Pesantren Diharapkan Menjadi Pelopor Islamisasi Ilmu

InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya pada 21/01/2012 mengadakan diskusi regular. Kali ini, mengangkat tema Pesantren dan Peradaban. Dilaksanakan di Sekretariat InPAS, Kholili Hasib MA mempresentasikan makalah berjudul “Optimalisasi Pesantren dalam Membangun Peradaban”, yang naskahnya bisa kita baca pada rubrik artikel di situs ini.

Diskusi yang dimulai pukul 13.00 hingga 15.00 itu dan dihadiri para peneliti InPAS serta dua tamu itu memang banyak membahas isu-isu tantangan pesantren dalam proyek Islamisasi ilmu. Kholili Hasib memaparkan pentingnya pesantren tradisional melakukan terobosan epistemologis. Menurut dia, pesantren merupakan komunitas pengkaji ilmu yang perlu dioptimalkan. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan kerja-kerja integrasi ilmu, yakni antara ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Mengingat, selama ini telah tertancap mindset awam tentang dikotomisasi antara ‘ilmu keislaman’ dan ‘ilmu umum’.

“Proses pengajaran perlu didasari oleh falsafah integralistik. Yaitu penyatuan secara hirarkis antara ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah,” tambah lulusan S2 ISID Gontor itu. Maka, simpul Kholili, “Peradaban tidak akan tegak, jika komunitas pengkaji ilmu belum siap melakukan Islamisasi ilmu”. 

Dalam presentasinya, ia mengusulkan, pesantren menambah materi tentang teori-teori pandangan hidup Islam dan tantangan keilmuan kontemporer. Setelah itu dapat mempelajari kitab-kitab sains yang ditulis oleh para ulama dahulu, seperti al-Khawarizmi, Fakhruddin al-Razi, Ibn Sina dan lain-lain.

Di sesi tanya jawab, Bahrul Ulum mengapresiasi gagasan dalam makalah tersebut. Menurutnya, pesantren memiliki potensi dan peluang besar menggali konsep-konsep baru seperti konsep-konsep yang dibutuhkan dalam ilmu ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, psikologi Islam dan lain-lain.

Berkaitan dengan itu, Bahrul menyatakan bahwa InPAS perlu membuat materi tentang tradisi keilmuan, peradaban dan Islamisasi. Materi itu dapat disampaikan ke pesantren. Dengan begitu timbul kesadaran bahwa mempelajari ilmu-ilmu yang disebut ‘umum’ itu sangat penting. Terlebih lagi, karena dunia Islam kini mengalami kemandegan dalam bidang sains. Mempelajari ilmu sains adalah fardhu (wajib) bagi sebagian kaum muslimin.

Penanggap yang lain adalah Muhim Kamaluddin. Dia tertarik untuk ‘menyoal’ usulan pemakalah agar pesantren “Mempelajari kitab-kitab sains yang ditulis oleh para ulama dahulu, seperti al-Khawarizmi, Fakhruddin al-Razi, Ibn Sina dan lain-lain”. Kata Muhim, dalam praktiknya nanti tidak sesederhana yang kita bayangkan. “Mempelajari kitab-kitab sains, terutama yang ditulis oleh Ibn Sina –Qonun fi al-Tibb – itu sangat sulit dipelajari, karena penuh dengan bahasa-bahasa teknis kedokteran,” kata Muhim.

Muhim lalu menceritakan pengalamannya. Ia pernah meminta seorang santri senior yang sudah ahli membaca kitab-kitab kuning untuk menerjemahkan kitab Qonun fi al-Tibb. Akan tetapi, si santri tidak mampu. Lalu, Muhim meminta bantuan kepada seorang dokter. Hasilnya, sama, yaitu tidak mempu memahami kitab kedokteran yang telah menjadi text book di fakultas-fakultas kedokteran di Eropa selama empat abad (sampai abad ke-18 M) itu.

Menjawab hal itu, menurut Kholili, memang kerja Islamisasi ilmu itu bukan kerja mudah. Butuh beberapa waktu untuk menemukan konsep-konsep dasar yang dibutuhkan dalam sains Islam. Maka, ia mengusulkan, selain melakukan proyek terobosan epistemologis, pesantren perlu bersinergi dengan lembaga lain dan para ahli.

Lalu, “Perlukah ulama berkategori polymath?” Pertanyaan Kartika PL itu dijawab pemakalah, bahwa dengan bercermin kepada sejarah, maka ulama seperti itulah yang memang ideal dicetak pesantren sekarang ini. Di masa lalu, banyak –untuk tak menyebut rata-rata- ilmuwan Muslim yang polymath yaitu menguasai banyak bidang ilmu dengan sama baiknya, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lain-lainnya.

Ulama yang ‘polymath’ adalah ulama yang ahli tidak hanya dalam ilmu fardhu ‘ain saja, tapi juga ilmu fardhu kifayah. Memang tidak mudah untuk ‘memproduksi’ ulama seperti itu, tapi itu bukan berarti tidak mungkin. Untuk itu perlu kesabaran, kerja keras, dan kesungguhan yang sinergis antara para ulama, santri dan saintis muslim.

Diskusi menjadi lebih menarik, karena kecuali dihadiri oleh aktivis InPAS, juga turut hadir Bapak Djamaluddin, seorang dokter yang selama ini tertarik dengan isu-isu Islamisasi ilmu dan peradaban Islam. Beliau  -yang pernah nyantri pada masa remajanya- menyambut baik gagasan agar materi ‘ilmu-ilmu umum’ juga dikonsumsi santri. Terkait ini, “Barangkali, sekarang kita perlu membina lebih serius keberadaan Pesantren Mahasiswa,” tuturnya.

Gagasan lelaki yang juga aktivis Masjid Unair di pertengahan 1980-an itu cukup logis. Logikanya, ada potensi luar biasa apabila setelah santri mendalami turats-turats dasar di pesantren tradisional kemudian dikembangkan lagi di Pesantren Mahasiswa. Terlebih lagi, pada saat yang sama mereka belajar ilmu-ilmu sains di ‘perguruan tinggi umum’. (za)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *