langgar.

Liberalisme tampak nyata dibenturkan dengan agama. Apa yang dibebaskan oleh agama malah diharamkan oleh liberalisme, dan yang diharamkan oleh agama justru dibebaskan dalam Liberalisme. Seks bebas adalah larangan agama, tetapi dibebaskan oleh liberalism walaupun penyakit berbahaya mengancam. Riba adalah larangan dalam agama, tetapi dibebaskan oleh liberalism. Aborsi adalah larangan dalam agama tetapi dibebaskan dalam liberalism. Homoseks dan lesbianism dilarang agama tetapi dilegalkan oleh liberalisme. Poligami yang dibebaskan oleh agama justru dilarang oleh liberalisme. Sebaliknya, kumpul kebo adalah perbuatan yang dilarang oleh agama tetapi dibebaskan oleh liberalism. Disini sangat tampak bahwa liberalisme tidak memiliki standar yang jelas mengenai yang baik atau yang buruk, kecuali standarnya hanya hawa nafsu. Sedangkan agama melarang suatu hal pastilah karena ada madhorot didalamnya. Wallahu a’lam bisshowab.

Daftar pustaka

  1. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 2001,
  2. Budhy Munawarrahman, Sekularisme, liberalisme dan pluralism. grasindo, Jakarta, 2010.
  3. Imam Al ghazali, Kimiya’ as-sa’adah (terjemah), Zaman, Jakarta, t.t
  4. Prof. A. Masyhur Effendi M.S., perkembangan dimensi hak asasi manusia (HAM) dan proses dinamika penyusunan hukum hak asasi manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
    1. Prof. darji darmodiharjo, s.h. dkk., Pokok-pokok filsafat hukum; apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Gramedia pustaka utama, Jakarta, cetakan ke 6; 2006.
    2. Prof. syed Muhammad Naquib al attas, dilema kaum muslimin, terjemah/editor: anwar wahdi hasi & mochtar zoerni, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1986.
    3. Wan mohd nor wan daud, filsafat dan praktik pendidikan Islam syed m. naquib al attas, Mizan, Bandung, 2003.



[1] Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas,  Wan Mohd Nor Wan Daud, Mizan, Bandung, 2003. Halaman 100

 

[2] Ibid.

[3] Ibid hal. 102

[4] Ibid hal. 97

[5] Ibid.

[6] Pokok-pokok filsafat hukum; apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, prof. darji darmodiharjo, s.h. dkk. Gramedia pustaka utama, Jakarta, cetakan ke 6; 2006. Hal 103.

[7] Perkembangan dimensi hak asasi manusia (HAM) & proses dinamika penyusunan hukum hak asasi manusia (HAKHAM), prof. A. Masyhur effendi, SH. MS., Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 3.

[8] Ibid. hal 11.

[9] Pemikiran Politik Barat, Ahmad Suhelmi, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 2001, hal 110.

[10] [10] Perkembangan dimensi hak asasi manusia (HAM) & proses dinamika penyusunan hukum hak asasi manusia (HAKHAM), prof. A. Masyhur effendi, SH. MS., Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal 3.

[11] Sekularisme, liberalisme dan pluralism. Budhy Munawarrahman, grasindo, Jakarta, 2010. Hal 46

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *