Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com – Di manapun dan kapanpun kita bisa dan wajib berstatus menjadi pelajar. Ada beberapa petunjuk yang harus diperhatikan agar bisa menjadi pelajar shalih dan sukses. Yaitu; niat, jenis ilmu dan cara memperolehnya harus benar. Jika tidak, maka akibatnya akan tersesat.
Perhatikan hadis Rasululllah Saw: “Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan semakin jauh dari Allah Swt.” (HR. Abu Nu’aim).
Kedzaliman seorang ilmuan dan pemimpin bermula dari niat belajar yang salah dan ketidaktepatan memposisikan ilmu ketika belajar. Pertama, perbaiki niat. Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) akhirat.
Kedua, ilmu yang dipelajari harus benar. Ketiga, cara meperolehnya juga benar. Apapun niat dan semulya apapun ilmunya jika ditempuh dengan korupsi, menipu atau dengan cara ritual-ritual yang sesat, tetap akan menjauhkan dari Allah Swt.
Selain itu, carilah guru yang baik. Yaitu, ulama’ yang hidupnya berkonsentrasi kepada ilmu, akhirat, tidak menyibukkan secara membabi-buta kepada dunia, tidak menjual agama dengan dunia, segala persoalan dikembalikan kepada perspektif akhirat (Abu Hamid al-Ghazali dalam Iljam al-awam ‘an Ilmi Kalam).
Sebisa mungkin menghindar dari maksiat. Imam syafi’i juga pernah mengatakan: ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah Swt tidak akan masuk kedalam hati orang-orang yang selalu bermaksiat.
Imam al-Bukhari belajar selalu dalam keadaan suci, bahkan ketika akan menulis pun ia ambil wudlu dan shalat sunnah terlebih dahulu. Shalat malam (qiyamullail) bagi para pelajar salaf shalih dahulu seperti menjadi aktifitas wajib. Demi menjaga diri agar selalu dibawah petunjuk-Nya. Bahkan, belajar di sepertiga malam itu menjadi kebiasaan.
Begitulah akhlak para ulama, mereka berupaya membersihkan hati agar sukses dalam meraih ilmu. Kekeliruan dan kerancuan dalam pemikiran sejatinya berpangkal dari problem hati dan jiwa.
Oleh sebab itu, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dapat disebut juga prosestazkiyatu al-fikr (pembersihan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Maka, langkah yang diutamakan adalah riyadlah al-nafs (melatih jiwa melawan hawa nafsu). Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, di sampaing mengritisi faham-faham yang keliru, ia memberi solusi dengan riyadhah al-nafs. Misalnya mengkritik keyakinan-keyakinan materialistik (madiyyah) yang masuk ke dalam hati.
Maka setiap Muslim harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membersihkan pemikiran dari hal-hal yang merusak keimanan. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan dalam salah satu syairnya: “Jika Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan”. Tazkiyatul fikr (pembersihan pemikiran) dilalui dengan proses penyadaran diri yang disebut riyadlah.
Proses tersebut disebut juga jihad nafsu (mujahadah al-nafs). Di kalangan ahli tasawwuf, jihad nafsu itu menjadi cara untuk membentuk jiwa bertakwa dan beradab yaitu jiwa yang ingatannya tidak pernah lepas dari Allah Swt Swt dalam setiap aktifitasnya.
Imam al-Sya’rani pernah memberi nasihat, bahwa jihad nafsu itu fardhu ‘ain yang harus dilakukan setiap hari. Ia mengatakan, mujahadah itu kewajiban yang tak terputus, sepanjang masa seorang muslim wajib berjihad melawan hawa nafsunya. Sebab, nafsu secara terus-menerus menggoda manusia agar meninggalkan syariat Allah Swt . Maqam (kedudukan tinggi seorang hamba di sisi Allah Swt) tidak mungkin diraih tanpa jihad nafsu. Ia mengatakan: “Barang siapa yang menyangka dirinya telah mencapai derajat tanpa mengerahkan usaha melawan nafsu dalam beribadah, maka sungguh itu mustahil” (Tanbih al-Mughtarin, hal. 111).
Islam menyeru umatnya untuk mengendalikan syahwat sesuai dengan syariat Allah Swt. Syahwat tidak dilampiaskan semau sendiri, tapi syahwat juga tidak dilarang untuk memenuhi syahwat dunia dengan kadar tertentu dan sesuai dengan yang diperintah Allah Swt. Syahwat mata, telinga, perut, seksual dan lain-lain boleh dipenuhi dengan batas dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 74). Pemenuhan dengan batas tertentu ini merupakan kemurahan dan rahmah Allah Swt terhadap hamba-Nya. Sedangkan larangan untuk melampiaskan secara bebas dalam rangka agar manusia tidak seperti hewan yang tanpa aturan. Oleh sebab itu, pembersihan jiwa juga penjernihan pikiran.
Jiwa dan pikiran yang Islami -yaitu yang bersih- selalu patuh dan tunduk kepada syariat Allah Swt, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran.
Para ulama’ memberi teladan bagaimana menjadi pelajar yang shalih, yakni bersih ruhani menjauhi segala aktifitas maksiat. “Ilmu (hafalan) tidak bersahabat dengan maksiat,” begitu bunyi nasihat Imam al-Waqi’ kepada Imam as-Syafi’i.