Membela Al-Ma’un tanpa Menjadi Marxis

Oleh: Ismail Al-‘Alam

“Namun, Pak Presiden, izinkan saya menyampaikan. Muhammadiyah sejak awal berdiri ingin me­mastikan menghadirkan Islam yang menjadi solusi bagi kehidupan, Islam untuk orang hidup, bu­kan Islam untuk orang mati. Sekarang ada 250 petani Karawang yang ka­mi tampung ke­hi­lang­an tanah mereka, maka mohon dahulukan mereka, Mu­ham­ma­d­i­yah tidak [didahulukan-IAA] juga ti­dak apa-apa.”

 

21617655_1724347364534703_4209599314792833207_nInpasonline.com-Kutipan di atas adalah bagian dari status fanpage resmi Ketua Umum PP Pe­muda Mu­­hammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, 6 Mei 2017. Bang Dahnil men­ce­ri­takan se­ca­­ra singkat kedatangan ratusan petani Teluk Jambe, Karawang, ke Ge­dung Dak­wah Mu­ham­madiyah dan kemudian ditampung sementara di Panti Asuhan Mu­ham­mad­iyah Ta­nah Abang. Me­reka datang ke Jakarta dengan berjalan kaki, untuk me­nun­tut hak atas la­han mereka yang direbut PT Pertiwi Lestari dan oknum pemerintahan da­erah. Ke­adaan itu terjadi sejak tahun 2006. Berkat advokasi Mu­ham­madiyah dan be­be­ra­pa LSM, me­reka ber­­hasil betemu dengan pemerintah. Menteri Agraria dan Ta­ta Ruang, Sofyan Djalil, men­­janjikan lahan pengganti dan penampungan sementara un­tuk mereka di sana, se­dang­kan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansah, men­jan­ji­kan bagi mereka ja­minan Rp900 ri­bu per orang setiap bulannya, selama proses pengalihan itu berlangsung.

 

Menghindari Kekeliruan

Di bagian akhir statusnya, Bang Dahnil menceritakan bahwa para petani itu pada mu­lanya dituduh PKI. Penulis yang turut meliput kehadiran mereka di Panti Asuh­an me­mang melihat banyaknya pengguna kaos merah dengan lambang beberapa or­ga­n­i­sa­si kiri, uta­manyaPartai Rakyat Demokratik (PRD). Mata yang panik mungkin akan se­gera meng­amini tuduhan PKI itu setelah menatap mereka. Suasana batin kita beberapa ta­hun be­lakangan, terlebih sejak penistaan agama oleh Ahok tahun lalu, memang sedang di­a­du­k-aduk oleh desas-desus kemunculan-kembali PKI. Kedekatan Ahok dengan para pe­bis­nis (beretnis) Cina, dan peningkatan kerja sama Pemerintah RI de­ngan RRC, sebuah ne­­gara dengan satu partai yakni Partai Komunis Cina (PKC), seolah-olah membenarkan de­­sas-desus itu. Daftar ini masih bisa di­per­panjang lagi berdasarkan kejadian lebih lam­pau, dari mulai perkumpulan beberapa LSM yang menyelenggarakan International Peo­ple Tribunal (IPT) 65 di Den Haag, sampai ke­ha­diran PRD di bawah pimpinan Budiman Su­­djatmiko dan Partai Buruh di bawah pim­pinan Mokhtar Pakpahan di awal Reformasi.

Melihat keadaan di atas, kita jadi mafhum bahwa kepanikan itu memang ber­a­la­s­an. Namun tanpa analisis yang jernih, kita akan keliru dalam mengenali hakikat musuh yang dihadapi. Seorang tokoh pernah menyamakan PKI dengan JIL (Jaringan Islam Li­be­­r­­­al), dua pihak yang bukan saja terpisah secara kelembagaan dan zaman, tetapi bahkan se­­­cara ideologi. Sementara PKI di zamannya adalah pengusung utama komunisme yang sa­ngat membenci kapitalisme, JIL di masa sekarang adalah pengusung utama kapitalisme yang menafsirkan ajaran Islam sekehendak nafsunya dengan perangkat hermeneutika, un­tuk salah satunya mengusung sistem pasar-bebas itu. Tokoh utama JIL, Luthfi As­syau­ka­nie, da­lam disertasinya yang dibukukan (2011: 181-227) dengan rinci mem­ba­has lan­das­an pe­mikiran itu dan suasana sosial-politik yang melatarinya. Subbab terakhir da­­ri bab ke­­sim­pulan di buku itu secara gamblang berjudul “Islam Liberal untuk De­­­mokrasi Li­be­ral”. Di tempat lain, aktivis dan kelompok kiri sudah lama meninggalkan ci­­­ta-cita ne­gara ko­munis karena kesadaran akan kekeliruannya, bahkan mengeluhkan ke­­tak­­mam­puan mereka untuk membangun konsolidasi sesamanya dan me­mo­bi­l­i­sasi massa.

