Konsep Ketuhanan: Antara Akidah Islam dan Pandangan Para Filsuf

Written by | Nasional

Inpasonline.com-InPAS kembali menggelar Kelas Pemikiran Islam (KPI) dengan mengangkat topik Akidah Islam: Landasan dan Filosofinya, Ahad lalu (02/08/2020). Ustadz Bahrul Ulum selaku pemateri pada kajian daring tersebut menyampaikan bahwa sebetulnya para filsuf berusaha menemukan jati diri ketuhanan melalui penalaran yang merupakan fitrah bagi manusia.

Konsep Ketuhanan (ilahiyah) menjadi diskursus penting dalam kalangan filsuf, dari Yunani sampai Barat. Namun demikian, pemahaman tentang konsep tersebut ada banyak ragam di antara mereka. Artinya, konsep Tuhan di kalangan para filsuf memiliki banyak definisi dan pemahaman. Ada yang berpaham monoteisme, deisme, panteisme, politeisme, dan lain-lain.

Tuhan dalam pandangan filsuf bersifat antropomorfis, yaitu sifat Tuhan memiliki kemungkinan kesamaan dengan sifat manusia sebagai makhluk-Nya: memiliki tangan; penglihatan; pendengaran; dan seterusnya. Walaupun demikian, di kalangan mereka juga ada yang bahkan tidak meyakini keberadaan Tuhan karena dianggap tidak menemukan bukti eksistensi-Nya.

Ada pula filsuf yang tidak ingin manusia mengetahui Tuhan. Hal tersebut dikarenakan pada masanya, saat manusia mengalami masalah, mereka pergi ke gereja untuk berdoa kepada Tuhan agar masalahnya diselesaikan. Tapi orang tersebut tidak melakukan usaha perbuatan (kasb) menyelesaikan masalah. Dari fenomena itulah sampai melahirkan statement Nietzsche yang terkenal, “God is dead.”

Karl Marx menyatakan materi dan agama tidak bisa didamaikan. Menurutnya, karena materi senantiasa bergerak, maka tidak ada tempat bagi Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa Tuhan merupakan materi, dan setiap materi menempati ruang dan waktu. Di sisi lain, pernyataan demikian juga berangkat dari faktor historis kesaksian Karl Marx terhadap keterpurukan manusia-manusia di zamannya yang dianggap dekat dengan Tuhan.

Paham ketuhanan – dan tidak berketuhanan sekalipun – memberikan implikasi besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam aktivitas ilmiah. Sebagai contoh, deistik sebagai salah satu konsep Tuhan para filsuf memberikan pengaruh pada sains alam yang mewarnai teori evolusi. Charles Darwin sebagai pengusung teori evolusi menganut paham filsafat ini.

Di dunia Barat era pencerahan (enlightenment age), ada semacam trauma sejarah di kalangan pemikir Barat dalam kaitannya dengan agama. Pandangan demikian berawal ketika mereka menemukan konsep Ketuhanan yang bermasalah di Bible. Pada tahap inilah problem ketuhanan di kalangan para filsuf Barat tidak menemukan titik terang, bahkan sampai pada tahapan ekstrem yang terjebak pada dua pilihan dikotomis: bertuhan (tanpa berakal) atau berakal (yang tidak bertuhan).

Hal ini tentu berbeda dengan konsep Ketuhanaan dalam ajaran Islam. Islam memberikan informasi yang valid tentang Tuhan (yaitu Allah) berupa khabar shadiq (kabar yang benar) yang bersumber dari wahyu. Kita umat Islam mengakui adanya khabar shadiq, sedangkan Barat tidak. Islam juga tidak mengabaikan penggunaan akal dalam memahami konsep ketuhanan. Di sinilah letak perbedaan mendasar secara epistemologis antara Islam dan Barat.

Pengakuan khabar shadiq sebagai sumber kebenaran, menurut ustadz Bahrul Ulum, tidak lepas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya Rasulullah tidak memiliki gelar al-amin, maka keraguan akan informasi dari Rasululah sebagai pengemban risalah Islam masih dimaklumi. Namun, faktanya kaum kafir Quraisy mengakui bahwa Rasulullah adalah sosok yang al-amin, tidak mungkin berdusta.

Konsep ketuhanan dalam Islam dinyatakan secara eksplisit di dalam Al-Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala secara langsung dan tegas menyatakan sebagai satu-satunya Rabb (Tuhan) yang berhak disembah, tidak ada yang setara dan serupa dengan-Nya satupun, tiada Tuhan selain Dia (Al- Thaha: 14; Muhammad: 19; Ikhlas: 1-4; Asy-Syura: 11; dan lain-lain). Konsep ketuhanan yang demikian bisa dibuktikan secara akal. Dengan kenyataan yang seperti itu, akidah kaum muslimin merupakan akidah yang sangat kokoh yang tidak hanya didasarkan pada akal. Oleh karenanya, akal juga dipakai untuk memahami konsep Ilahiyah. Laporan: Azrul Kiromu Auni

Last modified: 10/08/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *