Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan 12 judul lainnnya
Abdul Muis (lkpni.or.id)
inpasonline.com – Abdul Muis, tokoh tak biasa. Dia, jurnalis kritis di zaman penjajahan. Dia, orang pertama yang mendapat gelar Pahlawan Nasional (yang di antara jejaknya adalah aktif di SI / Syarikat Islam dan dekat dengan Tjokroamninoto). Dia, sastrawan, yang tanggal lahirnya yaitu 3 Juli diperingati sebagai Hari Sastra Indonesa.
Tak Diam
Abdul Muis lahir 3 Juli 1878 di Sungaipuar, Bukittinggi – Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Bukittinggi. Kemudian melanjutkan pelajaran ke sekolah dokter, STOVIA, di Jakarta pada 1900-1903.
Ia tidak berhasil menyelesaikan pendidikan di STOVIA karena ghirah keagamaannya tak bisa diam menghadapi perlakuan diskriminatif di situ. Baginya, semua bukan semata-mata karena masalah politik antara bumiputera dan keturunan Belanda. Lebih dari itu, ada soal sentimen keagamaan.
Abdul Muis melihat ada pelajar STOVIA yang beragama Kristen dan ia diberi hak yang sama dengan para keturunan Belanda, misalnya dalam hal berpakaian secara Eropa. Hal ini membuat Abdul Muis berusaha keras membela agamanya karena menurutnya Islam adalah agama mayoritas. Akibat pendiriannya yang tegas, Abdul Muis dikeluarkan dari STOVIA.
Kemudian ia bekerja sebagai jurutulis di Departemen Pendidikan atas bantuan J.H. Abendanon, sang direktur. Keduanya akrab saat di STOVIA. Hanya saja, setelah Abendanon ditarik pulang ke Belanda pada 1904, jabatan Abdul Muis langsung diturunkan oleh direkturnya yang baru atas dasar diskriminasi politik. Sebagai seorang bumiputra, Abdul Muis merasa terhina. Tidak lama, ia pun minta berhenti.
Selanjutnya, ia bekerja di Bank Rakyat di Bandung. Rupanya sistim perkreditan rakyat yang dikelola bank tersebut banyak disalahgunakan oleh para lurah dan pamong praja. Kenyataan tersebut dilaporkan Abdul Muis kepada pejabat Belanda yang lebih tinggi posisinya. Hanya saja, laporannya tidak diperhatikan. Abdul Muis pun mundur dari bank itu.
Jurnalis Kritis
Setelah meninggalkan kerja kantoran, Abdul Muis bekerja sebagai redaktur majalah tengah bulanan, Bintang Hindia edisi Melayu. Majalah itu punya ”problem”. Pertama, isinya kritis mengritik sistim kolonialisme dan menyuarakan hak-hak politik bumiputera. Kedua, dana pendukungnya terbatas. Akhirnya, harus berhenti terbit pada 1907 karena kehilangan pelanggan dan subsidi.
Pada 1912 Abdul Muis bekerja sebagai korektor kepala menangkap Asisten Kepala percetakan surat kabar / harian Belanda De Preanger-Bode di Bandung. Pekerjaan ini dilepaskannya ketika ia tidak diizinkan oleh pihak penerbitan untuk mengantarkan sang istri ke Tanjung Priok untuk berhaji lewat kapal laut.
Pengalaman bekerja di lembaga pemerintah ataupun perusahaan yang pro-pemerintah makin menumbuhkan kesadaran politik Abdul Muis sebagai seorang bumiputera. Untuk menyuarakan hak-hak politiknya dan menumbuhkan kesadaran politik kalangan bumiputra yang mayoritas umat Islam, Abdul Muis lalu mendirikan surat kabar / harian yang cukup progresif. Namanya, Kaum Muda.
Aktivis Islam
Melalui media Kaum Muda, Abdul Muis menjadi dekat dengan masyarakat Islam. Abdul Muis dinilai oleh kalangan Islam, termasuk oleh Tjokroaminoto, sebagai orang Indonesia yang memiliki pendidikan dan pengalaman yang dapat diharapkan dalam perjuangan politik bangsa. Di samping itu, Abdul Muis dipandang mempunyai perhatian mendasar terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial politik yang banyak diderita masyarakat Indonesia.
Atas dasar itulah, pada 1912, dua utusan Syarikat Islam dari Surabaya dikirim Tjokroaminoto untuk menenui Abdul Muis dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya di Bandung. Tokoh yang ditemui termasuk Wingnyadisastra dan Suwardi Suryaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara). Ketiga orang tersebut diminta memperkuat Syarikat Islam di Bandung. Tersusunlah, pengurus: Ketua dan Sekretaris, masing-masing adalah Wingnyadisastra dan Suwardi Suryaningrat. Adapun Abdul Muis, sebagai Wakil Ketua.
Setelah aktif di Syarikat Islam, Abdul Muis makin menunjukkan semangat perjuangan sosial politiknya untuk kepentingan masyarakat, terutama kalangan bawah (para petani miskin). Ia terus aktif. Pada 1929-1932, ia menjadi anggota Regentschapsraad (dewan perwakilan di masa Hindia-Belanda pada tingkat kabupaten). Lewat itu, bertambah kuatlah pembelaannya kepada kepentingan petani dan masyarakat bumiputera (Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia,1992: h.22-24).
Bergerak dan Bergerak
Hal lain, pada 1917, Abdul Muis dipercaya sebagai utusan Syarikat Islam pergi ke Belanda untuk mempropagandakan Komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School (sekarang, dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung).
Pada 1920, Abdul Muis terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian, ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Lalu, pada 1923, Abdul Muis mengunjungi Padang dan mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Terkait aksinya tersebut, ia dilarang berpolitik (www.republika.co.id 10 November 2014).
Setelah kemerdekaan, Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno pada 30 Agustus 1959. Hal yang tak terlupakan, itu yang kali pertama pemberian gelar Pahlawan Nasional. Nama Abdul Muis, diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Jakarta.
Sang Pengarang
Di harian Kaum Muda yang dipimpinnya, Abdul Muis menggunakan inisial A.M. dan menulis hanyak hal. Salah satu di antaranya, roman sejarah berjudul Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan Abdul Muis punya beberapa karya, ada yang karya asli, terjemahan, dan saduran. Karya besarnya, Salah Asuhan, dinilai punya corak baru penulisan prosa pada saat itu. Berikut ini karya-karya Abdul Muis, yang bersumber dari www.kemendikdasmen.go.id 8 Februari 2022.
Ini, karya asli:
- Hendak Berbalai.
- Kita dan Demokrasi.
- Robert Anak Surapati.
- Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi.
- Kurnia.
- Pertemuan Djodoh.
- Surapati.
- Salah Asuhan.
- Daman Brandal Sekolah Gudang.
Ini, karya terjemahan:
- Tom Sawyer Anak Amerika(terjemahan karya Mark Twain, Amerika).
- Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis).
- Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh(terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely).
- Don Kisot(terjemahan karya Cervantes, Spanyol).
- Pangeran Kornel(terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda).
Terakhir, ini karya saduran: Hikayat Bachtiar (saduran cerita lama).
Pilihan Hari
Pada 24 Maret 2013, ada pertemuan sastrawan terkemuka Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Turut hadir Wakil Menteri Pendidikan serta sejumlah tokoh nasional dan daerah. Di acara itu, ditetapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia. Tanggal itu diambil dari hari lahir Abdul Muis seorang wartawan, pejuang, dan sastrawan.
“Pada awalnya kami mencari naskah sastrawan terkemuka yang diterima Balai Pustaka. Tapi tidak berhasil menemukan tanggal terbitan pertama Balai Pustaka sehingga akhirnya panitia kecil menetapkan tanggal lahir Abdul Muis sebagai Hari Sastra Indonesia,” kata penyair Taufiq Ismail – penggagas Hari Sastra Indonesia (www.historia.id 25 Maret 2013).
Demikianlah! Abdul Muis yang dalam kesusastraan Indonesia dikenal sebagai penulis roman Salah Asuhan adalah tokoh pergerakan nasional yang sangat kuat semangat keislamannya. Ia wafat pada 17 Juni 1959 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra – Bandung. []