Kitab “Al-Ta’arruf”, Obat Bagi yang Ragu dengan Tasawuf

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

Inpasonline.com-Tasawuf, telah menjadi objek persilangan pendapat hingga hari ini. ‘Nasib’ ilmu ini tidak sama dengan ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu tafsir, dan ilmu nahwu-shorof. Empat ilmu ini tidak dilabeli dengan bi’dah. Sementara tasawuf kerap dipojokkan sebagai ilmunya orang-orang ahli bid’ah, sesat, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, ‘nasib’nya mirip dengan ilmu kalam.

Untuk menilai suatu objek ilmu atau masalah keilmuan alangkah baiknya mengambil saran dari imam al-Ghazali yang beliau tulis dalam otobiografinya yang berjudul “Al-Munkidz min al-Dholal wa al-Mushil ila Dzil ‘Izzi wa al-Jalal”. Kitab yang mengkisahkan perjalanan pengembaraan ilmu imam al-Ghazali dalam mencari kebenaran. Ia mengatakan, sebelum menilai suatu pemikiran, haruslah terlebih dahulu mempelajarinya secara mendalam sampai pada tingkat ahli (Imam al-Ghazali,al-Munkidz min al-Dholal).

Tentu saja saran imam al-Ghazali ini tidak setiap orang mampu melakukannya. Tetapi pelajaran dari beliau untuk konteks ilmu tasawuf adalah,  jika ingin menilai ilmu ini rujuklah kepada kitab-kitab standarnya. Jika masih tidak mampu, dengarkanlah salah satu tokoh ilmu tasawuf yang diakui. Artinya, rujuklah pada otoritas tingginya.

Sebagaimana jika kita ingin tahu tentang ilmu kesehatan. Maka, pelajarilah buku yang ditulis oleh dokter, jangan baca buku yang ditulis oleh dukun. Tanyalah pada dokter ahli, jangan bertanya pada tukang bengkel mobil.

Salah satu kitab standar yang diakui otoritasnya dalam ilmu ini adalah kitab “At-Ta’arruf li Madzhabi Ahli al-Tasawuf” ditulis oleh  Abu Bakar Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi al-Bukhari (wafat 380H/990M). Atau disingkat “Abu Bakar al-Kalabadzi”. Ia seorang ulama sufi ahli hadis yang hidup sebelum imam al-Ghazali. Jarak tahun antara wafatnya Abu Bakar Kalabadzi dengan kelahiran imam al-Ghazali sekitar 68 tahun (imam al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M). Ia bergelar “Tajul Islam” (artinya: mahkota Islam). Ahli fikih madzhab Hanafi dan juga ahli hadis.

Sekedar untuk mengetahui keahliannya dalam bidang hadis adalah, beliau menulis kitab hadis berjudul “Bakhr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar”. Kitab ini memuat sekitar 222 hadis. Dari segi tempat kelahiran dan tumbuh besar, al-Kalabadzi lahir di Kalabadz suatu distrik di kota Bukhoro, tempat lahir imam hadis terbesar, imam al-Bukhari. Meski tidak sezaman dengan imam Bukhari yang hidup sebelumnya (al-Bukhari wafat tahun 870 M satu berjarak 120 tahun dengan wafatnya al-Kalabadzi), dimungkingkan pengaruh tradisi ilmu hadis cukup kuat dalam al-Kalabadzi. Singkatnya, ia ulama tasawuf yang ahli hadis.

Ia sezaman dengan Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi (wafat tahun 988 M), seorang ulama tasawuf yang menulis kitab “Al-Luma fi al-Tasawuf. Sebuah kitab penting yang menjelaskan sejarah, definisi, kontrofersi dan urgensi tasawuf.

Tetapi, menurut Abdul Halim Mahmud (Syaikh al-Azhar tahun 1970-1978), kitab “At-Ta’arruf” merupakan kitab tasawuf yang sistematis yang paling tua, paling rinci, paling murni tentang pengertian tasawuf, ajaran dan tokoh-tokohnya.

Kelebihan kitab ini antara lain adalah; ia ditulis pada akhir abad ke-4 H. Yaitu masa dimana ilmu tasawuf mencapai puncak kematangan, dan kesempurnaan. Baik dari sisi metodologi maupun dari sisi tokoh-tokohnya. Fase-fase sebelumnya adalah, masa pembentukan. Sehingga wajar ada sisi-sisi pro dan kontra.

Kelebihan lainnya adalah kitab ini, meskipun tua, disajikan dengan bahasa yang cukup mudah dipahami, uslub (gaya bahasa) yang tidak terlalu rumit dan tidak bersayap, urutan penyajian tema sistematis, dan tidak terlalu tebal. Dalam cetakan Darul Kutub al-Ilmiyah tahun 2011 ketebalannya 232 halaman dengan footnote.

Jumlah bab kitab ini adalah 75 bab. Dengan tiap bab, bahasan singkat, pendek, langsung pada pokok persoalan. Diawali dengan tema yang teramat penting dalam isu ilmu tasawuf, yaitu alasan kenapa ilmu ini dinamakan tasawuf.

Kajiannya agak mirip dengan Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi (penulis kitab al-Luma’), yang mengawalinya dengan diskusi tentang pengertian tasawuf dan keabsahan penggunaannya kenapa dinamakan tasawuf. Tetapi, pembahasan kitab “At-Ta’arruf” lebih singkat tanpa mengurangi kepentingan bahasan tema. Bab pertama dibuka dengan judul:

قولهم في الصوفية ولم سميت الصوفية صوفية

“Pendapat para ulama tentang tasawuf dan Mengapa Mereka Menamakan dengan Sufi”.

Dalam bab pertama ini, al-Kalabadzi tidak memberikan definisi tertentu terhadap tasawuf. Akan tetapi, ia memberi penjelasan kenapa seorang itu disebut sufi, siapa itu sufi, dan kenapa amaliyah sufi itu disebut tasawuf.

Contohnya, dengan mengutip pendapat para ulama tasawuf sebelumnya. Para sufi dinamanakan demikian karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka. Bisyr ibn Harits mengatakan : Sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Allah. Ulama lain mengatakan:

الصوفي من صفت لله معاملته، فصفت له من الله عز وجل كرامته

Sufi adalah orang yang perilakunya murni tulus karena Allah dan mendapat kemulyaan yang tulus dari Allah.

Al-Kalabadzi yang memberikan pengertian substansial ini penting. Khususnya untuk memberi pencerahan kepada orang yang menyesatkan ulama sufi. Dengan penjelasan itu, maka semestinya sudah selesai, dan final. Karena, substansi tersebut tidak lain ajaran Islam itu sendiri.

Ada dua tema penting lagi yang diungkapkan oleh al-Kalabadzi dalam kitab ini. Yaitu tentang syariah dan tauhid (akidah). Kajian ini tidak kalah pentingnya dengan menjelaskan pengertian sufi pada bab pertama tadi. Sebab, pada dua masalah inilah biasanya tasawuf dibenturkan.

Tentang pandangan para sufi tentang syariat dijelaskan pada bab 29 yang berjudul : “Qouluhum fi al-Madzahib al-Syar’iyyah” (Pendapat para ulama sufi tentang madzahab syar’iyah).

Al-Kalabadzi menjelaskan, dalam fiqih para sufi mengambil pendapat fiqih yang paling hati-hati (ahwath), paling dipercaya dan paling kuat. Khususnya bila terjadi perbedaan pendapat di antara fuqaha’ (ahli fiqih).

Supaya lebih jelas lagi, contohnya bila ada dua pendapat dalam satu masalah. Ulama satu berpendapat makruh, dan ulama satunya berpendapat boleh (mubah). Maka, pendapat yang paling hati-hati adalah ikut pendapat makruh. Inilah yang diambil kaum sufi. Sampai Syekh Nawawi al-Bantani pernah mengatakan, makruh bagi para muqarrabun (orang yang dekat dengan Allah) itu seperti hukum haram bagi kita. Maksdunya, mereka tidak melakukan perkara makruh, sebagaimana kita menghidari perkara yang haram. Yang sunnah jadi wajib bagi mereka.

Sampai pada perkara mengerjakan shalat al-Kalabadzi perlu menjelaskan sikap para sufi. Menurutnya, tradisi sufi tidak pernah meremehkan dan menunda-nunda shalat wajib. Mereka sepakat shalat wajib harus segera ditunaikan pada awal waktu. Mereka tidak meremehkan, tidak mengakhirkan apalagi meninggalkannya.

Dalam bab tentang tauhid, akidah al-Kalabadzi sama dengan akidah para ulama-ulama salaf. Tidak ada tajsim,tasybih,ta’thil, dan lain-lain. Penjelasannya tentang akidah cukup sederhana (apalagi untuk ukuran zamannya beliau), tidak rumit, tidak terlalu filosofis namun sistematis, tidak ada unsur syirik. Bahkan unsur-unsur yang bisa menarik perdebatan tidak ada di dalam kitab ini.

Jangan dibayangkan kitab “at-ta’arruf” ini sama dengan karya-karya Ibnu ‘Arabi, puisi Rumi atau statemen al-Hallaj yang gaya bahasanya tinggi, kalimatnya bersayap, penuh metafora dan pilihan kalimat yang sulit.

Rupanya, kitab al-Kalabadzi ini ditulis untuk mengakhiri isu-isu negatif tentang tasawuf. Hal itu diceritakan oleh al-Kalabadzi sendiri tentang motivasi menulis kitab “al-ta’arruf” ini. Kitab ini ditulis atas permintaan orang-orang untuk mendudukkan sufi dan tasawuf. Ia menjelaskan bahwa yang mendorong saya menulis ini adalah untuk menjelaskan tariqah para sufi, akhlaknya, perilakunya, dari ucapan, akidah tauhidnya dan hal-hal yang dinisbatkan kepada para sufi saya jelaskan sampai syubhat-syubhat yang beredar di kalangan orang-orang yang belum mengetahui pemikiran para sufi. Hal ini supaya orang yang tidak paham menjadi paham, orang yang belum kenal menjadi mengenalnya. Serta terhindar dari penafsiran yang salah dari orang-orang jahil (Muqaddimah al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli Tasawuf, hal. 7).

Al-Kalabadzi berusaha meyakinkan bahwa yang ia tulis adalah pendapat yang dipercayai oleh para sufi, madzhab mereka telah ia tahqiq. Sehingga, konon ada ulama sufi terdahulu mengaku tercerahkan oleh kitab ini. Kata dia:

لولا التعرف ماعرفت التصوف

“Kalau bukan kitab “At-Ta’arruf, aku tidak mengenal tasawuf” (Ahmad Syamsuddin,Muqaddimah al-Ta’arruf, hal. 4). Konon, statemen ini diucapkan oleh Syihabuddin Surahwardi al-Maqtul (wafat tahun 1191 M).

Walhasil, kitab ini meski tidak tebal, tetapi boleh dikatakan kitab ensiklopedis (mausu’ah) tentang tasawuf tertua setelah kitab al-Luma’ yang ditulis oleh Abu Mansur al-Sarraj. Maka, jika kita ingin  penasaran apa itu sufi dan tasawuf, silahkan baca kitab ini. Wallahu a’lam bis showab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *