Tauhid dan Akhlak Menurut Para Ulama Tasawwuf

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

03 Suatu ketika Rasulullah Saw ditanya Sahabatnya, ‘Apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik’. Beliau kembali ditanya, ‘Lalu, apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka?’. Rasulullah Saw menjawab, ‘ Dua rongga, yaitu mulut dan kemaluan’ (HR. Ibnu Majah).

Hadis di atas dikutip oleh Syaikh Ibnu ‘Athoillah al-Sakandari dalam kitabnya Tajul ‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus. Hadis tersebut memberi penjelasan bahwa Islam sejatinya menggabungkan antara takwa dan akhlak. Keduanya tidak dipisah secara dikotomis. Takwa memperbaiki hubungan hamba dengan Allah. Sementara akhlak memperbaiki hubungan dirinya dengan makhluk.

Hubungan baik dengan makhluk merupakan bagian dari pengamalan takwa kepada-Nya. Sedangkan takwa merupakan pengamalan dasar dari tauhid.

Dalam tradisi para ulama tasawuf, akhlak tidak pernah dilepaskan dari tauhid. Bahkan, tauhid menjadi syarat dasar seorang sufi berakhlak.

Pemisahan secara dikotomik antara akhlak dan tauhid ternyata bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dibangun oleh Syaikh Ibnu Athoillah al-Sakandari. Ia tidak sependapat dengan pernyataan, bahwa akhlak yang baik itu hanya memulyakan manusia tapi melupakan Tuhan.

Ia mengatakan: “Apakah menurut Anda berakhlak baik itu adalah (hanya) dengan menyapa manusia dengan baik, memulyakan manusia, namun mengabaikan hak-hak Allah?”. Bukan. Akhlak yang baik tidak seperti itu. Akhlak yang baik itu adalah dengan menunaikan hak-hak Allah, menjaga hukum-Nya, tunduk kepada-Nya, serta menjauhi larangan-Nya” (Ibnu ‘Athoillah, Tajul ‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus)

Akhlak kepada Allah inilah esensi tauhid. Imam al-Qusyairi, penulis kitab tasawuf al-Risalah al-Qusyairiyah, menjelaskan bahwa, para ulama tasawuf membangun kaidah-kaidah tasawufnya di atas tauhid, menjaga akidahnya dari bid’ah dan mendekat kepada ajaran-ajaran salafus sholih Ahlussunnah wal Jama’ah (Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 41).

Menurut seorang ulama sufi, Ahmad bin Muhammad al-Jariry, barang siapa (dari ahli tasawuf) yang tidak beridiri di atas ilmu tahid dengan dalil-dalilnya, maka ia akan tertipu dalam jurang kesesatan.

Karena itu, para ulama tasawuf sangat berhati-hati dalam mengamalkan syariat. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, membangun tariqahnya dengan amat ketat. Ia menjadikan akidah tauhid sebagai fase pertama yang harus dibersihkan bagi seorang murid (pengikut tariqah).

Ia mengatakan: “Wajib bagi murid (pengikut tariqah) untuk menjadikan akidah Sunni sebagai ‘sayapnya’ sebagai media dalam bertariqah untuk sampai kepada Allah” (Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah II, 163).

Hikmah dan akhlak menurut Imam al-Junaid, pembesar ulama sufi, tidak akan diperoleh tanpa ma’rifah kepada Allah. Ma’rifah (mengenal) Allah yang dimaksud adalah mengamalkan hak-hak yang wajib ditunaikan kepada-Nya (al-Risalah al-Qursyairi, hal. 42).

Tauhid para ulama tasawwuf terbebas dari akidah tasybih, tamsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan meremehkan-Nya.  Karena, sebagaimana dijelaskan oleh Abu al-Thayyib al-Maraghi kemurnian ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan Tauhid.

Begitu pula akhlak yang baik tidak mungkin diperoleh kecuali dari hati yang bersih tauhidnya kepada Allah. Sebab, pada hakikatnya, akhlak yang baik itu melakukan apapun yang membuat Allah sendang dan ridha.

Akhlak yang baik bukan dengan melakukan sesuatu yang membuat manusia senang. Tapi yang mendatangkan ridha Allah Swt. Bukanlah akhlak yang baik, jika melakukan kemaksiatan yang disenangi manusia, sebab kemaksiatan itu mendatangkan murka kepada-Nya.

Bisa jadi seorang Muslim bertutur baik di hadapa orang, tetapi ucapannya tidak sopan kepada Allah, seperti menghina Rasulullah, merendahkan Sahabatnya, apalagi ingkar kepada Allah.

Sehingga, seorang ateis atau sekuler tidak tepat disebut berakhlak baik dalam pandapangan para ulama tasawuf (pandangan Islam), sebab, seorang ateis ingkar kepada-Nya, dan seorang sekuler menentang hukum-hukum Allah. Jadi, boleh saja seorang ateis dan sekularis itu disebut moralis, tapi dari perspektif ini tidak bisa disebut berakhlak baik.

Ibnu ‘Athoillah memberi istilah bahwa berkhaklak kepada Allah itu dengan ‘bersahabat dengan-Nya’. Ketika ditanya, bagaimana cara bersahabat dengan Allah. Ibnu Athoillah menjawab: “Ketauhilah bahwa bersahabat dengan segala sesuatu harus sesuai dengan keadannya. Bersahabat dengan Allah diwujudkan dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bersahabat dengan malaikat Raqib dan Atid dilakukan dengan mendiktekan berbagai amal kebaikan. Bersahabat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah diwujudukan dengan mengamalkan isinya. Bersahabat dengan langit dan bumi dijuwudkan dengan mentadaburinya, mengambil pelajaran darinya” (Tajul ‘Arus Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa (terj), hal. 446).

Dengan demikian, akhlak yang baik, menurut Ibnu ‘Athoillah, bersumber dari keimanan. Buah keimanan di antaranya adalah menunaikan hak Allah dan menjauhi larangan-Nya. Barangsiapa yang melakukan semua itu, berarti ia memiliki akhlak yang baik [].

Last modified: 28/01/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *