Oleh M. Anwar Djaelani
Banyak media yang mengabarkan terjadinya kasus perjokian di Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kasus yang terungkap pada 13 Mei 2013 itu menambah gelap wajah bangsa kita.
Siapa Gagal
Diberitakan, 31 orang tertangkap di saat melakukan perjokian di ujian masuk Fakultas Kedokteran UMM. Perjokian adalah praktik curang, dimana ada joki yang berperan memberikan contekan jawaban kepada calon mahasiswa.
Boleh jadi, di awal-awal berita itu tersiar, banyak yang bertanya-tanya. Jika selama ini perjokian ‘ramai’ di PTN, mengapa di kasus terakhir ini terjadi di PTS? Tetapi, setelah melihat yang disasar adalah Fakultas Kedokteran, maka pahamlah kita tentang apa yang dicari oleh para pemakai jasa joki itu. Mereka berani memakai jasa joki dengan tarif sampai ratusan juta rupiah untuk ditukar dengan sebuah peluang diterima di fakultas yang lulusannya dianggap bermasa-depan sangat cerah.
Di kasus ini ada titik temu antara dua pihak yang menginginkan sesuatu dengan jalan pintas yang salah. Pihak pertama adalah si pemakai jasa. Mereka merasa tak punya kemampuan akademik untuk menembus fakultas yang diinginkannya. Tetapi, karena merasa punya uang, maka dicarilah jalan pintas. Mereka berpifir, bukankah sudah sangat lama negeri ini punya ‘mantera’ hebat yaitu “Semua bisa diatur”? Mereka sadar, bukankah kita tinggal di sebuah negeri “Wani piro” (baca: Berani berapa)? Maka, dicarilah joki untuk bisa menembus PTN/PTS yang diinginkannya.
Pihak kedua, adalah sejumlah mahasiswa cerdas tapi tak punya spirit keagamaan yang kuat. Dua di antara joki di UMM itu adalah mahasiswa ITS (sebuah perguruan tinggi ternama). Joki pertama mahasiswa semester II penerima beasiswa Bidik Misi dengan indeks prestasi (IP) 3,64. Beasiswa Bidik Misi diberikan kepada mahasiswa yang tidak mampu namun memiliki kecerdasan tinggi. Untuk mendapatkan beasiswa itu harus melalui seleksi ketat. Sementatara, joki kedua ber-IP 3,48.
Apapun, kasus ini menjadi semacam seri berikutnya dari kasus-kasus terdahulu. Sekadar menyebut contoh, praktik serupa terjadi pada 2012 di Unair. Si joki seorang mahasiswa Unair. Dia juga penerima beasiswa Bidik Misi ber-IP 3,44.
Di UGM –pada 2012- ada 43 peserta Seleksi Ujian Masuk Program Internasional Fakultas Kedokteran diduga terlibat perjokian. Sementara, pada 2009, empat belas mahasiswa ITB menjadi joki pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Universitas Hasanudin, Makasar.
Tampak para joki itu berasal dari kalangan terpelajar yang cerdas. Tapi, sekali lagi, spirit keagamaannya –bisa dibilang- nihil. Siapa yang salah? Hal yang pasti, pelaku dan pengguna jasa perjokian adalah bagian dari wajah gelap bangsa ini. Wajah yang menunjukkan secara jelas akan kegagalan kita dalam menghidupkan UU No. 20 /2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di UU itu disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Perhatikanlah amanat ini: Peserta didik “Memiliki kekuatan spiritual keagamaan”, Sementara, jujur adalah spirit keagamaan yang paling pokok. Dalam Islam –misalnya-, Nabi Muhammad SAW bahkan bergelar sebagai Al-Amin (Si Jujur yang Terpercaya).
Di UU yang sama, juga disebutkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
“Berakar pada nilai-nilai agama,” jelas punya makna bahwa proses pendidikan harus selalu didasarkan kepada ruh ajaran agama. Di dalam Islam, misalnya, ada ajaran mulia ini: “Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada kebaikan dan kebaikan akan menuntun kepada surga. Sesungguhnya dusta akan menuntun kepada kejahatan dan kejahatan akan menuntun kepada neraka” (Muttafaq ‘Alaihi). Tetapi, jika melihat praktik perjokian (dan pelaksanaan Unas yang kerap diwarnai kecurangan), maka mana hasil pendidikan kita? Kasus perjokian (dan kecurangan di Unas) adalah sesuatu yang sangat mencemaskan karena menciderai kejujuran.
Semestinya –kapanpun- kita junjung kejujuran. Kita jadikan jujur sebagai bagian dari kepribadian kita. Kita jadikan jujur sebagai bagian yang paling penting dari akhlaq kita. Sebab, kejujuran itu sungguh sangat menenangkan hati. “Jujur adalah tuma’ninah (ketenangan), sedangkan dusta adalah keraguan (ketidaktenangan, kegelisahan) ” (HR Tirmidzi).
Lewat ‘warning’ di atas, kita diminta untuk lebih berhati-hati dalam menjalani aktivitas keseharian: Selalulah mengedepankan kejujuran. Pertama, karena kejujuran mendatangkan ketenangan. Kedua, karena apapun yang kita kerjakan selalu dalam pengawasan Allah. Bahkan, justru alasan kedua inilah sejatinya yang lebih penting ketimbang alasan yang pertama. “Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS At-Taubah (9]: 105).
Dari Mana
Terungkapnya sejumlah kasus perjokian dalam Seleksi Masuk Perguruan Tinggi dan kecurangan di pelaksanaan Unas di Pendidikan Dasar dan Menengah adalah sebagian dari wajah gelap bangsa ini. Kasus-kasus itu memerlihatkan, bahwa: Pertama, ketidakjujuran telah mengakar sejak dari usia yang sangat belia. Kedua, para pelaku telah terjebak untuk terbiasa mengabaikan prosedur dan tata tertib. Mereka terbiasa tidak disiplin. Ketiga, para pelaku (pura-pura) lupa bahwa mereka berfalsafah hidup Pancasila yang sila pertamanya berkesaksian “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Siapa yang paling bertanggung-jawab atas semua ini? Para pemimpin! Bukankah, ikan itu busuk dimulai dari kepalanya? []