Dampak dari salah baca terhadap keadaan ini bisa sajaparah;jika terpancing pada si provokator yang meng­embuskan tuduhan PKI terhadap petani Karawang, kita ke­mung­kin­­­­an malah terlibat dalam penumpasan terhadap perjuangan mereka dan mendukung tin­da­k­­­an se­we­nang-wenang PT Pertiwi Lestari. Provokasi sejenis sudah bermunculan di ba­nyak kasus konflik agraria di Indonesia, yang terakhir –selain kasus Karawang ini- adalah ka­­­­­­sus Kendeng. Muhammadiyah melalui tokohnya, dari Buya Syafi’i Ma’arif sampai Bang Dahnil (lagi), turut mendukung perjuangan mereka tanpa tersulut oleh tuduhan pro­vo­­­­­­katif atasnya. Dengan demikian, analisis yang jernih atas hakikat kaum kiri kianmen­desak un­tuk di­­lakukan. Apabila mereka –katakanlah, kaum Komunis Gaya Baru- sung­guh ada, namun per­hatian kita justru sedang ter­arah ke selainnya, mereka justru bisa saja men­jalankan ke­giatannya secara leluasa.

 

Jelas dan Terpilah

Salah satu tokoh Muhammadiyah yangdengan tenang dan sistematis mengulas seluk-beluk komunisme adalah Prof. Dr. H. M. Rasjidi, dalambuku berjudul Islam Me­nen­tang Komunisme (1970 [1965]). Penulis akan menguraikan pemikiran Pak Rasjidi se­­ca­ra amat singkat, bukan untuk memberi wawasan umum tentang Komunisme itu sen­diri, melainkan sekadar menunjukkan bahwa pembacaannya terhadap Komunisme te­lah me­me­nuhi kriteria jelas dan terpilah (clear and distinct, sebuah kriteria pemikiran ra­si­on­al yang ditawarkan filsuf Prancis, Rene Descartes), tidak buram dan tercampur-cam­pur pra­sangka keliru.

Di dalam buku itu, Menteri Agama RI pertama ini membahas perkembangan pe­mi­k­iran tentang individu dan masyarakat sebelum pemikir utama Marxisme, Karl Marx, la­hir dan berkarya. Bahasan ini secara historis menjelaskan pelbagai pandangan uta­ma pa­ra filsuf Barat, merentang sejak Platon (400 SM) sampai Proudhoun (w. 1865), ter­­utama soal keadilan dan kekuasaan. Menurut Pak Rasjidi, dua persoalan tersebut mun­cul aki­bat pemikiran Barat dibangun dari dua pengandaian yang bertentangan. Di satu si­si, ber­dasarkan ajaran Kristen dan spekulasi para filsufnya, Barat meyakini bahwa ha­ki­­kat manusia adalah setara dan bersaudara. Di sisi lainnya, mereka juga meyakini pem­ba­­­gian kelompok manusia berdasarkan kepemilikan satu terhadap lainnya, yakni ma­jik­an/tuan di atas buruh/hamba. Pembagian tersebut, dalam sejarah, sering memunculkan prak­­tik tak adil dan mengundang para pemikir untuk merenungkan hakikat dari keadilan itu.Ja­wab­an­­nya beragam tetapi dibatasi oleh dua ujung; dari mulai penyerahan total ke­da­u­­latan kepada pasar-bebas di satu ujung, dan penolakan total terhadap kedaulatan ne­ga­ra atas na­ma anarkisme di ujung lainnya. Di masa inilah Karl Marx merenung dan me­nu­­angkan ga­gasan-gagasannya.

Dengan kedalaman pemahamannya terhadap filsafat Barat, Pak Rasjidi meng­u­rai­kan pokok-pokok pemikiran Marx, yakni materialisme historis, materialisme dialektis, teori nilai-lebih, dan revolusi proletariat. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini terdapat di dalam bab 2, yang bisa disimak secara terpisah sebagai buku kajian filsafat. Pe­­nulis ing­in mengkhususkan bahasan ini pada analisis Pak Rasjidi saja. Pak Rasjidi de­ngan tepat meng­gambarkan dua aliran filsafat Barat ke­tika membicarakan ihwal wujud. Me­reka terbagi antara Idealisme, yakni pemikiran bahwa realitas di luar diri manusia hanya­lah ben­tukan akal sehingga semuanya dinilai wujud sejauh korelat dengan akal, dan Ma­te­ri­al­­isme (atau Realisme) yang meyakini bahwa realitas di luar diri manusia adalah wu­jud yang tidak terikat oleh akal, sehingga tetap wujud ketika tidak ada manusia sama se­kali di dunia. Karl Marx berada di posisi kedua. Dari sana, ia membangun pemikiran-pe­mi­kirannya tentang ekonomi, politik, dan agama. Penolakan terhadap unsur-unsur di lu­ar ma­teri menjadikan mereka sebagai ateis. Menurut Pak Rasjidi, Islam tidak ber­ma­sa­lah de­ngan dua pandangan itu, sebab selain keimanan pada yang ghaib, apa yang tampak se­­bagai dunia juga diakui oleh Islam.

Dengan keyakinan materialis yang “serba-benda” (meminjam istilah intelektual Mas­yumi, Sidi Gazalba, sebagai pembeda dari makna materialis dalam opini publik se­ka­­rang yang identik dengan sikap gengsi), Karl Marx meyakini bahwa praktik ekonomi ada­lah praktik pertama di dalam peradaban manusia. Ia kemudian melancarkan kritiknya yang paling radikal terhadap praktik ekonomi di Eropa saat itu, di mana tenaga kaum pro­­letar yang tak mempunyai alat produksi diperas oleh kaum borjuis yang memiliki alat pro­­duksi, untuk memperkaya diri mereka dan rekanan mereka sendiri karena upah yang di­berikan kepada kaum proletar itu tidak seberapa dibanding keuntungan yang diraih. Ke­­­un­tungan tersebut terus diakumulasi sebagai modal (kapital) kegiatan produksi se­lan­jut­­­nya, begitu seterusnya. Secara deterministik, Marx meyakini bahwa pada puncak dia­lek­­­tika itu, kaum proletar akan merebut alat-alat produksi dan mewujudkan revolusi ter­ha­dap keadaan negara yang sebelumnya menjadi penyokong praktik Kapitalisme. Wa­ris­an pe­­mikiran Marx (dan rekan setianya, Engels) mendapat momentum perwujudan saat Le­nin mengutarakan strategi komunisme internasional di Kongres Internasionale III se­ba­­­gai tafsir utama atas pemikiran Marx. Se­jak saat itu, kaum komunis di banyak negara, ter­­­­ma­suk di Indonesia, menerapkan stra­tegi tersebut untuk, pertama-tama, berkoalisi de­ngan un­sur politik lain dalam menghadapi ko­lonialisme, namun kemudian menjalankan re­­volusi dengan menumpas unsur politik la­in itu apabila mereka tidak bersetuju.

 

Jangan Juling ke Kiri

Pak Rasjidi kemudian mengemukakan kritik Islam terhadap ko­mu­n­­isme. Beliau mem­beri maklumat pada kita bahwa para filsuf yang disebutkan se­pan­jang bukunya itu, ter­masuk Marx,adalah orang-orang yang ti­dak mengenal cahaya Islam. Sa­at membahas ma­terialisme historis, Pak Rasjidi meng­gu­gat pandangan de­ter­mi­nis­tik­nya dengan meng­ajukan fakta lain, bahwa beberapa bangsa yang hidup dalam keadaan pro­duksi yang sama te­lah melahirkan peradaban yang berbeda. Perbedaan justru terjadi di Barat sendiri, se­ba­ga­i­mana yang diuraikan Pak Rasjidi di ba­gi­an terdahulu.

