Inpasonline.com-Setiap pemikir agung memiliki karya agung. Begitu pula dengan al-Ghazali dengan karya monumentalnya Ihya Ulumiddin. Sebuah kitab yang ditulis sekitar tahun 500 H/1100 M oleh sosok yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi. Kitab ini bergenre tawasuf. Hal ini bisa dilihat dari porsi pembahasannya yang banyak berkaitan dengan penyucian jiwa, sifat takwa, zuhud, mahabatullah, menjaga hati, ikhlas dsb. Namun meskipun begitu, Al-Ghazali juga mengulas tentang aspek-aspek syari’at yang bersifat lahiriah seperti menuntut ilmu, hukum ubudiyah, akhlak dan adab berperilaku dst.
Demikian dikatakan oleh Kholili Hasib dalam seri Kuliah Pemikiran Islam yang diadakan oleh InPAS pada 28 Juli 2020. Kholili Hasib, M.Ag mengulas materi yakni “Ihya Ulumuddin: Strategi Menghidupkan Ilmu Pengetahuan”. Sebagaimana dinyatakan oleh beliau bahwa alam pandang atau worldview seorang pemikir Muslim sudah seharusnya berpedoman terhadap Islam itu sendiri. Salah satu karya ilmuan Muslim ternama adalah Kitab Ihya Ulumuddin yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali.
“Kitab tersebut sangat penting bagi seorang pemikir Muslim yang akan membawa pada kerangka berpikir yang benar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan pembangunan peradaban”, tegas Kholili Hasib dalam kuliah yang disampaikan melalui media online tersebut.
Ia menjelaskan bahwa dalam muqaddimah kitab ini, Al-Ghazali menyatakan bahwa alasan beliau menulis kitab Ihya’ Ulumiddin (kemudian ditulis Ihya’) ini adalah bahwa ilmu tentang jalan menuju akherat (ilmu thariqil akhirah) yang biasa disebut ilmu fiqh (fiqh pada zaman al-Ghazali juga mencakup tasawuf), hikmah, dhiya’/nur (cahaya), hidayah, rusdyan (pembimbing) telah lama ditinggalkan dan terkubur serta dilupakan sama sekali (nasyan mansia) di tengah-tengah manusia. Al-Ghazali melihat ini sebagai masalah yang serius. Sehingga menurut beliau, penting untuk menuliskan kitab ini sebagai bentuk upaya untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama (ihya’an li ulumiddin, selaras dengan nama kitab ini), menjelaskan metode para ulama terdahulu dan keunggulan ilmu-ilmu yang bermamfaat dari para nabi dan para pendahulu yang sholeh.
Al-Ghazali sebagaimana disebutkan dalam autobiografinya al-Munqizh min ad-Dhalal melihat bahwa jika diklasifikasi tujuan, motivasi, dan metode umat Islam dalam rangka menempuh jalan menuju kebenaran, maka akan bermuara kepada empat tipologi yang berbeda. Pertama, golongan ahli kalam, yang mengaku diri mereka sebagai pakar logika dan berdebat. Kedua, golongan bathiniyyah, yang mengaku diri mereka sebagai golongan pengajar dan khusus mengambil pendapat imam yang ‘ma’shum’. Kelompok ini berasal dari golongan syi’ah yang meyakini imam mereka sebagai orang yang ma’shum sebagaimana para nabi dan rasul. Ketiga, golongan filusuf, yang mendaku diri mereka sebagai ahli logika dan berargumentasi. Keempat, para sufi, yang meyakini bahwa mereka adalah orang-orang khusus di sisi-Nya, dan ahli musyahadah dan mukasyafah.
Diantara empat tipologi tersebut, Imam al-Ghazali kemudian memberikan kritikan-kritikan terhadap masing-masing kelompok. Meskipun kitab Ihya’ ini sebagai kitab bergenre tasawuf, namun beliau juga mencoba untuk meluruskan persepsi dan asumsi serta tindak tunduk para sufi yang tidak sesuai dengan ajaran tasawuf yang sebenarnya. Al-Ghazali adalah ulama yang telah melanglang-buana menempuh berbagai macam bidang keilmuwan mulai dari fiqh, ushul fiqh, kalam, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya, dan pada akhirnya beliau bermuara pada ilmu tasawuf dengan menuliskan kitab Ihya, setelah melakukan isolasi diri (i’tizal) berkontemplasi terhadap persoalan umat Islam. Sehingga tidak aneh jika dari madrasah-madrasah yang mengambil metode al-Ghazali, pada akhirnya memumculkan suatu model kebangkitan umat Islam yang baru seperti generasi shalahuddin yang berhasil membebaskan masjid al-Aqsa dari cengkraman pasukan salib.
Kitab Ihya telah menyebar ke seantero dunia. Kitab ini dibaca, dikaji, ditelaah, di-syarah, dari mulai era penulisannya hingga saat ini. Begitu banyak penelitian berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi yang tidak habis-habisnya membahas pemikiran al-Ghazali dalam kitab ini. Di Indonesia, pesantren-pesantren menjadikan kitab Ihya sebagai buku wajib dalam pelajaran tasawuf. Bahkan pemikiran-pemikiran al-Ghazali ini di kemudian hari menjadi landasan utama atas proyek keilmuwan agung berupa Islamisasi Ilmu Pengetauan Kontemporer yang digagas oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemegang kursi kehormatan pemikiran Imam al-Ghazali abad ini.
Dalam penjelasannya dalam kuliah perdana ini, Ustadz Kholili Hasib, M.Ag juga menjelaskan terkait alur pemikiran Kitab Ihya Ulumuddin. Dari hasil penelitian beliau terhadap kitab Ihya Ulumuddin beliau membagi alur pemikiran kitab Ihya menjadi 5 bagian yakni, pengokohan pondasi; dengan pembahasan konsep ilmu dan Aqoid Aqidah atau kaidah akidah, pembiasaan yang baik; dengan penjelasan terkait hakikat Ubudiyyah dan Muamalah, jalan keluar; yakni dengan meningkatkan maqom spiritual, dan yang paling akhir adalah puncak; yakni memiliki tujuan mengantarkan manusian pada kebahagiaan abadi. Yang secara global dapat dimaknai bahwa kitab Ihya Ulumuddin membahas secara runtut terkait keutamaan Ilmu sampai dzikrul maut (mengingat mati) sebagai jalan kebahagiaan abadi.
Dengan fakta-fakta diatas, mematahkan adanya anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa al-Ghazali sebagai penyebab utama kemunduran umat Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa kalangan orientalis – yang juga diamini oleh sebagian sarjanawan muslim – menuduh al-Ghazali sebagai penyebab matinya ilmu filsafat dan sains di dunia Islam. Padahal al-Ghazali sendiri mengatakan bahwa ilmu-ilmu sains seperti matematika, aritmatika, geometri dan astronomi tidak boleh ditolak, karena ilmu-ilmu tersebut berurusan dengan pembuktian rasional. Sebagaimana dikutip oleh Cemil Erdogan, bahwa al-Ghazali menyatakan ‘tidaklah tepat agama menolak ilmu kedokteran, begitupula ilmu alam’. Dalam bidang filsafat, al-Ghazali menulis kitab Tahafuth al-Falasihah, dan beliau tidak mengkritik seluruh bangunan filsafat. Hanya perkara-perkara metafisis yang bertentangan dengan aqidah sajalah yang beliau tentang. Beliau sendiri menyatakan ‘ada hal-hal yang dipercaya para filsof, dan ada yang tidak bertentangan dengan prinsip agama, seperti teori gerhana bulan dan matahari’. Justru al-Ghazali kemudian membuat tawaran bahwa ilmu pengetahuan (sains) tersebut harus diawali dengan landasan dasar ilmu pengenalan (ma’rifah) yang banyak beliau singgung di dalam kitab Ihya’.
Kitab Ihya’ sendiri telah diakui oleh banyak ulama seantero dunia dan lintas zaman. Habib Zein bin Smith dalam karyanya al-Manhaju as-Sawy Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Ali Ba’lawi mencantumkan berbagai komentar para ulama mengenai kitab Ihya Ulumiddin. Imam Nawawi mengatakan ‘hampir kitab Ihya itu seperti al-Qur’an (kada al-ihya an yakuna qur’anan). Hal ini tidak aneh melihat mayoritas ulama menjadikan kitab ini sebagai rujukan utama dan dibaca serta dikaji terus menerus hingga saat ini. Syekh Abdul Ghofir al-Farisi mengatakan ‘Ihya Ulumiddin termasuk karya masyhur al-Ghazali yang belum tertandingi (lam yusbaq ilaiha)’. Abu Hasan an-Nadawi menyatakan ‘seakan-akan al-Ghazali menjadikan kitab ini seperti mursyid dan murabbi, seolah yang lain tidak diperlukan. Ia berdiri tegak seperti perpustakaan Islam, kitab ini berisi aqidah, fikih, tazkiyatun nafs, pendidikan akhlak, dan cara meraih derajat ihsan’.
Pada akhir pemaparan kuliah, Kholili Hasib, M.Ag menjelaskan terkait tata tertib pencari kebenaran yang memiliki urgensi yang sangat mendasar bagi para penuntut ilmu untuk mencapai derajat keilmuan yang benar. Dalam kitab Ihya Ulumuddin dijelaskan tata tertib tersebut diantaranya, membersihkan jiwa dari perbuatan hina dan sifat tercela, meminimalisir perkara yang menyibukkan dengan duniawi, tidak boleh sombong dengan ilmu dan memerintah guru, orang yang baru tahu satu ilmu agar menghidarkan dari mendengar ikhtilaf atau perbedaan (baik ilmu dunia dan akhirat), tidak meninggalkan satu subjek ilmu setelah mencapai hakikat dan puncak pembahasan, tidak mengkaji satu subjek ilmu dalam satu tahap, tidak loncat-loncat (rancau alur) dalam belajar, mengetahui sebab didapatnya ilmu, dan yang terakhir adalah mendahulukan ilmu yang penting (fardhu ain) daripada ilmu yang tidak penting (fardhu kifayah).
Laporan: Rafly Kholid dan M. Kholid