Jasa Imam al-Ghazali terhadap Ilmu Pengetahuan

Oleh: M. Ghazi Alaydrus

majmu rasail al-ghazaliInpasonline.com-Di dalam kitab, yang merupakan masterpiecenya, Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjadikan bab pertama dari bukunya itu untuk menjelaskan pentingnya belajar, dan jenis-jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik kehidupan duniawinya dan kehidupan ukhrawinya. Imam al-Ghazali dengan jelas menyatakan bahwa selain ilmu syariah, terdapat ilmu-ilmu yang sangat penting yang tidak boleh suatu bangsa atau negara kosong dari ilmu-ilmu tersebut. Di antara ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu matematika dan ilmu kedokteran dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan ilmu yang memiliki hukum sebagai fardhu kifayah, dan begitu juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan industri, pertanian, tekstil, politik, bahkan ilmu menjahit. Dan seandainya di suatu negeri tidak terdapat yang menguasai ilmu-ilmu ini, seluruh penduduk negeri menanggung dosanya sebagai akibat tidak ada yang mempelajarinya. (Ihya Ulumuddin, jilid 1, bab 1).

Kemudian di kitab-kitab yang lain, beliau memberikan nasehat, dan metode-metode belajar dan mengajar yang benar, serta bagaimana seseorang bisa mencapai achievement yang maksimal dari belajarnya. Dia berbicara tentang metode secara umum di kitab Ihya, bermula dari ikhlas, usaha keras, adab belajar, bagaimana hormat kepada guru, tawadhu dalam menuntut ilmu, sabar, fokus, sistematis (tidak melanjutkan ke tingkatan berikutnya kecuali setelah dia menguasai tingkatan yang sebelumnya), mengetahui tujuan dari ilmu yang dia pelajari, dan tidak bertujuan keduniaan/jabatan/harta/terkenal.

Kita tidaklah berharap imam al-Ghazali mengajarkan kita kalkulus atau fisika teori. Dia seorang psikolog dan psikiater, juga seorang guru, dan juga pakar pendidikan akhlak, jadi dia memberikan kita arahan. Dan dia juga memberikan arahan bagaimana seorang berprofesi sebagai guru. Dari hal terkecil atau terdekat dengan diri kita, sampai proses pemikiran kosmos, dengan analogi dan syllogisme yang dia ambil langsung dari Al-Quran (silahkan baca karya Imam al-Ghazali berjudul al-Qisthas al-Mustaqim).

Ghazali menyatakan dalam Ihya Ulumuddin:

“Tidaklah akan ada sistem yang baik bagi agama kecuali dengan adanya sistem yang baik untuk urusan-urusan dunia”. Pada bagian lain beliau mengatakan: “Dan dunia merupakan lahan bercocok tanam untuk akhirat dan fasilitas yang membawa kita kepada Allah SWT.

Selanjutnya beliau menyatakan: Dan tidaklah urusan dunia dapat berjalan kecuali melalui profesi-profesi manusia, dan profesi serta industri mereka bisa digolongkan ke dalam 3 golongan: 1. Yang merupakan profesi premier, yaitu: pertanian, tekstil dan taylor, teknik bangunan (sipil dan arsitektur), politik yang bertujuan mempersatukan rakyat, tolong menolong dan manajemennya. 2. Profesi yang bersifat preparational untuk profesi dan industri premier, seperti teknik pembesian yang bersifat sebagai penopang pertanian dan industri lainnya dengan menyiapkan alat-alatnya seperti pembajak, mesin tenun. 3. profesi yang merupakan penyempurna profesi-profesi di atas, seperti: profesi kuliner, dan penjahit.

Adapun penyebab utama kemunduran keilmuan muslimin adalah beralihnya konsentrasi mainstream ulama dari ilmu-ilmu praktis seperti yang disebutkan imam al-Ghazali, ke ilmu-ilmu yang merupakan ilmu pemikiran belaka yang jauh dari realitas kehidupan.

