Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku
Kisah tentang persahabatan yang indah selalu menarik. Begitu juga persahabatan dari tiga aktivis Islam berikut ini: Hamka (1908-1981), Natsir (1908-1993), dan Wahid Hasyim (1914-1953). Ketiganya, adalah Pahlawan Nasional.
Ada yang lebih indah lagi! Ini, karena Wahid Hasyim juga bersahabat dengan ayah Hamka yaitu Abdul Karim Amrullah. Masya Allah, tiap Wahid Hasyim mendengar sebuah ayat Al-Qur’an dibacakan, dia langsung teringat kepada ayah Hamka dan terharu. Mengapa?
Sikap Hormat
Hari itu, 19 April 1953. Di rumahnya, Hamka sedang bersama Natsir. Keduanya bersahabat. Mereka tidak sedang bersantai.
Kala itu Natsir hampir satu hari menyusun naskah tentang Allamah Mohammad Iqbal yang akan beliau pidatokan di Hotel des Indes (Hotel Merlynn, sekarang). Mereka asyik mengumpulkan bahan-bahan dan menyalin beberapa syair Iqbal dalam bahasa Arab.
Setelah hampir selesai penyusunan naskah pidato itu, tiba-tiba datanglah seorang teman membawa berita sedih. Kabar duka itu, tentang meninggalnya KH Wahid Hasyim karena kecelakaan mobil di dekat Bandung.
Mendengar hal itu, Hamka melihat betapa terkejutnya Natsir. Air mata Natsir jatuh, berderai. Ada sekitar lima menit Natsir menangis.
“Suatu kehilangan besar buat kita, sudah berkurang lagi seorang teman seperjuangan yang bertukar pikiran dengan baik dalam persesuaian maupun dalam perselisihan,” kata Natsir setelah dirinya tenang.
Kalimat itu indah. Kata Natsir, Wahid Hasyim adalah “Seorang teman seperjuangan yang bertukar pikiran dengan baik dalam persesuaian maupun dalam perselisihan”. Ada apa? Memang, kata Hamka, pada waktu itu sedang hangat pertentangan politik dalam kalangan Islam sendiri (Abdul Hadi Hamka. Orang-Orang yang Saya Kenang; Kisah Hamka Mengenang Para Guru, Sahabat, dan Para Tokoh Besar, 2024: 75).
Wahid dan Natsir
Wahid Hasyim pejuang. Pada 1945 dia menjabat sebagai Ketua II Masyumi, sebuah partai Islam terbesar di sepanjang sejarah Indonesia. Partai tersebut berjuang agar ajaran Islam dapat mewarnai keseharian warga bangsa ini.
Di periode tersebut, ada hal yang menarik di soal interaksi personal. Pertama, ayah-anak yang berasal dari NU sejalan di medan dakwah yang sama. Tak hanya itu, menarik karena ternyata Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Ketua Umum Masyumi di periode yang sama. Kedua, dua tokoh Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo masing-masing menjadi Ketua I dan Ketua III Masyumi, juga di periode yang sama.
Pada 1949 Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama di Kabinet Hatta. Di dua kabinet berikutnya, yaitu Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, dia tetap menjabat sebagai Menteri Agama.
Wahid Hasyim terus berdakwah. Pada 19 April 1953, Wahid Hasyim akan berdakwah ke Sumedang – Jawa Barat. Di perjalanan dia mengalami kecelakaan lalu-lintas hingga meninggal. Esok paginya di Jakarta, sebelum jenazah dibawa ke Jombang, penuh sesak orang yang datang bertakziyah. Saat itu, di antara yang tampak hadir adalah Wakil Perdana Menteri-Prawoto Mangkusasmito-, KH Faqih Usman, Dr. Soekiman, Anwar Tjokroaminoto, Mr. Roem, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Sartono, dan Dr. Leimena. Juga, terlihat Natsir.
Siapa Natsir? Natsir pernah menjadi Perdana Menteri RI pertama, 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar.
Pada 03/04/1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang kemudian dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”. Lewat mosi itu, memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri di sejumlah kabinet.
Wahid dan “Ayahku”
Karya Hamka lebih dari seratus buku. Di antara buku-buku itu, yang berjudul Ayahku termasuk karya yang menonjol. Di situ, Hamka menuturkan riwayat hidup dari tokoh yang begitu melekat dan berpengaruh besar dalam pembentukan pribadi dan pemikirannya. Tokoh itu adalah Abdul Karim Abdullah, ayah Hamka sendiri.
Di buku itu, Hamka juga menuturkan sejarah penyebaran Islam “cara baru atau modern” di Minangkabau. Juga, siapa sahabat-sahabat sang ayah. Pun, siapa murid-muridnya.
Ayahku, terbit pertama pada 1950. Di antara pembacanya, adalah Wahid Hasyim. Lalu, sebagai sahabat, Wahid Hasyim memberi Hamka bahan tambahan berkenaan dengan kehidupan sang ayah yang tak disaksikannya sendiri. Tentu, Hamka bersyukur karena hal itu bisa lebih menyempurnakan cetakan berikutnya. Cetakan kedua, terbit pada 1957.
Haru Wahid
Kita buka buku Ayahku (2019). Di halaman 279-281, terdapat uraian terkait kenangan Wahid Hasyim terhadap ayah Hamka yaitu Abdul Karim Amrullah yang aktivis Muhammadiyah. Isinya, sebuah pelajaran yang penting.
Bahwa, pada 1952, Wahid Hasyim sudah tidak menjadi Menteri Agama. Ketika itu, di sebuah rumah di Jakarta, ada suatu pertemuan. Di dalamnya, ada pembacaan Al-Qur’an. Untuk itu, Hamka undang ahli-ahli qiroah yang masyhur.
Wahid Hasyim termasuk yang hadir. Dia sangat tertarik dengan bacaan Al-Qur’an yang merdu. Kemudian, tampil pembaca Al-Qur’an berusia muda yang terkenal dan berasal dari Banten. Dia membaca QS Ali ‘Imraan [3]: 196-197. Berikut ini terjemahnya: “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.”
Saat pembacaan Al-Qur’an itu, Hamka sempat memperhatikan Wahid Hasyim yang menekurkan kepalanya ke bawah. Lama sekali, sampai si pembaca Al-Qur’an itu menyelesaikan bacaannya. Setelah itu, barulah Wahid Hasyim mengangkat kepalanya. Jelas benar terlihat pada matanya, ada rasa haru.
Sesudah selesai semua acara pembacaan Al-Qur’an, segenap tamu bergeser ke ruang makan. Sebelum menyantap hidangan, Wahid Hasyim bercerita. Bahwa, tiap-tiap orang membaca Al-Qur’an dan sampai pada ayat itu, dia teringat kepada Abdul Karim Amrullah. Mengapa bisa seperti itu?
Kisahnya, pada suatu hari di zaman penjajahan Jepang, ada pelatihan ulama. Itu, atas anjuran Jepang. Sebenarnya, kata Wahid Hasyim, rata-rata yang hadir telah bosan dengan pelatihan-pelatihan semacam itu yang sudah sering diadakan. Mereka tak tertarik dan menganggapnya sebagai semacam sandiwara. Hal ini karena yang dirasakan adalah kian nyatanya pertentangan kepercayaan yang tidak dapat didamaikan.
Kala itu, yang akan memberikan pelatihan adalah Abdul Karim Amrullah. Setelah ayah Hamka itu berdiri di muka, yang hadir pun siap dengan catatannya masing-masing. Sejurus kemudian, Wahid Hasyim bertemu pandang dengan Abdul Karim Amrullah.
Keduanya saling memperhatikan. Ada kontak perasaan dari keduanya. Kontak yang bersumber dari apa yang ada di dalam hati. Selanjutnya, hening, menunggu apa yang akan pemateri sampaikan.
Tiba-tiba, dengan suara yang merdu dan penuh perasaan iman, Abdul Karim Amrullah membaca ayat “lâ yaghurrannaka taqallubulladzîna kafarû fil-bilâd …… “ (ayat yang dibaca, sama dengan yang dibaca pada acara yang Wahid Hasyim hadir bersama Hamka pada 1953 itu).
Ayat itu dibaca Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dengan pelan-pelan, tartil, dan jelas. Dibaca, sedemikian rupa seakan-akan setiap kalimatnya menusuk ke dalam hati yang hadir. Ada di antara para ulama itu yang menangis.
Wahid Hasyim lalu melanjutkan kisahnya. Khusus bagi dia, suasana ketika mendengar ayat itu dibacakan Abdul Karim Amrullah, samalah rasanya dengan keadaan saat Umar bin Khaththab Ra mendengar Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra membacakan sebuah ayat ketika Nabi Saw wafat. Kala itu, Umar bin Khaththab Ra seperti “tak bisa menerima kenyataan” bahwa Nabi Saw wafat.
Oleh karena itu, lanjut Wahid Hasyim, sampai sekarang bila ayat itu yaitu QS Ali ‘Imraan 196-197 dibacanya atau dibaca orang, terbayanglah dalam kenangannya wajah Allahuyarham Abdul Karim Amrullah. Semoga Allah melapangkan kubur beliau, demikian doa Wahid Hasyim.
Masih kisah dari Wahid Hasyim. Bahwa bagi Abdul Karim Amrullah, kehancuran penjajah Jepang yang zalim itu adalah perkara yang pasti, bukan karena perhitungan politik. Bahkan, lebih tinggi daripada itu, yaitu perhitungan iman dari Abdul Karim Amrullah kepada Al-Qur’an. Ketika itu, yang hadir seperti terkena aliran listrik iman. Akibatnya, lanjut Wahid Hasyim, mereka yang kurang yakin menjadi yakin.
Doa, Alhamdulillah!
Kisah persahabatan Hamka, Natsir, dan Wahid Hasyim sungguh indah. Kisah persahabatan Wahid Hayim dengan Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka), sangat indah dan menggugah.
Sungguh tepat, di buku Ayahku di bagian penutup setelah Wahid Hasyim menyudahi kisahnya, Hamka berdoa: Semoga Allah melapangkan kubur beliau, Wahid Hasyim. []