Jangan Rancu Memandang Posisi Hadits; Kritik untuk Agus Mustofa

Pernyataan Agus Mustofa itu jelas keliru dan tidak berdasar. Apa yang ia katakan bukanlah hal yang baru. Hal itu pernah dikatakan oleh para orintalis,  di antaranya Ignas Goldziher.

Karenanya ada dua kemungkinan kenapa Agus Mustofa mengatakan hal yang sama dengan Goldziher. Pertama, ia sudah terpengaruh  oleh pemikiran Goldziher. Kedua, jika ia tidak pernah membaca karya Goldziher, berarti lintasan pikiran yang pernah menghinggapi Goldziher juga menghinggapinya.

Ignaz Goldziher (1850-1921), adalah seorang orientalis yang terang-terangan menolak kebenaran hadits. Menurutnya, hadits tidak ada yang otentik karena ketiadaan bukti empiris yang menunjukkannya beredar pada jaman Rasulullah. Yang terjadi,  adalah “back projection”,  yaitu para perawi hadits meriwayatkan hadits dengan mengatasnamakan Nabi Muhammad, padahal Nabi sendiri tidak mengatakan hal itu.

Selain itu, orientalis berkebangsaan Hungaria ini juga beranggapan bahwa hadits itu palsu karena diriwayatkan untuk kepentingan politis dan ideologis kaum Muslimin yang sudah terpecah-pecah. Ia juga menyalahkan umat Islam yang menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum. Sebab menurutnya, kaum Muslimin hanya mengandai-andai bahwa keduanya sudah ada di zaman Rasul, padahal sama sekali tidak tersedia. Menurutnya, hadits baru dihimpun dan ditulis pada abad ke-3 Hijriah, atau sekitar 200-300 tahun setelah Rasulullah wafat.

Tentu saja pendapat orientalis yang pernah menyusup ke Universitas Al-Azhar Mesir ini, sangat lemah dan tidak berdasar. Bukti empiris menunjukkan, hadits telah dihimpun dan ditulis sejak awal abad pertama Hijriah. Dalam kajiannya yang intensif, Muhammad Hamidullah, seorang sarjana Muslim terkemuka, telah menunjukkan bukti bahwa Abu Hurairah (m 677/58 H) salah seorang sahabat Rasulullah SAW, telah menghimpun hadits-hadits dari Rasulullah SAW.

Hamidullah telah mengkaji hadits-hadits yang ditulis oleh murid Abu Hurairah RA, yaitu Hammam bin al-Munabbih (m. 719/101 H). Manuskrip-manuskrip Hammam bin al-Munabbih ada di Damaskus dan Berlin. Hasil penelitian Hamidullah menunjukkan bahwa tulisan (koleksi) tentang hadits sudah tersebar sejak awal abad pertama Hijriah.

Bukhari mendapat hadits dari buku yang memuat koleksi hadits gurunya ‘Abd al-Razzaq, yaitu al-Musannaf. Abd al-Razzaq mendapatkan hadits-hadits tersebut dari gurunya, yaitu Ma’mar bin Rashid (m. 87/212 H), yang dikenal dengan al- Jami. Ma’mar adalah murid Hammam bin Munabbih.

Bukti ini menunjukkan bahwa secara empiris tulisan hadits sudah ada sejak abad pertama Hijriah, yaitu yang dihimpun oleh Hammam bin Munabbih. Imam Bukhari hanya mengumpulkan dan meneliti kembali hadits tersebut dan mencari hadits lain yang benar-benar dari Rasul SAW. Kemudian ia juga mengklasifikasi hadits dalam tema-tema tertentu agar mudah dipelajari dan dihafal. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama hadits lainnya.

Selain Abu Hurairah RA yang dibantu muridnya dalam penulisan hadist, juga banyak Sahabat lain yang mencatat hadits sendiri, seperti Abdullah bin Amr bin Ash RA.  “Dari Abu Hurairah RA beliau berkata; tidak ada seorang dari Sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak” (HR Bukhari).

Tentang penulisan hadits oleh Abdullah bin Amr RA ini, diriwayatkan bahwa ia menulisnya dengan sepengetahuan Rasulullah SAW, bahkan Rasul SAW memerintahkannya sebagaimana riwayat dari Ibnu Amr RA berikut: “Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: ‘Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah? Sedangkan Rasulullah adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah. Maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasulullah’. Lalu, sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ‘Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah SAW) kecuali yang haq’.” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Catatan hadits dari Abdullah bin Amr RA ini dinamakan al-Shahifah al-Shadiqah. Selain itu juga ditemukan beberapa shahifah yang ditulis oleh Sahabat lain seperti Shahifah Ali bin Abi Thalib RA, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm. Demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah.

Adapun larangan Rasulullah SAW terhadap Sahabat agar tidak menulis hadits maksudnya tidak menulisnya dalam satu lembar dengan al-Qur’an, supaya tidak terjadi kerancuan.