Sementara tuduhan yang menyatakan bahwa imam al-Ghazali merupakan faktor utama kemunduran ilmu pengetahuan di masyarakat Muslim, maka penulis berpendapat; Pertama, tuduhan ini tidaklah berdasar, seperti yang telah kita lihat di atas bagaimana imam al-Ghazali menekankan pentingnya belajar, pentingnya ilmu pengetahuan, memaparkan metode pembelajaran dan pengajaran yang baik, dan menekankan signifikansi ilmu pengetahuan atau sains, seperti kedokteran, pertanian, matematika, teknik, dan lainnya. Kedua, masyarakat Muslim di masa-masa setelah imam al-Ghazali bahkan mengalami peningkatan ilmiah di banyak disiplin ilmu, terutama masyarakat Muslim Andalusia.

Adapun salah satu sebab imam al-Ghazali menulis bukunya “Tahafut Al-Falasifah“, selain dia menjelaskan pemikiran para filosof yang dia sebutkan di dalam bukunya dan kerancuan-kerancuan yang dia dapati di dalam pemikiran mereka, dia juga bertujuan menyadari masyarakat muslimin yang waktu itu sudah sangat digandrungi oleh sekedar istilah-istilah filsafat dan mendalami ilmu-ilmu mantiq serta filsafat sehingga terjauhkan dari ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu keduniaan yang dia sebut sebagai fardhu kifayah.

Dan yang jadi permasalahan bukan hanya kecendrungan mayoritas ulama, akan tetapi kecendrungan mayoritas masyarakat dan perilaku para masyarakat yang dipengaruhi oleh ulama-ulama yang berpengaruh, masalahnya agak kompleks dan harus dikaji secara keseluruhan. Sebab imam al-Ghazali sendiri dalam setiap kitab dan risalahnya selalu menjelaskan sebab dari penulisannya, yang mana kemudian bisa dikonklusikan bahwa beliau berusaha membenahi banyak aspek, baik di kalangan ulama maupun di kalangan masyarakat, di kalangan ulama di masanya yang dominan itu tadi.

Bahkan dia mengakui termsuk di dalamnya ulama ‘Asyariyah, yang saling menghujat, bermunazharah (berdebat) tanpa etika akademik dengan tujuan mencari kebenaran, dan lain-lain. (lihat karya imam al-Ghazali berjudul Faishal at-Tafriqah). Dan di kelas masyarakat beliau menyoroti bagaimana tauhid yang harus diperbaiki, ilmu agama yang harus diamali, dan akhlak yang harus dipraktikan. Semua itu yang dia coba lakukan, dan cukup berhasil dalam memberikan ruang bagi setiap madzhab sewaktu dia menjadi rektor Universitas Nizhamiyah, dan meredam perpecahan sebab ilmu kalam, dengan membatasi bahwa ilmu kalam bukan untuk konsumsi awam (lihat Iljaam al-‘Awaam).

Ghazali hidup di tahun 450 H~505 H, atau 1058 M~1111 M, dimana perpecahan di area tempat hidupnya, yaitu Persia, Irak, Syam, Hijaz, berada di puncaknya; fanatisme madzhab, banyaknya sekte-sekte i’tiqad yang berkembang, pembunuhan-pembunuhan oleh kelompok Hasyasyin, dan permasalahan sosial, politik, akidah, akhlak dan lainnya.

Tulisan-tulisan beliau tidak bisa dipungkiri membawa dampak juga ke Andalusia, sampai ulama-ulama sekelas Abubakar ibn al-Arabi dan ulama Andalusia lainnya pergi berguru ke imam al-Ghazali.

Epistemologi Ghazali

Sebagaimana filosof lainnya, dan sebagai seorang pakar pendidikan dan guru, imam al-Ghazali berbicara banyak tentang epistemologi; apa itu ilmu pengetahuan, hakikat pengetahuan manusia, nilai ilmu pengetahuan, fasilitas-fasilitas serta cara sampai kepada ilmu.

Di permulaan kitab Mi’yaar al-‘Ilm, imam al-Ghazali menjelaskan proses cara berpikir, bagaimana melakukan silogisme yang benar bagi ilmu-ilmu yang bersifat teori, yang bukan bersifat fitri. Ghazali merupakan seorang rasionalis yang berpendapat bahwa ilmu merupakan suatu keyakinan rasional yang didapat melalui panca indera, setelah penilaian akal, dan melalui badihiat, setelah penilaian akal, dan melalui kabar-kabar mutawatir, setelah penialain akal, dan melalui eksperimen, setelah penialain akal, dan melalui perasaan/emosi/sentimen/, setelah penialaian akal, dan melalui permasalahan-permasalahan yang bersifat fitri melalui kias, setelah penilaian akal.

Imam al-Ghazali dengan demikian tidak menginkari itiqad seorang awam yang bertaklid kepada Rasulullah Saw dan para ulama muktabarin sebagai ilmu. Beliau bahkan menjelaskan hal tersebut secara eksplisit di dalam pembukaan kitabnya al-Iqtishaad fi al-I’tiqaad. Juga bisa dijumpai di buku-bukunya yang lain seperti Mi’yaar al-‘Ilm, al-Munqidz min al-Dhalal, al-Qisthas al-Mustaqim, Kimiyaa al-Sa’adah, dan lainnya.

Keadaan Mayoritas Masyarakat di Masanya

Tentang keadaan masyarakat, ulama dan pemimpin di masanya beliau menjelaskan dengan sangat gamblang di dalam banyak buku dan risalahnya. Di dalam Ihya Ulumuddin, beliau membagi ulama di masanya ke dalam dua golongan, mainstreamnya: Pertama, Golongan yang disibukkan dengan pendekatan kepada pemimpin untuk mendapatkan keuntungan pribadi duniawi. Kedua, Golongan yang hanya disibuki oleh perbedaan-perbedaan kelompok.

Dan keadaan masyarakat di waktu itu di wilayah hidup imam al-Ghazali mengalami benturan-benturan antara pemikiran-pemikiran dan akidah-akidah, benturan-benturan yang begitu besar dan kuat; filsafat, bathiniyah, sekte-sekte sesat, deklinasi akhlak, jauh dari ajaran agama yang hanif. Semua itu menyebabkan imam al-Ghazali mencoba sekuat tenaganya untuk melakukan reformasi, dimulai dengan pembahasan dari yang sangat mendasar, yaitu penjelasan mengenai signifikansi akal dan perannya, kemudian menolak taqlid buta, kemudian berpegang kepada al-Quran dan Hadits, kemudian reformasi pemikiran pada ulama dan masyarakat, mengajak ulama untuk berkontribusi dalam ishlah masyarakat, posisi ilmu pengetahuan, kriteria ulama, hubungan ulama dan pemimpin, reformasi fiqih, fiqih prioritas, reformasi masyarakat, memerangi kezaliman dan kemunkaran.

Jasa pada Perang Salib

Sumbangan imam al-Ghazali pada jihad perang Salib sungguh besar. Misalnya menahan serangan tentara Salib, dan pengaruh imam al-Ghazali atas Muhammad bin Taumart dalam menguasai Maghrib dan pendirin negara Muwahhidin, dan juga pengaruh langsungnya atas Yusuf bin Tasyfin.

Dari buku-bukunya, kita mendapatkan bahwa imam al-Ghazali merupakan seorang sosok pendidik dan juga pembentuk metode pendidikan, selain sebagai seorang filosof, pakar logika, pakar hukum Islam, seorang ushuli.

Untuk keterangan lebih dalam dan analisa atas pengaruh ajaran Ghazali atas generasi Shalahuddin, kita bisa dapatkan di dalam kajian yang dilakukan oleh Dr. Kailani di dalam bukunya Hakadza Zhahara Jil Shalahauddin.

Ibn Rusyd, yang begitu kerasnya menyerang Ghazali ternyata masih mengapresiasi imam al-Ghazali. Dia menyatakan: “Sewaktu bersama Asy’ariyyah dia Asy’ary, sewaktu bersama Sufiah dia sufi, dan sewaktu bersama para filosof dia seorang filosof…demikian pengakuan Ibn Rusyd….(Ibn RusydFashlu alMaqaal, hal. 58.).

Penulis adalah pengajar Ma’had Aly Hujjatul Islam Depok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *