Oleh: Bahrul Ulum
Inpasonline.com-CIRI Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah inshaf (adil dan pertengahan) dalam bersikap. Salah satu contohnya adalah persoalan qunut di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat sunnah. Sedang Imam Hanafi dan Imam Ahmad berpendapat sebaliknya.
Adanya perbedaan tersebut, yang menarik adalah sikap Imam Sufyan Ats Tsauri yang berkata bahwa berqunut pada shalat Subuh itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401).
Begitulah cara ulama salaf menyikapi perbedaan pendapat. Ini berbeda dengan sikap sebagian orang-orang sekarang dalam menyikapi hal yang sama.
Sebagai contoh dalam sebuah majalah yang membahas masalah ini dimana si penulis menulis, ”Alhamdulillah, shalat di belakang imam yang sesuai dengan sunnah adalah lebih baik, walau harus berjalan cukup jauh dari rumah kita. Akan tetapi mungkin di beberapa tempat atau daerah hal seperti itu sulit untuk mendapatkannya, sehingga terpaksa shalat berjama’ah di belakang imam yang terus menerus melakukan qunut shubuh. [Majalah As-Sunnah 01/Th VI/1423H/hal.4-5].
Dari tulisan ini seakan penulis mengatakan bahwa shalat Subuh yang tidak pakai qunut sesuai dengan sunnah dan yang pakai qunut tidak sesuai dengan sunnah. Apalagi penulis kemudian mengambil pendapat Imam Hanafi agar makmum tidak ikut qunut di belakang imam qunutdengan manambahi bahwa hal tersebut tidak disyariatkan dalam Islam. Padahal Imam Hanafi hanya berpendapat bahwa qunut Subuh itu adalah hukum mansukh (yang telah dihapuskan).
Dari sini bisa kita lihat bahwa penulis ini bersikap tidak adil. Bandingkan dengan perkataan Imam Sofyan ats-Tsauri yang ilmunya jauh lebih tinggi namun bisa bersikap adil.
Memang untuk bersikap adil dibutuhkan kedalaman dan keluasan ilmu. Hanya orang yang berilmu tinggi dan hatinya bersih yang bisa bersikap seperti Imam Sofyan ats Tsauri.
Karenanya, Imam Suyuti sejak awal mewanti-wanti agar umat Islam tidak terlalu fanatik terhadap mazhabnya yang bisa menyebabkan terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat. Ia berkata,”Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furu’iyah tersebut benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. (As-Suyuthi, dalam Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Madzahib, hlm. 21-23)
Belajar Inshaf dari Imam Ahmad
Meski Imam Ahmad berpendapat bahwa qunut Subuh itu bid’ah. Namun beliau tidak pernah mengatakan bahwa amalan tersebut tidak disyariatkan dalam Islam. Terbukti jika shalat di belakang imam yang qunut, beliau ikut qunut dan mengamininya. Hal ini ia lakukan dalam rangka menyatukan kalimat, melekatkan hati, menghilangkan kebencian antara satu dengan lainnya. (Ibnu U’tsaimin, Syarah Mumti’ 4/64).
Sikap Imam Ahmad seperti ini menunjukkan bahwa beliau inshaf (adil dan pertengahan) terhadap permasalahan yang diperselihkan oleh para ulama. Meski berbeda pendapat dengan ulama lainnya, bukan berarti kemudian mengatakan pendapat lain tidak disyariatkan Islam. Buktinya beliau masih mengikuti qunut dan tidak membatalkan shalatnya. Amalan yang tidak disyariatkan berarti tidak boleh dilakukan. Namun Imam Ahmad malah dengan tegas mengikuti seorang imam yang qunut dan mengamininya. Kalau beliau menganggap qunuttidak disyariatkan pasti tidak akan mau shalat di belakang orang yang qunut.
Sikap Imam Ahmad ini patut dicontoh oleh para ulama dan dai dewasa ini. Meski tidak sependapat dengan ulama lainya, hendaklah tetap bersikap inshaf (adil dan pertengahan).
Al-Quran dan As-sunnah menjelaskan bahwa sikap inshaf adalah akhlak mulia yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Adab-adab yang terkait dengannya, sangat penting untuk diperhatikan agar seorang muslim tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan dzalim, yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sikap inshaf terhadap orang yang berbeda merupakan manhaj Ahlus sunnah wal Jamaah.Salafus saleh sepakat agar setiap orang yang ingin menyampaikan sebuah ilmu hendaknya dilakukan apa adanya.
Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad, dengan tegas mengatakan bahwa mazhab salafus saleh akan menulis apa saja, baik menguntungkam maupun merugikan pendapatnya. Tetapi ahli bid’ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan baginya saja.
Dalam hal ini Ibnul Qayyim memperingatkan, “Setiap kelompok akan menilai kelompok dan perkataannya dengan lafadz-lafadz yang paling baik, sementara menilai perkataan orang-orang yang bersebrangan dengannya dengan lafadz-lafadz yang paling buruk. Namun bagi orang yang dikaruniai bashirah oleh Allah, maka ia akan mampu menyingkap apa yang ada dibalik lafadz-lafadz itu dari kebenaran atau kebatilan. Maka, jangan tertipu dengan sekedar lafadz sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair: Ketika kau memujinya kau sebut ia (madu) hasil dari lebah. Jika engkau ingin kau juga bisa menyebutnya dengan muntah lebah. Pujian dan celaan engkau tidak melampaui sifatnya. Kebenaran saja terkadang ditimpa buruknya pengungkapan. (as-Showaiq al Mursalah: 3/944).
Mudah-mudahan kita bisa mencontoh para ulama dalam menyikapi perbedaan.*