Selain tradisi menulis, para Sahabat dan generasi selanjutnya juga memiliki tradisi menghafal. Adalah hal yang biasa di kalangan para ulama Islam, selain hafal al-Qur’an juga hafal ribuan hadits. Hal ini sampai sekarang masih terjaga dengan baik. Bahkan di Timur Tengah dan negara tertentu seperti Sudan, Pakistan dan India, anak usia belasan tahun sudah banyak yang hafal al-Qur’an dan ribuan hadits.

Tradisi seperti ini tidak dimiliki kaum Yahudi dan Nasrani sehingga bisa dimaklumi jika sampai sekarang tidak ada tokoh mereka yang hafal kitab sucinya. Inilah yang tidak dipahami oleh Goldziher, karena ia sendiri tidak memiliki tradisi menghafal sebagaimana kaum Muslimin.

Selain itu, para Sahabat, tabi’in dan tabiut-tabi’in juga sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Mereka hanya mau menerima hadits jika telah jelas sanadnya. Ibnu Mubarok, seorang ulama hadits, dengan tegas mengatakan bahwa sanad adalah bagian dari agama. Karena itu para ulama hadits kemudian juga mengembangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad seperti rijal al-hadits, ilmu tabaqat al-ruwat, ilmu tarikh rijal al-hadits, ilmu jarh wa al-ta’dil.

Demikian juga mereka mengembangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan seperti ilmu gharaib al-hadits, ilmu asbab wurud al-hadits, ilmu tawarikh al-mutun, ilmu talfiq al-hadits dan ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan seperti ilmu ‘ilali al-hadits.

Bahkan metodologi hadits yang telah dirangkum oleh para pakar hadits merupakan metodologi yang unik. Sebuah hadits diterima jika rawinya bersifat ‘adil, sempurna ingatannya, sanadnya tidak terputus, hadits itu tidak cacat (‘ilat) dan tidak janggal. Keadilan seorang rawi, dalam pandangan Ibn al-Sam’ani adalah selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan serta tidak mengikuti pendapat salah-satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.

Kriteria yang ditetapkan oleh para ulama hadits juga begitu ketat. Kebenaran suatu hadits bukan saja ditentukan oleh isi namun juga oleh akhlak. Biarpun isinya benar, namun jika buruk akhlaknya, maka periwayatan hadits tersebut akan ditolak. Memasukkan moralitas ke dalam struktur ilmu merupakan keunikan tersendiri dalam bangunan struktur keilmuan Islam.

Karena itu penolakan terhadap hadits jelas merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap kajian ilmiah. Selain bukti-bukti empiris yang menunjukkan tulisan hadits telah dihimpun pada abad pertama hijriah, para perawi hadits juga telah disaring untuk diterima riwayatnya.

Dari keterangan tersebut, tidak ada alasan bagi kaum Muslimin meragukan hadits Rasulullah SAW yang telah dibukukan oleh para ulama hadits. Kalau ada yang ragu, berarti sama saja dia lebih percaya kepada Goldziher yang dikenal sangat membenci Rasulullah SAW daripada kepada para ulama Islam yang mencintai Rasulullah SAW. Tentu sikap seperti ini tidak pantas dimiliki oleh orang yang mengaku pengikut Rasulullah SAW.

Para ulama sengaja menghimpun dan membukukan hadits di antaranya untuk memudahkan memahami al-Qur’an. Sebab tidak semua ayat dalam al-Qur’an bisa dijelaskan oleh ayat lainnya. Malah banyak firman Allah yang bersifat global (mujmal) yang membutuhkan penjelasan dari hadits, seperti tata cara shalat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya. Demikian pula banyak ayat mutasyâbihât yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali melalui hadits.

Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar jika ada orang hanya mencukupkan pada penjelasan ayat lain ketika menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tidak mau menggunakan hadits sebagaimana yang dilakukan oleh Agus Mustofa dalam buku Metode Puzzle dan Aris Gunawan dalam buku  RLQ (Revolutionary Way in Learning Qur’an). Apalagi metode kedua buku tersebut sangat lemah dan tidak ilmiah. Bahkan kalau kita telaah, sebenarnya hal itu hanya pekerjaan mereka yang baru belajar bahasa Arab.

Ini berbeda dengan metode penafsiran para ulama Islam yang sangat ilmiah dan metodologis. Seseorang boleh menafsirkan al-Qur’an jika sudah memenuhi persyaratan tertentu seperti menguasai bahasa Arab, paham asababul nuzul, paham hadits dan lain-lain.

Sedangkan yang dilakukan oleh kedua penulis buku tersebut, jauh dari hal ini. Bahkan keduanya nampak sekali antihadits. Entah karena tidak mengerti atau merasa lebih paham tentang al-Qur’an dibanding Rasulullah SAW sehingga mereka merasa tidak memerlukan hadits. Dan inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh Goldziher, yaitu mendorong umat Islam ragu terhadap hadits, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya yang dangkal dan tanpa ilmu yang memadai. Padahal akibat dari model seperti itu bisa dipastikan penafsirannya salah dan keliru. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *