Oleh M. Anwar Djaelani
Ibadah qurban memang disyariatkan untuk kalangan yang mampu, sebab untuk membeli hewan qurban dibutuhkan Rp 1,5 juta sampai Rp 15 juta. Tapi, di sekitar kita ternyata ada orang-orang tak mampu -semisal tukang becak, tukang sampah, atau pemulung- yang juga bisa berqurban. Seperti apa kisah mereka?
Niat dan Ulet
Rata-rata umat Islam paham keutamaan ibadah qurban yang tak hanya berdimensi ritual, tapi juga sosial. Maka, hampir bisa dipastikan bahwa sejak kecil mereka punya niat untuk bisa berqurban. Tentang ini, lihatlah –misalnya- Bambang yang juga berniat berqurban sejak kecil. Bambang siapa?
Bambang seorang penarik becak di Pasuruan. Baginya, mengumpulkan uang Rp 13 juta untuk membeli sapi qurban bukan perkara mudah. Tetapi, lelaki berusia 51 tahun itu lalu menyiasatinya dengan sering bekerja lembur. Hal itu dilakukannya agar bisa banyak menabung sehingga pada saatnya dapat berqurban.
Dia-pun membuat celengan dari kayu dan dipasang di jok becaknya. Setiap menerima uang jasa menarik becak, dia selalu menyisihkannya sebagian dengan mengisi celengan tersebut (www.detik.com 14/10/2013).
Biasanya, Bambang bekerja pukul 06.00 hingga pukul 14.00. Tapi, sejak adanya celengan kayu itu, dia lebih sering memerpanjang jam kerjanya dan bahkan sampai malam hari.
Dalam hal kerja keras Bambang tak sendirian, Dia bahu-membahu dengan istrinya –Mahmudah- yang bekerja sebagai tukang pijat. Alhamdulillah, dari hasil menabung selama lima tahun, Bambang mampu membeli seekor sapi untuk diqurbankan.
Pada 14/10/2013 –sehari sebelum Idul Adha 2013- Bambang menyerahkan sapi qurban seharga Rp 13 juta itu ke takmir di sebuah masjid di Pasuruan. Ketua Takmir Masjid yang dititipi qurban itu menuturkan bahwa selain dikenal pekerja keras, Bambang juga taat beribadah. Tukang becak berputra satu ini juga dikenal pendiam dan baik.
Adakah contoh selain Bambang Pasuruan? Ada, yaitu Nurlia di Makassar. Siapa Nurlia? Kondisi ekonominya pas-pasan, sebab dia hanyalah seorang tukang sapu jalan di Makassar. Tapi, hal itu tak menghalanginya untuk berniat melaksanakan ibadah qurban. “Saya menabung selama dua tahun,” kata Nurlia (www.okezone.com 14/10/2013).
Nurlia mengaku, selama dua tahun itu, dirinya menyisihkan sebagian pendapatannya. Dia merasa senang, karena niatnya untuk berqurban sapi di Idul Adha, akhirnya terlaksana. Namun, diakui Nurlia, sapi qurban tersebut adalah hasil patungan dengan enam orang rekannya yang berprofesi sebagai pemulung dan sopir truk sampah. “Saya patungan dengan enam teman, karena harga sapinya Rp 8 juta. Tapi saya senang bisa berqurban,” kata Nurlia.
Kisah Bambang yang tukang becak dan Nurlia yang tukang sapu (beserta pemulung dan sopir truk sampah) sudah tersampaikan. Masih adakah contoh yang lain?
Perhatikanlah Sahati. Wanita berusia 68 tahun itu hanyalah seorang pemulung di Sukabumi. Keseharian dia adalah mengumpulkan dan lalu menjual plastik, botol, dan barang-barang bekas. Tentu saja hasilnya tidak seberapa. Tiap pekan, “Paling banyak Rp 12 ribu,” tutur Sahati. Kadang, “Malah cuma Rp 8 ribu,” tambah dia (www.jpnn.com 16/10/2013).
Sahati awalnya tidak mengerti apa itu qurban. Sahati yang di masa mudanya tidak pernah bersekolah itu lantas bertanya-tanya kepada pemuka agama mengenai hukum qurban dan manfaatnya. Dari uraian keagamaan yang didapat, niat Sahati untuk berqurban menjadi kuat. Dia-pun ikhlas menyisihkan penghasilannya demi untuk bisa berqurban. Meskipun dirinya pemulung, dia “Ingin masuk surga dan punya kendaraan di akhirat nanti,” akunya, lugu.
Agar niat berqurban itu terlaksana, tiap hari dia bersemangat di saat memulung. Setiap pukul 06.00 Sahati berangkat dari rumahnya. Dia berjalan kaki sekitar 10 kilometer menyusuri sejumlah jalan di Sukabumi. Dia kumpulkan aneka barang bekas.
Sahati –wanita yang puluhan tahun hidup sebatang kara itu- terus bekerja keras agar bisa membeli hewan qurban yang sejak lama diidam-idamkan. Untuk itu, “Saya selalu sisihkan hasil keringat saya, meskipun cuma Rp 500 atau Rp.1.000 atau berapa saja,” terang dia.
Sahati tak sebentar menabung receh demi receh. Alhamdulillah, ketekunannya selama tujuh tahun akhirnya membuahkan hasil. Pada 13/10/2013 kambing yang dia impi-impikan akhirnya didapat. Dia berbahagia bercampur haru karena bisa membeli hewan qurban seharga Rp 2 juta. Tampak, sesekali matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah,” demikian ungkapan syukur Sahati yang telah menjadi pemulung sejak 1987.
Saat ini Sahati tinggal di sebuah rumah kecil berukuran 2×3 meter yang terdiri atas satu ruangan saja. Rumah tersebut merupakan bantuan pemerintah dan masyarakat. Di dalamnya, Sahati hidup sangat sederhana. Tidak ada meja dan kursi. Hanya ada kasur dan bantal lepek.
Selain itu, barang-barang bekas yang sudah ditata memersempit ruangan rumah. Di ujung ruangan hanya ada panci-panci dan alat makan serta kompor minyak kecil yang sering digunakan memasak air dan menghangatkan makanan.
Pada masa tuanya saat ini, Sahati hidup tanpa keluarga. Setiap malam dia hanya ditemani redupnya sebuah bohlam berkekuatan 5 watt yang menerangi ruangan kecilnya.
Setelah impiannya untuk berqurban terwujud, Sahati tidak memiliki banyak keinginan lagi. Dia hanya berharap selalu diberi kesehatan agar bisa bekerja. “Sing cageur we ameh bisa usaha (Semoga selalu diberi kesehatan biar bisa kerja),” ujar Sahati seperti dikutip oleh situs yang telah disebut di atas.
Ayo Menunduk!
Terutama kepada mereka yang belum pernah berqurban, semoga kisah tukang becak, tukang sapu, dan pemulung yang telah bekerja keras dan rajin menabung agar bisa berqurban dapat menjadi pelajaran yang berharga. Bahwa, jika kita bersungguh-sungguh dalam memasang niat untuk berqurban dan lalu mengiringinya dengan kerja keras, ternyata ibadah qurban bisa dilakukan oleh siapa saja dan tak hanya menjadi monopoli kaum yang berpunya saja.
Terakhir, sambil merenungkan kisah-kisah indah di atas itu, cermatilah pula ‘sapa mesra’ dari Nabi Muhammad SAW ini: “Barang-siapa mempunyai kemampuan untuk berqurban dan dia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali dia mendekati tempat shalat kami” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). []