Koreksi Pesantren Sidogiri untuk Agus Mustofa(2)

Tidak Perduli Dengan Hadits

Salah satu masalah lain dari Agus Mustofa yang menjadi sorotan santri Sidogiri ini adalah minimnya peran Hadits dalam karya-karyanya. Padahal tema yang dibahas dalam banyak karyanya merupakan permasalahan agama yang sangat vital, khususnya aqidah Islamiyah. Sudah seharusnya ia memperkaya dengan keterangan Hadits, termasuk keterangan para ulama. “Tapi, Agus Mustofa seakan tidak perduli dengan Hadits, dan bahkan dalam batas-batas tertentu terkesan seperti anti Hadits,” jelas Qusairi.

Penulis buku Menelaah Pemikiran Agus Mustofa ini, memberikan beberapa contoh tetang fakta ini. Diantaranya, dalam buku Metamorfosis Sang Nabi, hlm. 242, Agus Mustofa menegaskan bahwa peninggalan Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an dengan tanpa menyebut Hadits atau Sunnah. Dalam bukunya yang lain, Tak Ada Azab Kubur, hlm. 155, ia menegaskan bahwa memang azab kubur tidak berdasarkan Al-Qur’an, yang ada hanya berdasarkan Hadits. Tapi itu tidak digunakannya dan tetap berprinsip bahwa tidak ada azab kubur. Ia juga tetap berkesimpulan bahwa Adam dan Hawa dilahirkan meskipun Hadits sangat jelas berbicara tentang penciptaan Hawa sebagaiman ditegaskan dalam bukunya Adam Tak Diusir dari Surga, hal. 71-72. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa diketengahkan di sini.

Hal itu belum ditambah dengan beberapa bukunya yang memang sengaja tidak menyinggung Hadits sama sekali, atau menurut istilah santri Sidogiri, keengganan terhadap Hadits yang tidak langsung dinyatakan dalam karyanya. Ketika membahas akhirat misalnya, tidak satupun keterangan Agus Mustofa yang merujuk pada Hadist, padahal untuk topik tersebut sangat mutlak informasi dari Hadits. Termasuk dalam kajiannya tentang azab kubur yang dianggapnya tidak ada, itu tidak lain hanya karena tidak ada infornasinya di Al-Qur’an. Padahal, jika Agus Mustofa mau, tidak sulit sebenarnya mencari kumpulan Hadits dan terjemahannya, baik soft file atau software. Tapi mengapa dia tidak menggunakan itu semua? Ada apa dengan Agus Mustofa?

Tidak hanya berhenti pada merduksi peran sentral Hadits, menurut santri Sidogiri ini, ternyata Agus Mustofa juga punya metode sendiri untuk menilai kesahihan sebuah Hadits, bahkan tidak segan-segan meremehkan Hadits dan para perawinya. Dalam bukunya, Tak Ada Azab Kubur?, hlm. 213-214, ia menulis:

Kita bisa membayangkan, betapa riskannya kita memahami ucapan Nabi berdasarkan cerita dari orang lain (perawi Hadits). Bukannya kita tidak percaya, tetapi harus berhati-hati. Karena sangat boleh jadi, orang-orang yang meriwayatk Hadits itu tidak paham seratus persen apa yang dimaksudkan oleh Nabi.

Tetapi karena Hadits-Hadits itu diceritakan berdasarkan kepahaman, maka kita harus menyeleksi dengan ketat. Acuannya gampang, cocokkan saja dengan Al-Qur’an. Kalau ada Hadits yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, maka bukannya Al-Qur’an yang perlu disalahkan, melainkan Haditsnya yang harus disisihkan. Maka, dalam hal azab kubur ini pun kita harus mengambil Al-Qur’an sebagai sumber utama terlebih dahulu. Jika di Al-Qur’an ada, maka Hadits-Hadits itu berfungsi sebagai Hadits penjelasan. Akan tetapi jika di Al-Qur’an tidak ada, kita harus menyeleksi dengan secara ketat Hadits-Hadits tentang azab kubur.

Dalam bukunya yang lain, Membonsai Islam, hlm 224-227, ia lebih tegas lagi menyatakan:

Maka saya katakan kepada kawan saya itu, kalau ada Hadits bertentangan dengan isi Al-Qur’an, kita harus pilih yang mana? Tentu saja kita pilih Al-Qur’an. Sedangkan Hadits adalah cerita yang diriwayatkan oleh manusia tentang apa yang diperbuat atau dikatakan Rasulullah SAW. Redaksi Hadits bisa berubah sesuai periwayatannya. Karena Hadits diceritakan secara berantai lewat kepahaman makna, bukan secara lafdzi alias redaksi baku. Karena itu dalam hal ini saya mengambil pemahaman ayat-ayat Qur’ani, sebagai dasar pijakan tentang keharusan menggunakan akal dalam beragama. Bukan mengambil Hadits itu.

Tentu saja pernyataan-pernyataan Agus Mustofa itu tidak berdasar dan terkesan menghina Hadits. Padahal ilmu tentang Hadits (Ulumul Hadits) di kalangan umat Islam sudah sangat mapan dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, termasuk kajian kritis terhadap perawi-perawi Hadits (Jarh-wat ta’dil). Jika menurut Agus Mustofa terdapat beberapa Hadits yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, maka yang perlu dilacak terlebih dahulu bagaimana ia memahami keduanya. Jangan karena pengetahuannya tidak mumpuni lalu dengan serampangan mengatakan bertentangan. Padahal belum tentu seperti itu jika ia mau merujuk pada tafsir keduanya. Tidak akan mungkin terjadi pertentangan antara Al-Qur’an dan al-Hadits, hal ini sudah dibuktikan oleh para ulama yang otoritatif di bidangnya.

Jika penilaian Agus Mustofa terhadap Hadits seperti itu, maka tidak heran jika ia enggan menggunakan Hadits dalam karya-karyanya. Dampak dari keengganan terhadap Hadits inilah yang menyebabkan karya-karya Agus Mustofa ini sering bertentangan dengan konsensus para ulama. Tidak heran pula, jika para tokoh Islam dan santri banyak memberikan kritik dan menasehatinya dengan dalil-dalil yang lugas. Tapi jika Agus Mustofa bergeming dengan pendiriannya, tentu mereka hanya menyampaikan, urusan hidayah mutlak di tangan-Nya. (mm)              

 

  

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *