Koreksi Pesantren Sidogiri untuk Agus Mustofa (1)
inpasonline.com, 30 Desember 2010
Memang, nama Agus Mustofa belum begitu tenar untuk tingkat nasional. Hal itu dibuktikan oleh penulis ketika menawarkan buku koreksiannya ini di Kota Jogja, terlihat masih banyak orang yang menanyakan siapa Agus Mustofa? Tapi bagi publik Jawa Timur apalagi di Surabaya, nama Agus Mustofa sudah cukup populer sebagai penulis buku-buku yang mengusung tema besar Serial Buku Diskusi Tasawuf Modern. Buku-bukunya yang sangat provokatif banyak diminati dan ditunggu oleh para pembacanya. Tidak sedikit pula yang mengamini pemikirannya. Padahal, buku-bukunya banyak mengandung pemikiran yang berbeda dengan ajaran Islam, seperti buku Ternyata Akhirat tidak Kekal dan Tidak Ada Azab Kubur. Hal inilah yang menggelitik para santri Sidogiri untuk menelaah dan mengkritik pemikiran Agus Mustofa ini.
Seperti biasanya, buku-buku yang dihasilkan oleh penulis-penulis Sidogiri selalu kaya dengan referensi yang sangat memadai. Termasuk buku ini yang diberi judul Menelaah Pemikiran Agus Mustofa: Koreksi Terhadap Serial Buku Tasawuf Modern, juga dipenuhi dengan referensi yang sangat kuat. Tiap halaman hampir selalu dihiasi dengan footnote yang menguatkan argumen-argumen yang dibangunnya, baik dari kitab-kitab klasik maupun buku modern. Semua argumen Agus Mustofa yang kontroversial dibantah dengan dalil-dalil yang sangat kuat dan rujukan yang otoritatif.
Kandungan buku ini dibagi dalam dua kelompok bab, bab pertama membahas penyimpangan metodologi yang dilakukan Agus Mustofa dalam hampir setiap buku-buku yang ditulisnya. Dalam bab ini dipaparkan secara gamblang bagaimana sebenarnya metode Agus Mustofa menulis buku-bukunya. Hal ini didasarkan pada pengakuan Agus Mustofa sendiri yang dengan lugas menyatakan bahwa buku-buku serial diskusi tasawufnya ditulis dengan metode puzzle. (Memahami Al-Qur’an dengan Metode Puzzle, hal. 242). Caranya, ia mengumpulkan sebanyak mungkin ayat-ayat yang dianggap masuk dalam satu tema tertentu, kemudian dirangkai dan diolah kembali menjadi sebuah bangunan pemahaman yang utuh. Jadi benar-benar mirip seperti anak-anak bermain puzzle.
Sebenarnya, secara realitas metode seperti itu sudah banyak yang memakainya dari kalangan umat Islam, mungkin yang aneh hanya namanya saja. Dan metode seperti itu tidaklah menjadi masalah jika dilakukan dengan profesional dan memahami kandungan ayat-ayatnya dengan benar. Masalahnya, apakah Agus Mustofa termasuk kalangan profesional? Inilah yang ternyata menjadi titik kesalahan terbesarnya, yaitu tidak mampu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar. Oleh karena itu, tidak heran jika akhirnya ia melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang kontroversial di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu, santri Sidogiri ini memberikan beberapa catatan kritis pada metode tafsir khas Agus Mustofa ini. Meskipun Agus Mustofa mengaku metodenya sebagai tafsirul Qur’an bil-Qur’an (menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an), yang mempunyai grade tertinggi diantara metode tafsir yang lain, ternyata tidaklah sama dengan yang dimaksud oleh para ulama. Kajian para ulama terhadap tafsirul Qur’an bil-Qur’an didasarkan pada metodologi yang baku. Sebab kadang suatu ayat yang menunjukkan keumuman arti (‘am)dibatasi oleh ayat yang lain (takhshishul-‘am), atau suatu ayat yang global (mujmal) diperinci oleh ayat yang lain (tafshil). Juga mesti melihat indikasi-indikasi dan petunjuk-petunjuk yang dimunculkan ayat, keterkaitan suatu ayat dengan ayat yang mendahuluinya dan menyudahinya. Semua ini tentu memerlukan metodologi yang baku. Salah satu contoh yang baik tafsir model ini adalah kitab Adhwa’ul Bayan fi Tafsiril Qur’ani bil Qur’an karya Syaikh Muhammad Al-Amin asy-Syanqithi.
Di samping itu, Agus Mustofa juga terkesan menutup-nutupi atau memalingkan arti ayat-ayat yang tidak sesuai dengan persepsi yang telah diusungnya. Tidak semua ayat yang dikumpulkan kemudian dijadikan landasan berpikirnya, tetapi hanya ayat-ayat tertentu yang sesuai dengan harapannya. Ini jelas menunjukkan bahwa metode yang dipakainya tidak konsisten alias ngawur. Fakta ini ini hampir bisa ditemui dalam semua buku-bukunya.
Salah satu contoh yang sangat gamblang terdapat dalam bukunya Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Sebagaimana diceritakan sendiri, sebelumnya Agus Mustofa sudah berpersepsi bahwa tidak logis jika akhirat itu kekal, sebab yang maha kekal tentu hanya Allah SWT. Untuk membenarkan persepsi ini, ia kemudian mengumpulkan ayat-ayat dengan cara men-search dari Al-Qur’an digitalnya, kemudian dipilah-pilah dan menggiringnya agar sesuai dengan persepsi awalnya. Salah satu ayat yang dijadikan pembenaran dari persepsinya tersebut adalah QS. Hud: 108;
وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ
Artinya: Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS. Hud: 108)
Menurutnya, berdasarkan ayat ini jelas bahwa akhirat memang tidak kekal. Padahal jika ayat ini ditafisiri dengan profisonal, maka hasilnya berbeda 180 persen dari persepsi Agus Mustofa ini. Tentu saja diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap kaidah-kaidah Bahasa Arab, Tafsir Al-Qur’an dan pendapat-pendapat ulama ahli tafsir. Jika kita baca pendapat para ulama dalam menafsiri ayat ini di beberapa kitab tafsir, maka tidak ada satupun dari mereka yang berkesimpulan seperti Agus Mustofa ini. Jadi, dari dari mana ia mendapat sumber penafsiran ini? tentu tidak lain berdasarkan pada akalnya sendiri. Model penafsiran inilah yang dikecam oleh para ulama. Naudzubillah. (mm-sdgr)
Ass.wr.wb
Terus menurut pengasuh memahami alquran bagaimana yang benar, Padhal Agus mustopa memberikan pilhan pemahaman.
Uraian diatas tidak memberikan solusi yg lbh baik cuman mengritisi metodenya Agus mustopa
Yang menilai baik dan benar itu hanyalah Hak Allah Swt…karena surga dan neraka itu milik Allah…manusia hanya berusaha menjadi yg baik dan benar…karena berbeda penafsiran…dan kita harus hormati perbedaan itu….
Anda mengkritisi pemikiran PK Agus,dan anda hrs tahu bhw sy pun mengkritisi pemikiran anda, sampai saat ini pemikiran PK Agus yg lebih logis referensi ny jls,,di banding anda.
Zip…!
pak Agus bahas masalah sholat dong…
membaca artikel di atas kami menjadi semakin merasa tidak berilmu.
kami tidak akan mengkritisi pak agus dan pemikirannya, tidak pula mendebatnya. karena memang tidak ada gunanya karena ilmu kami juga masih terbatas. yang kami yakini bahwa menafsir Al Quran memang membutuhkan dasar keilmuan yang tidak bisa abal-abal, tidak bisa sembarangan, harus melalui guru bersanad. ingat, mengkritik pak agus bukan berarti memojokkan, kritik adalah membangun. karena berkaitan dengan aqidah, maka ini krusial untuk diluruskan. kebanyakan masyarakat, kami pun sangat tertarik dengan tulisan pak agus, menimbulkan penasaran, dan karena dapat diterima akal manusia. namun akal dan ilmu manusia tersebut sangat terbatas. ustadz Khalid Basalamah menasihati kami bahwa dalil berada di atas akal. akal manusia yang terbatas ini sebaiknya dipakai berlandaskan kalimat sami’na wa atho’na. mudah-mudahan pak agus sekeluarga dan kita semua dalam kedangkalan ilmu ini senantiasa diberikan hidayah oleh Allah sehingga terhindar dari fitnah dunia dan kukuh dalam aqidah yang benar.
Mau bahas Qur’an syarat pertama tentu fasih berbahasa Arab. Mana mungkin bisa menelaah Qur’an hanya berdasarkan terjemahan plus bahasa Arab yg terbatas? Tafsir Qur’an itu bukan perkara mudah. Ulama besar yg berbahasa Arab saja butuh berjilid2 buku utk menjelaskannya. Kalau hanya mengandalkan logika pikiran sendiri sih semua juga bisa. Bisa salah.
Belajar itu lebih baik dari orang-orang yg memang punya latar belakang keilmuan terkait, atau punya sumber referensi2 valid & sahih.
semoga ybs tahu kalau dikritisi oleh yang lain