Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi*
Ilmu di dalam Islam bukan hanya “gizi” akal alias “mengenyangkan” kognitif belaka. Karena yang disebut ilmu erat kaitannya dengan qalbu (hati). Dari sana lah cahaya ilmu berupa khasyyah (baca: rasa takut) kepada Allah memancar. Ini sekaligus menegaskan bahwa konsep ilmu dalam Islam bertolak-belakang secara diametral dengan konsep ilmu yang sekular: menjauhkan nilai-nilai Tuhan di dalamnya.
Allah Swt. di dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa khasysyah merupakan sifat para ulama: orang-orang yang mendalam ilmunya dan menyentuh qalbu-nya dan mengikatnya dengan Allah Swt. Kata-Nya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama’.” (Qs. Fāthir [35]: 28).
Artinya: sesungguhnya yang betul-betul merasa takut kepada Allah hanyalah para ulama’ yang mengenal-Nya dengan baik. Karena semakin dalam “makrifat” atau pengenalan seseorang terhadap Allah Yang Maha Agung, Yang Maha Mengetahui, yang memiliki segala sifat yang sempurna, yang memiliki Asma al-Husna; setiap kali makrifat terhadap-Nya lebih sempurna, dan pengetahuan terhadap-Nya lebih paripurna, maka semakin besar pula rasa takutnya kepada-Nya. (Abu Abdillah Muhammad Ruslan, Bencana Ilmu, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2005, hlm. 115).
Dari sana tampak jelas bahwa ilmu dalam Islam muara akhirnya adalah khasysyah kepada Allah sang ‘Alīm (Maha Berilmu). Karena standar dekat dan takut kepada Allah bukan banyaknya meriwayatkan ilmu, tetapi sejauh mana ilmu yang dimiliki seorang yang berilmu menumbuhkan khasyyah itu dalam qalbu-nya. Di sini Ibn Mas’ud mengingatkan, “Rasa takut kepada Allah sudah cukup dikatakan sebagai ilmu, dan keterpedayaan dengannya sudah cukup disebut sebagai kebodohan.”
Tentu saja ilmu yang tak melahirkan khasyyah adalah bencana. Karena hanya ulama’ saja yang memiliki khasyyah. Sebaliknya, siapa saja yang ilmunya tidak memancarkan khasyyah tidak patut disebut ulama’. Maka, benar lah Mujāhid ketika menyindir, “Ulama’ itu hanyalah orang yang takut kepada Allah.” Itu pula sebabnya Abu Abdillah Muhammad Ruslan dalam Bencana Ilmu menyatakan:
“Jika ilmu telah membuahkan rasa takut dan kekhusyukan dalam hati, maka inilah ilmu yang bermanfaat, ilmu yang diminta oleh Nabi Saw. kepada Rabb-nya. Sebaliknya, jika ilmu tidak membuahkan rasa takut dan kekhusyukan dalam hati, maka inilah ilmu yang justru Nabi Saw. meminta perlindungan darinya, dan beliau memerintahkan kepada umatnya agar memohon perlindungan kepada Allah darinya.”
Ilmu yang memancarkan khasyyah itu memang hanya dimiliki para ulama’ rabbani: para ulama’ yang dari ilmunya lahir sifat-sifat yang diridhai oleh Allah Swt. Jika tidak, maka yang akan lahir adalah ulama’-ulama’ jahat (‘ulamā’ al-sū’). Mereka ini, kata Imam Ibn Qayyim (691-751 H), adalah: orang-orang yang duduk di pintu surga lalu menyeru manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan-ucapan mereka tetapi sebenarnya mereka tengah memotivasi manusia-manusia itu masuk ke dalam neraka dengan tingkah-lakunnya.
Setiap kali lisan mereka menyeru, “Ayo masuk ke dalam surga” seketika itu pula perilaku mereka membantahnya, “Jangan kalian dengarkan kata-kata mereka!” Sekiranya apa yang mereka katakana itu benar, niscaya mereka orang yang pertama kali menyambutnya! Bentuk luarnya mereka ini seperti pemberi petunjuk kepada kebaikan, tetapi sejatinya mereka ini adalah para perampok. (Lihat, Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyūb ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawā’id, tahqiq: Muhammad Aziz Syams (al-Riyāḍ: Dār ‘Ālam al-Fawā’id, hlm. 85).
Ilmu yang tidak berbuah khasyyah merupakan sebuah bencana yang amat besar. Karena ia telah menyimpang jauh dari tujuan ilmu: bukan untuk mencari ridha Allah dan akhirat, melainkan untuk mengejar glamour duniawi dan meraup pujian manusia. Jalan keluar dari musibah ini adalah: mengetahui risalah ilmu dan pengetahuan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dimana risalah ilmu beliau adalah: mengejar ridha Allah dan akhirat, bukan yang lainnya. Inilah yang semestinya dicamkan dan diamalkan oleh siapa saja yang berilmu. Agar ilmunya berbuah khasyyah dan tidak menjadi bencana.
*) Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan dan Ketua Mejalis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumatera Utara.