Metode puzzle, Metode Sesat Ala Agus Mustofa
Yang dimaksud metode ini adalah metode menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an (tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân) bikinan Agus Mustofa.
Caranya, mengambil ayat-ayat yang berkenaan dengan topik tertentu yang tersebar di beberapa surat dalam al-Qur’an, kemudian kita menggabungkannya, merumuskannya, untuk selanjutnya mendapatkan gambaran utuhnya menurut persepsi kita sendiri.
Metode inilah yang digunakan oleh Agus Mustofa dalam mengambil kesimpulan yang terdapat dalam Al-Qur’an. “Semua buku yang saya susun dalam serial diskusi ini menggunakan metode puzzle,”aku Agus Mustofa.
Metode menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an (tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân) memang pada dasarnya menempati grade tertinggi dan merupakan cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun sayang praktik tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân versi Agus Mustofa jauh berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh para ulama ahli tafsir. Ciri-ciri penafsiran Agus Mustofa adalah sebagai berikut:
Pertama, mengumpulkan sejumlah ayat yang dianggap masuk di bawah satu tema tertentu, kemudian melakukan seleksi terhadap ayat-ayat yang cocok dengan persepsi yang ada di benaknya. Lalu setelah menemukan ayat yang agaknya bisa dipelintir, ia mencoba memperkuat ayat tersebut, sambil mengacuhkan ayat-ayat yang lain, atau memalingkannya dari arti tekstualnya.
Sekadar contoh: dalam buku serial diskusi tasawuf modern ke-2, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, sebagaimana diceritakan sendiri, bahwa sebelumnya Agus Mustofa sudah berpersepsi bahwa ‘tidak logis’ kalau akhirat itu kekal, sebab jelas yang kekal itu hanya Allah SWT saja. Karena itu untuk membenarkan persepsi ini, ia kemudian mengumpulkan ayat-ayat mengenai akhirat, lalu menyeleksinya, dan menggiringnya agar sesuai dengan persepsi awal yang telah dibangunnya. Setelah menemukan ayat yang cocok, yaitu ayat yang terdapat dalam QS. Hud [11]: 108, beliau kemudian mati-matian melakukan rasionalisasi, dan menyatakan bahwa akhirat memang tidak kekal, dengan berdasarkan ayat itu:
واَمَّاالَّذِيْنَ سُعِدواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِيْنَ فِيْهَا مَا دَامَتِ السَّماَوَاتُ وَالْاَرْضُ اِلَّاماَ شاَءَ رَبُّكَ عَـطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS. Hud [11]: 108).
Padahal jika ayat al-Qur’an tersebut ditafsiri dengan ayat al-Qur’an yang lain, maka hasilnya adalah sebaliknya, bahwa akhirat itu memang kekal abadi. Demikianlah yang dinyatakan dalam ratusan ayat lain secara tegas. Demikian pula pernyataan dari Hadits-Hadits sahih, sekaligus kesepakatan para ulama.
Kedua, kendati disebut tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân (menafsiri suatu ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain), pada dasarnya juga harus tetap berdasarkan pada metodologi yang baku. Sebab kadang suatu ayat yang menunjukkan keumuman arti (‘âm), ternyata keumuman itu dibatasi oleh ayat yang lain (takhshîshul-‘âm). Atau arti suatu ayat terlalu global (mujmal), sehingga kemudian diperinci (tafshîl) oleh ayat yang lain. Melihat indikasi-indikasi dan petunjuk-petunjuk yang dimunculkan ayat, keterkaitan antara suatu ayat dengan yang mendahului dan yang menyudahinya, dan lain sebagainya. Dan semua ini memerlukan metodologi yang baku.
Gambaran konkret mengenai aplikasi metode tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân bisa kita cek langsung ke dalam kita-kitab tafsir yang menggunakan metode tersebut, misalnya kitab Adhwâ’ul-Bayân fî Tafsîril-Qur’âni bil-Qur’ân karya Syekh Muhammad al-Amin asy-Syanqithi. Tampak jelas bahwa kajiannya dilakukan secara metodologis. Tidak seperti yang dilakukan oleh Agus Mustofa, yang hanya mengumpulkan sejumlah ayat, lalu memadukannya, dan memahaminya hanya dengan berdasarkan akal dan asumsi semata.
Maka adalah salah mempersepsi tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân sekadar seperti permainan puzzle; begitu mudahnya, tanpa metodologi apapun, sebagaimana cara Agus Mustofa. Akhirnya, hasil yang dicapai tentu tidak sesuai dengan maksud al-Qur’an sendiri. Bukannya benar tapi malah sesat dan menyesatkan.
Untuk memudahkan, kita ambil contoh yang sama dengan poin pertama di atas, yakni QS. Hud [11]: 108. Kesimpulan Agus Mustofa bahwa akhirat tidak kekal berdasarkan ayat tersebut, karena ada kata “illâ mâ syâ’a Rabbuka” (kecuali jika Tuhanmu menghendaki [yang lain]) juga keliru total. Sebab selain tidak seirama dengan ratusan ayat yang lain, kajian Agus Mustofa juga tidak metodologis. Dalam hal ini ia tidak memperhatikan rentetan ayat itu. Tapi hanya fokus pada kalimat yang menjadi perhatiannya (illâ mâ syâ’a Rabbuka). Padalah rentetan ayat itu mengatakan “’athâ’an ghaira majdzûdz” (sebagai karunia yang tiada putus-putusnya), yang sebetulnya sudah menepis praduga Agus Mustofa (akhirat tidak kekal) dengan tanpa memperhatikan ayat-ayat yang lain.
Ketiga, kendati terdapat metodologi tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân, tidak lantas kemudian semua ayat al-Qur’an bisa ditafsiri dengan ayat yang lain. Sebab realitanya terdapat sekian banyak ayat-ayat al-Qur’an yang justru penjelasan rincinya tidak didapati dalam al-Qur’an, namun ada dalam Hadits. Karena itu, Tafsîrul-Qur’ân bil-Hadîts adalah sesuatu yang juga niscaya.
Ini jelas berbeda dengan pemahaman Agus Mustofa, yang mengira bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an bisa dijelaskan dengan al-Qur’an pula. Karena itu dengan tegas ia mengatakan “Saya memilih grade alias tingkatan yang paling tinggi. Yaitu memahami al-Qur’an dengan metode: ayat dijelaskan oleh ayat”. (Memahami al-Qur’an dengan Metode Puzzle, hlm. 239-240).
Pernyataan itu adalah benar, tapi kemudian ditanggapi keliru oleh Agus Mustofa. Bahwa selanjutnya ia benar-benar menafsiri al-Qur’an hanya dengan al-Qur’an, tanpa menengok Hadits sama sekali, terkecuali Hadits yang searah dengan pikirannya saja. Padahal tanpa Hadits, misalnya, ia tidak akan pernah bisa mengetahui bagaimana cara shalat yang benar, sebab al-Qur’an hanya memerintahkan “aqîmush-shalâh” (dirikanlah shalat), dengan tanpa memberikan penjabarannya. Begitu pula perintah puasa, zakat, dan haji. Perintah dalam al-Qur’an adalah global, kemudian dirinci dan dijelaskan oleh Hadits. Demikian pula ayat-ayat mutasyâbihât yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali melalui Hadits.
Dengan demikian, jelaslah sudah, bahwa metode puzzle yang digunakan Agus Mustofa untuk menafsiri al-Qur’an, berbeda seratus persen dengan metode tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân yang digunakan oleh para ulama. Metode puzzle inilah yang menjerumuskan Agus Mustofa ke dalam jurang-jurang terjal kekeliruan, seperti terjadi pada sekte-sekte sesat.(Sdgr/rl)