Lexus dan Pohon Zaitun dalam Pergulatan

Friedman menulis, dunia baru yang ditandai globalisasi selalu ditandai oleh pertarungan dua kepentingan, yaitu antara mereka yang mengejar kekayaan atau kehidupan modern (the lexus) dan mereka yang masih bertempur mempertahankan identitas lama (the olive, pohon zaitun).

Friedman melukiskan globalisasi dari pengalamannya menikmati sushi di kereta api super cepat di Jepang. Bersamaan dengan itu, Jepang juga tengah mengeluarkan produk baru dalam bidang otomotif, mobil Lexus yang canggih.  Sementara Friedman menikmati sushi di kereta api super cepat dan Jepang baru saja luncurkan produk mobil canggih Lexus, pikiran Friedman melayang, menekuri bacaan di hadapannya. Matanya tak lepas menatap isi bacaan yang mengetengahkan konflik tiada akhir di Timur-Tengah, konflik Palestina-Israel, konflik yang mempertahankan old identity (identitas lama). Aspek identitas akan selalu menjadi objek perbincangan saat wacana globalisasi digulirkan. Dalam arus globalisasi, identitas adalah hal yang eksistensinya paling terancam.

Untuk konteks Islam, kita ganti saja pohon zaitun dengan nilai-nilai keislaman yang berusaha dipertahankan di era globalisasi, sebuah era yang membawa perubahan yang cepat dalam kehidupan umat manusia. Kecepatan perubahan yang dibawa globalisasi mengancam keberlangsungan tradisi agama-agama besar maupun budaya lokal. Dalam era globalisasi, orang berbicara mengenai lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan; yang kesemuanya bergerak di atas landasan kapitalisme sebagai paradigma ekonomi global. Mengenai hal ini, Friedman memiliki postulat yang berbunyi, “Cepat atau lambat Lexus akan selalu mengejar Anda.”

Bagi umat Islam, adaptasi terhadap globalisasi bukan tanpa syarat. Dalam mensikapi perkembangan zaman yang terus berubah, umat Islam adalah umat yang berada di garis pertengahan, tidak berat ke kanan maupun ke kiri; tidak menjadi ekstrim kanan yang meninggalkan urusan dunia sama sekali, dan tidak menjadi ekstrim kiri yang hancur lebur dalam gemerlap dunia. Pergulatan umat Islam dalam mempertahankan pohon zaitun yang mewakili old identity di tengah kecepatan laju Lexus yang mewakili kekayaan atau kehidupan modern membentuk pola-pola interaksi  yang unik.

Fenomena spiritualitas cyberspace menjadi contoh sempurna dari pola interaksi – meminjam istilah Thomas L. Friedman – Lexus dieksploitasi oleh pohon zaitun. Globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah mempengaruhi berbagai aktivitas manusia, termasuk aktivitas keberagamaan atau spiritualitas. Teknologi inter-networking of network atau disingkat internet telah membuka akses yang tak terbatas bagi umat Islam untuk melakukan spread of values (penyebaran nilai-nilai). Di internet, umat Islam berlomba-lomba memberdayakan kekuatan cyberspace untuk mentransformasikan peribadahan, organisasi keagamaan, umat beragama, bahkan gagasan inti keagamaan. Sehingga kini berkembang istilah “Bertanyalah pada Syeikh Google.” Istilah ini mengacu pada informasi seputar keislaman yang membludak, yang bisa kita dapatkan hanya dengan mengklik search engine Google. Hal ini tentu berbanding lurus dengan pertambahan jumlah data di internet yang menyediakan layanan informasi seputar keislaman secara signifikan. Ditambah lagi dengan kekuatan jejaring sosial, konsep Ummah menjadi aplikatif dengan cara yang unik.

Dalam hal ini, internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi budaya yang menjanjikan, dan mempercepat penyebaran serta pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan cendekiawan di seluruh penjuru dunia. Cyberspace merupakan medan yang telah diciptakan tanpa gangguan. Dia mampu menggapai tempat yang paling terpencil sekalipun. Ia juga membangkitkan potensi-potensi yang ada dalam agama-agama. Dalam konteks agama Islam, setiap sarana atau alat bisa menjadi media menyebarkan nilai-nilai. Dengan mengacu kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, fenomena spiritualitas cyberspace mewakili resistensi Islam terhadap perubahan zaman. Setiap perubahan zaman pasti mampu direspon secara cerdas oleh umat Islam.

Hal ini selaras dengan tesis seorang palentolog bernama Teilhard de Chardin. Chardin berupaya menunjukkan bahwa nilai-nilai abadi agama dapat dipertahankan setelah diintegrasikan dengan pandangan sains modern tentang evolusi kosmik. Evolusi kosmik pada dasarnya adalah kecenderungan benda-benda untuk bergabung membentuk sistem-sitem yang lebih kompleks dan menyatu. Mulai dari atom, molekul, sel, sistem organ, dan akhirnya tubuh manusia, yang memiliki sistem syaraf kompleks. Otak manusia, sebagai pusat sistem syaraf cukup kompleks, memungkinkan adanya kemampuan berpikir, kesadaran diri, dan tanggung jawab moral. Pada akhirnya, semua kesadaran manusia itu akan bersatu dengan apa yang Chardin namakan titik Omega, yang tak lain adalah Tuhan itu sendiri.

Lexus berjaya atas pohon zaitun memberikan tantangan sekaligus peluang besar bagi umat Islam. Sistem produksi dan pemasaran yang digunakan oleh perusahaan multinasional (dengan sistem lisensi) tidak hanya efektif saat diterapkan pada produk-produk yang bisa diraba dan dilihat secara fisik. Menjaga cita rasa global dengan tetap berpijak pada elemen-elemen lokalitas merupakan tagline yang tertera pada produk-produknya.

Globalisasi nilai-nilai dan pemikiran asing yang dioperasikan lewat sistem perusahaan multinasional mengintimidasi bahkan mendekonstruksi nilai-nilai Islam. Hubungan kemitraan antara lembaga-lembaga asing yang berbasis di Amerika dan negara Barat lain dengan lembaga-lembaga lokal yang berbasis di Indonesia telah menciptakan sistem pemasaran nilai-nilai dan pemikiran asing yang sophisticated. Sekularisme, pluralisme, relativisme, liberalisme dipaksa masuk dan dikonsumsi oleh umat Islam, tanpa batas dan aturan, tanpa bisa dibendung. Sejumlah media lokal turut menjadi bagian dari berjalannya sistem ini. Berbagai buku, jurnal, penelitian, situs di halaman internet dan semacamnya diterbitkan dalam jumlah yang signifikan, yang bahkan mengarah pada komodifikasi informasi dalam bentuknya yang masif.

Ajaibnya, semua ini dikendalikan dari pusat yang berada nun jauh di benua lain alias lintas batas negara. Mereka memegang “remote control”, mengendalikan aktivitas agen-agen lokal mereka di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Sejumlah lembaga seperti The Ford Foundation dan The Asia Foundation menjadi pemain utama di ranah  pemikiran liberal di tanah air. Kedua lembaga ini bermitra dengan lembaga-lembaga lokal d tanah air untuk menyebarkan nilai-nilai dan pemikiran asing. Mereka juga menetapkan SOP (Standard Operating Procedure)  yang harus dipatuhi oleh agen-agen lokal yang bekerja untuk mereka. Semua itu untuk satu tujuan; menyeragamkan cara berpikir umat Islam.

Globalisasi menghendaki penyeragaman selera, yakni selera global. Disebabkan sifat hegemonis selera global inilah banyak pihak yang melihat globalisasi sebagai bentuk baru imperialisme Barat. Berbagai kritikus budaya melihat homogenisasi ideologis sebagai proses yang mengkhawatirkan dan penuh ancaman, dan oleh karena itu harus ditolak. Jerry Mander misalnya, melihat model pembangunan dunia yang seragam merupakan refleksi dari visi korporasi budaya untuk melayani kepentingan ekonomi Barat.

Lexus berjaya atas pohon zaitun juga bisa dilihat dari lenyapnya batas sosiologis antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa. Keterbukaan dan kebebasan yang ditawarkan globalisasi telah mendorong penganekaragaman produk, informasi dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global, yang menawarkan pula banyak pilihan. Setelah semua batas tersebut lenyap, yang kemudian terbentuk adalah jaringan transparansi global, termasuk jaringan transparansi seksual.  

Dalam jaringan transparansi seksual, batas-batas sosial antara dunia anak-anak dan orang dewasa lenyap di tangan cyberporn atau situs porno, tayangan porno di televisi, majalah porno dan berbagai bentuk pornografi serta pornoaksi lainnya yang disalurkan lewat media. Nilai-nilai dan tradisi menjadi terbongkar, terbuang usang, diganti oleh gaya hidup yang melampaui norma-norma, menabrak etika dan membuang tabu. Hal ini kemudian menjadi kegelisahan terbesar para orang tua dan orang-orang yang terjun di dunia pendidikan. Secara panik mereka berusaha mencari cara mengawasi interaksi anak-anak dengan dunia cyberspace, bahkan sebisa mungkin meminimalkannya.

Di dalam jaringan transparansi global, segala sesuatu yang berada di dalam orbit tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ancaman kontaminasi. Kontaminasi ini pada titik tertentu akan memengaruhi eksistensi dan masa depan satu jaringan. Masalah yang kemudian muncul dari kontaminasi ini adalah masalah nilai dan moralitas.

Pola interaksi pohon zaitun yang mengeksploitasi Lexus dan Lexus berjaya atas pohon zaitun, jika dianalisa dari sudut pandang semiotika, maka Akbar S. Ahmed melukiskannya secara dramatis bahwa di balik citraan-citraan yang mengalir di media dalam tempo yang tinggi, di sana sesungguhnya terjadi pertarungan besar semiotik antara dua filsafat berlawanan, yang satu adalah filsafat materialisme/sekuler yang menolak iman (baca: dekonstruksi), dan yang lain adalah filsafat yang menjadikan iman sebagai landasan wacananya. Yang satu adalah satu bentuk kehidupan hampa yang dipenuhi oleh hutan rimba konsep-konsep-konsep; sementara yang lainnya, adalah kehidupan yang berisi iman, yang menjadikan konsep-konsep tersebut sebagai wahana untuk memperkukuh iman itu sendiri.

Dalam hal ini sebetulnyayang perlu ditolak bukanlah media, bukan pula semiotika itu sendiri. Tapi, yang perlu ditolak pada media dan semiotika, khususnya, adalah sifat anarkisnya yang tak bertanggung jawab. Sebab, apabila media atau semiotika itu sendiri yang ditolak, maka penolakan ini akan menjadikan kita tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin mutakhir dan menguasai dunia dewasa ini, sebagaimana tak berdayanya Marxisme menghadapi perkembangan komoditi dan media pada masyarakat kapitalis mutakhir.

Sebaliknya,tugas seorang cendekiawan Muslim justru adalah menjadikan semiotika sebagai satu metode untuk menegakkan yang haq dan memusnahkan yang bathil. Tugas ahli semiotika yang bernafaskan spiritual adalah membangun upaya-upaya yang kreatif dan dinamis untuk merefleksikan pesan-pesan keagamaan dalam berbagai wacana media, tanpa terjebak oleh sifat anarkis. Era globalisasi mampu diantisipasi oleh umat Islam secara cerdas dan kreatif tanpa kehilangan tradisinya. Pohon zaitun mampu memanfaatkan kecepatan laju Lexus.

Wallahu’alam bishshawwab. []

*Penulis adalah peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *