Oleh: Muhim Kamaluddin
Inpasonline.com-Sejatinya, ”ilmu” merupakan kata yang bersifat generik. Ia memiliki cabang-cabang seperti ilmu pengetahuan (science) dan ilmu pengenalan (illumination). Ilmu pengetahuan (science) adalah ilmu yang berurusan dengan obyek-obyek yang dapat diketahui. Obyek itu dapat diketahui apabila ia berada di alam lahiriah yang ada di sekitar kita. Misalnya Ilmu pengetahuan alam (natural science) dan ilmu pengetahuan sosial (social science).
Adapun ilmu pengenalan (illumination) sebenarnya kedudukannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Kata ”Kenal”, konotasinya lebih intens dan mendalam daripada tahu. ”Kenal” merupakan sebuah hubungan timbal balik (resiproksikal), sebuah hubungan dua arah. Antara pihak pengenal dan yang dikenal. Kenal mensyaratkan bahwa antara pengenal dan yang dikenal haruslah pihak yang berpikir, seperti pengenalan Hasan terhadap Harun, atau pengenalan hamba kepada Tuhan. Proses pengenalan yang intens akan membuahkan ilmu pengenalan (illumination) yang dalam khazanah Islam disebut sebagai ma’rifah. Seperti disebutkan dalam hadits ’man arafa nafsahu faqod arofa robbahu’ (al-hadits).
Ini jelas berbeda daripada ”tahu” yang merupakan hubungan satu arah, subyek dengan obyek. Hubungan semacam ini tidak mensyaratkan dua pihak yang berpikir. Seperti Hasan mengetahui gunung, mobil, hewan dan lain sebagainya. Dalam ilmu pengetahuan (science) manusia bertindak sebagai pengenal, dan macam-macam ilmu pengetahuan seperti Astronomi, fisika, matematika, sosiologi, antropologi, biologi, ekonomi dan lain sebagainya adalah sebagai obyek pengetahuan.
Nah, perbedaan antara ilmu pengenalan dan ilmu pengetahuan tersebut, semakin mempertegas bahwa Allah itu sebagai obyek pengenalan dan bukan obyek pengetahuan. Hubungan pengenalan artinya hubungan ini harus terus menerus diaktifkan. Dengan demikian, ibadah sholat menjadi sangat logis dan masuk akal. Bahkan menjadi sebuah kebutuhan. Sebab dalam aktivitas sholat itu, berarti kita sedang menjalin berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta. Sayyid Ali Zainal Abidin Al-Sajjad ra, ketika ditanya mengapa setiap kali takbiratul ihrom beliau gemetar luar biasa, beliau menjawab; ”Tahukah kalian kepada siapa aku hendak menghadap?”
Inilah yang disebut sebagai jalan menuju ma’rifat, yaitu sebuah upaya untuk mengenal Allah, dan tidak sekedar menjadikan Allah obyek pengetahuan yang hanya cukup diketahui bahwa Ia adalah Tuhan. Sekali lagi, Ia juga harus dikenal.
Inilah ilmu yang paling utama dan paling mulia, yang mana setiap insan hendaknya berusaha untuk menggapainya. Sangat tepat apabila Imam al Ghazali mengatakan ”sebaik-baik ilmu adalah ilmu mengantarkanmu kepada taqwallah”.
Di sisi lain, konsep ilmu yang dipakai dalam dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi, masih menggunakan konsep ilmu dari Barat. Konsep ilmu hanya merujuk kepada ilmu pengetahuan (science) yang bersifat inderawi (logis-empiris) saja. Padahal menggunakan kata ”ilmu” untuk menyebut sains (science) yang hanya berkaitan dengan obyek inderawi adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya. Karena obyek yang tidak bisa diketahui (secara empiris), namun bisa dikenali, seperti konsep tentang Tuhan, dikeluarkan dari wilayah ilmu. Ini menjadikan faktor paling penting dalam ilmu justru dikeluarkan dari konsep ilmu itu sendiri.
Implikasinya, sebagaimana tersirat dalam kata “ilmiah” (scientific) adalah bersumber dari “ilmu” (science) yang dalam hal ini berkaitan dengan obyek inderawi saja. Dan “tidak ilmiah” berarti tidak bersumber dari “ilmu”, dianggap memiliki derajat yang lebih rendah dari pada “ilmiah”. Efeknya; segala ilmu yang bersumber dari agama baik itu mengenai masalah iman atau moral yang tidak bisa “dibuktikan secara empirik”, dikeluarkan dari wilayah “ilmu” karena tidak “ilmiah”. Dengan demikian, proses sekularisasi secara sadar atau tidak, telah berlangsung. Proses sekularisasi ini mengosongkan dan menghapus makna-makna ruhaniah dari segala sesuatu. inilah kesalahan yang sangat fatal yang dilakukan oleh Barat. Wallahu A’lam bisshowaab.
Last modified: 23/06/2014