Setelah melancarkan beberapa kritik (selain cuplikan di atas), Pak Rasjidi meng­a­­j­ak kita memberi sedikit penghargaan pada upaya Marx yang menganalisis keadaan ma­sya­­rakat. Bagi Pak Rasjidi, Marx(isme) mengingatkan kita pada keberadaan orang-orang yang mencintai dunia dan tergila-gila pada kekuasaan. Selain itu, tindakan sebagian kaum yang menyematkan dirinya sebagai agamawan namun cinta terhadap jabatan dan ke­ka­ya­an justru menjadikan kritik Marx menjadi relevan. Tetapi Pak Rasjidi kemudian me­ne­­gas­kan, bahwa keadaan tersebut bukan suatu keadaan mutlak yang membentuk watak ma­nusia secara wajar. Dalam Islam, hal tersebut justru adalah penyakit yang harus (dan ten­­tu dapat) disembuhkan. Cara penyembuhan itu bukan melalui praktik komunis sampai ke dalam bentuknya yang terjauh, yakni revolusi, melainkan dengan pengajaran dan peng­­amalan Islam. Kapitalisme dan Komunisme, dalam simpulan Pak Rasjidi, adalah pe­mi­­kiran sekular yang tak mendapat ruang di dalam Islam. Sebaliknya, konsep-konsep Is­lam tentang individu, masyarakat, keadilan, kekuasaan, dan ekonomi, tidak berada di da­lam salah satu dari kedua pemikiran sekular itu.

Dari uraian Pak Rasjidi, kita bisa mengajukan beberapa tafsir untuk kebutuhan se­­karang. Pertama, edisi awal buku ini yang diterbitkan Jajasan Islam Study Club In­do­ne­­­sia, ditulis pada November 1965, atau sebulan setelah pemberontakan PKI terakhir. Ki­­ta secara khusus bisa menaruh rasa kagum pada ketelitian dan kesigapan Pak Rasjidi da­­lam menulis buku ini, tanpa kekurangan kadar ilmiahnya karena merujuk pada buku-bu­­ku primer para filsuf yang dibahas. Di tahun itu, pemikiran Marxis yang dominan ada­lah Komunisme dalam tafsiran Lenin, yang menubuh sebagai Uni Sovyet. Saat ini, di­tan­dai oleh keruntuhan Uni Sovyet yang mengakibatkan demoralisasi bagi para pemikir dan ak­tivis kiri, pemikiran Marx kian mengalami penafsiran oleh kalangan yang me­nye­but di­ri mereka Marxis, namun saling mengkritik satu sama lain. Dani Filc dan Uri Ram (20­14) mengelompokkan mereka ke dalam 4 kelompok, berdasarkan penyikapan mereka ter­ha­dap kondisi posmodern sebagai bentuk kapitalisme-lanjut dan serangan terhadap na­ra­si-narasi besar pemikiran; Marxisme anti-posmodern, Marxisme Posmodern, Pos­mo­dern­is-marxis sintesis, dan Posmarxis.

Pertanyaan yang dapat dimunculkan dari tafsiran pertama ini adalah, bagaimana res­pons seorang muslim terhadap 4 kelompok itu? Apakah telah muncul satu tulisan, ter­le­­­bih buku, dari kalangan muslim yang mengupas pemikiran-pemikiran mereka di tengah ma­­­raknya desas-desus kebangkitan-kembali PKI? Tulisan ini tidak hendak menjawabnya, me­lainkan sekadar menunjukkan sebuah tantangan nyata yang sesungguhnya hadir di ruang-ruang akademik kita. Tantangan itu lebih perlu untuk ditanggapi dibandingkan provokasi-provokasi yang telah disinggung di muka. Seorang muslim yang me­ne­rima sa­lah satu, sebagian, atau seluruh tafsiran tersebut di tingkat paradigma tidak akan men­jadi PKI, tetapi yang lebih parah dari itu: muslim dengan cara berpikir sekular. Ak­ti­vismenya ti­dak lagi berdasarkan worldview Islam melainkan worldview Barat yang se­kular.

Salah satu cara untuk menghadapi persoalan ini, menurut penulis, adalah dengan meng­eksplisitkan apresiasi Pak Rasjidi terhadap analisis Marx, dan ini sekaligus sebagai taf­sir kedua. Marx telah menyadarkan kita tentang bagaimana Kapitalisme be­kerja. Tanpa ana­lisisnya, kita mungkin tidak menyadari keberadaan logika akumulasi modal yang za­lim dan sudah merambah secara luas di Indonesia. Dalam epistemologi Is­lam, analisis Marx ini diakui sebagai sumber pengetahuan rasional, yang letaknya setara de­ngan pe­nge­­tahuan empiris (berdasarkan pengalaman-pengujian) namun berada di ba­wah wahyu dan otoritas para ulama. Peran wahyu di hadapan sumber pengetahuan jenis ini adalah se­bagai pem­be­ri putusan akan hakikat, bukan terbalik menjadi pembenaran bagi Marxisme seperti ter­lihat pada konsep Teologi Pembebasan-nyaAlfonso Lo­p­ez Trujillo dan Gustavo Giutierrez dalam kasus pemikiran Kristen (lihat Lowy: 1999), dan konsep “Ki­ri Islam”-nya Hassan Hanafi atau “Islam dan Pembebasan”-nya Ashgar Ali Engineer da­lam kasus pemikiran Islam.

Salah satu upaya yang cukup tepat dan berhasil meletakkan analisis (Marxis) atas logika ka­pitalis ke dalam epistemologi Islam, atau sekurang-ku­rangnya paradigma Islam, ter­lihat pada eksperimentasi para pemikir Muhammadiyah di tahun 1980an kala ber­ha­dap­an dengan keganasan kapitalisme Orde Baru. Dengan me­min­jam kritik kebudayaan ka­pitalis dari Mazhab Frankfurt (Neo-marxis), Kuntowijoyo meng­usulkan “ilmu sosial pro­fetik”, yakni ilmu sosial yang bukan sekadar melakukan ca­cah jiwa terhadap ma­sya­ra­­kat melainkan juga memberdayakannya. Dari disiplin lain, yakni ilmu eko­nomi, Da­wam Raharjo banyak mengembangkan konsep-konsepnya ten­tang Ekonomi Islam dan pem­berdayaan masyarakat Indonesia menggunakan analisis Te­o­ri Ketergantungan (De­pen­densia). Penelitian Bahtiar Effendy (2009: 180-190) terhadap ke­cenderungan ini me­nge­­lompokkan mereka ke dalam aliran pemikiran transformasi so­si­al yang memperluas ca­kupan dan perhatian perjuangan politik Islam.

Dengan pemahaman ilmiah dan kepedulian tak kenal lelah terhadap Al-Ma’un, Mu­­hammadiyah dapat terus menjadi pemimpin di dalam segala upaya menyejahterakan ma­­syarakat, serta menjadi mitra kritis pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan itu. Hal ini bukan saja menunjukkan pentingnya analisis yang jernih terhadap suatu persoalan da­ri beragam arah, namun juga sebagai upaya dakwah berkemajuan di tengah masyarakat yang kian tersingkirkan oleh pembangunan, di saat sebagiannya yang lain menikmati pem­bang­­unan tersebut tanpa kepedulian terhadap sesamanya. Jika keberpihakan pada Al-Ma’un ini terus berjalan, kita tak perlu lagi mengalami dua keadaan dilematik; atau ter­ta­rik pada tawaran (jika masih ada) kaum komunis sehingga menjadi aktivis atau simpatisan ge­rakan kiri, atau panik karena desas-desus keberadaan ka­­um komunis.

Kita bisa belajar da­ri kasus Karawang di atas. Setelah berpamitan dengan Ke­tua U­mum PP Mu­ham­mad­i­yah, Pak Haedar Nasir dan Sekretaris umum PP Mu­ham­mad­iyah, Pak Abdul Mu’ti, salah se­­orang petani bernama Kang Maman ber­ka­ta kepada Bang Dah­nil, “Kalau kami sudah kem­bali dapat lahan, kami akan undang Bang Dahnil un­tuk me­res­mikan Ranting Mu­ham­mad­iyah Teluk Jambe yang akan kami dirikan ber­sa­ma dengan ta­nah wakaf untuk Masjid Muhammadiyah…” Sang Surya akanmenyinari petani dariatas la­han mereka sendiri.

Wallahu a’lam.

 

Daftar Pustaka

Assyaukanie, Luthfi. 2011. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute.

Effendy, Bahtiar. 2009. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Filc, Dani dan Uri Ram. Marxism after Postmodernism: Rethinking the Emancipatory Political Subject, dalam Jurnal Current Sociology, 2014, Vol. 62 (3)

Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. Terj. Roem Topatimasang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rasjidi, Mohammad. 1970. Islam Menentang Komunisme. Jakarta dan Semarang: Budaya dan Ramadhani.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *